Allah ...
Ya Allah ...
Pandang aku, ya Robb ...
Sesungguhnya berharap pada manusia memanglah jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan kehilangan seseorang karena Kau yang mengambilnya.
Aku rapuh, Ya Robby dalam pengharapan ini
Aku tak berani bertanya apa salahku padaMu
Karena segala nikmat hidup yang Kau berikan padaku sudah sangat besar
Tak pantas rasanya jika aku masih harus bertanya apa salahku hingga orang-orang yang kusayang jauh lebih Kau Sayangi
Namun, bisakah aku meminta, ya Robb ...
Kuatkan aku!
Mudahkan aku melewati semuanya!
Jauhkan aku dari pengharapan pada manusia yang nantinya hanya akan mengecewakanku
Alihkan pikiranku pada jalan yang lebih Kau ridhoi
Amiin ....
Gadis manis itu menutup doa dengan sujud panjangnya. Terdengar rapalan hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nashir. Sebagaimana doa Nabi Ibrahim ketika akan dibakar oleh orang-orang kafir. Meski malaikat Jibril telah menawarkan pertolongannya terhadapnya, tapi keyakinannya akan pertolongan Allah padanya tidak pernah padam. Padahal saat itu api telah berkobar sangat hebat. Hingga akhirnya api tak terasa panas lagi di tubuh Nabi Ibrahim.
Kini sepasrah itu Laila pada Allah. Tidak ada yang bisa menolongnya dan menjadi tumpuannya sekarang kecuali Allah. Meski dia memiliki banyak tangan yang menawarkan bantuan, tetap saja dia tak bisa bergantung pada orang-orang itu.
***
Hampir sebulan telah berlalu, Laila melewati hari-harinya dengan kesibukan sebagai khadimah seperti biasa. Sementara Gus Faqih memilih untuk tidak berkunjung sama sekali ke Pesantren At-Taufiq. Selain ingin memantapkan hatinya dengan menjauh dulu dari Laila, dia juga banyak menghabiskan waktu dengan fokus pada kewajibannya sebagai pewaris pesantren milik sang umi.
Sejak saat itu, Gus Faqih pulang tanpa pamit pada Laila. Seolah dia memang tengah menghindari gadis itu. Bahkan Nyai Hasanah ataupun Ning Nur sama sekali tak membahas perihal itu lagi pada Laila.
Hingga tibalah di hari ke empat puluh kematian Mbah Pakmi. Sehari sebelumnya Laila meminta ijin untuk pulang. Nyai Hasanah mengijinkan, tentunya dengan ditemani Mbak Tun agar membantu Laila dalam menyiapkan keperluan pengajian.
Tidak ada yang tahu kejadian waktu itu selain keluarga Nyai Hasanah. Laila juga tak berniat untuk membaginya dengan siapapun, meski itu Mbak Tun. Apalagi saat dia menyimpulkan bahwa apa yang diucapkan Gus Faqih waktu itu memanglah hanya candaan.
"Laila, kamu mau ikut Budhe ke Probolinggo?"
Laila yang saat itu tengah mengaduk rendang menoleh pada seorang wanita paruh baya yang duduk di sampingnya. Wanita itu tengah merangkai kardus yang akan digunakan untuk wadah nasi dan kue berkat nanti. Kebetulan wanita itu masih saudara jauh dari sang ibu. Saat si mbah meninggal, dia tidak sempat datang karena ada di luar kota.
"Nanti Budhe carikan beasiswa di pondok pesantren tempat Budhe mengabdi. Gimana?"
Wanita lembut bermata sendu itu memang masih mengabdi di salah satu pesantren besar di probolinggo. Meski Laila sudah tidak ingat lagi rumah sang budhe itu di mana, setiap lebaran hanya perempuan itulah yang rajin menemui si mbah. Tawaran wanita yang belakangan di ketahui namanya Musyrifah ini cukup membuat Laila tertarik. Apalagi dengan kondisinya yang juga mulai tak nyaman di pesantren At-Taufiq sejak kejadian itu.
"Beneran, Budhe?" tanya Laila memastikan.
"Bener. Nanti uang makannya, budhe yang urus, insyaallah."
Matanya berpendar penuh semangat mendengar penjelasan dari budhenya bahwa di tempatnya nanti, dia bisa memilih program apa saja yang dia inginkan untuk masuk asrama. Tahfidz, Lembaga Bahasa Asing, Ma'had Aly, atau hanya ingin tinggal di asrama reguler saja.
"Nanti di sana ada kerja paruh waktu, ndak, Budhe?"
"Kenapa harus kerja paruh waktu? Di sana kan buat belajar, bukan buat kerja. Nanti kalau sudah lulus, baru bisa mengabdi seperti Budhe."
Senyum Laila merekah, kepalanya juga mengangguk-angguk mengerti.
"Tapi nanti ngerepotin Budhe sama Pakdhe."
"Loh, ya, endak, lah. Kan Budhe yang minta. Yang penting kamunya cari ilmu yang bener, biar bisa jadi madrasatul ula yang terbaik buat anak-anak kamu nanti."
"Laila mau, Budhe. Tapi ..." Laila menggantung kalimatnya. Wajahnya tertunduk, ada sirat kesedihan di sana.
"Kenapa?"
"Laila sudah lama mengabdi pada Nyai Hasanah. Nyai Hasanah juga sebenarnya sudah menawarkan Laila untuk melanjutkan pendidikan di pesantren. Tapi, Laila ndak pernah mau. Kalau tiba-tiba Laila mau sama tawaran Budhe, gimana cara maturnya? Laila khawatir akan membuat beliau sedih."
Asih menarik tangan Laila ke dalam genggamannya. "Nanti, Budhe yang bantu matur sama beliau. Yang penting Laila mau apa ndak?"
Laila mengangguk cepat, "mau!" jawabnya kemudian.
Asih tersenyum lebar lalu menepuk punggung tangan Laila dengan lembut. Setidaknya wasiat dari si mbah tersampaikan. Karena terakhir kali dia ke sana, Mbah Pakmi sempat mengatakan bahwa dia ingin Laila menjalani pendidikan seperti anak-anak seusianya. Karena jika dia terus di Pesantren At-Taufiq, kemungkinan untuk itu tidak akan pernah terjadi. Bukan karena tak mendapat ijin dari Nyai Hasanah, melainkan karena rasa sungkan Laila dan neneknya yang memang tidak ingin merepotkan bu nyai yang sudah banyak membantu mereka.
Lagipula ada beberapa tabungan Mbah Pakmi yang dititipkan pada Asih untuk keperluan Laila hingga menikah nanti. Termasuk beberapa ekor sapi yang tengah di angonkan pada orang-orang di desanya. Tabungan yang Laila sendiri tidak tahu menahu masalah itu.
***
Acara empat puluh hari Mbah Pakmi berjalan lancar. Banyak tetangga yang datang untuk menyumbang doa. Begitu juga dengan Kyai Maksum dan Nyai Hasanah. Laila yang sejak tadi ada di dalam rumah sama sekali tidak tahu siapa saja yang ikut tahlilan malam itu. Termasuk saat Gus Faqih datang dengan Kang Abdul.
Setelah acara selesai, betapa terkejutnya Laila saat melihat Gus Faqih membantu para tetangga membawa piring kotor ke belakang. Meski sudah dilarang oleh yang lainnya, tetap saja ia dengan senang hati membantu. Sementara itu Laila hanya bisa memperhatikannya dari balik pintu. Ia menyentuh degup jantungnya yang berdetak lebih kencang.
Ah, dia rindu pria itu. Meski bagaikan pungguk merindukan purnama, tetap saja harapannya masih menyala. Meski hanya ada sedikit kenangan bersamanya, tetap saja terasa indah dan menyenangkan jika mengenangnya.
Cepat ia masuk ke dalam kamar. Tak ingin mendapat moment saling bertegur sapa dengan pria itu. Seolah sudah tahu, bahwa nanti pasti akan ada rasa canggung. Sementara dia sadar, bahwa kecanggungan itu pastilah hanya tumbuh dari sisinya, bukan dari sisi pria itu.
Beberapa menit kemudian, Nyai Hasanah dan Kyai Maksum sudah berpamitan. Dia pikir Gus Faqih pasti juga sudah ikut pulang bersama mereka. Itu sebabnya dia memberanikan diri untuk keluar dari kamar.
Suasana rumah sudah mulai sepi. Terpal di halaman depan juga sudah selesai dilipat. Sudah rapi semuanya. Piring bersih yang masih basah sudah berjejer di lincak belakang rumah.
Akhirnya Laila bisa bernafas lega. Kepalanya menyembul dari pintu utama. Ia melangkahkan kaki ke teras depan sembari menghela nafas perlahan.
"Mbak Cahaya!"
"Astaghfirullah ...!" Laila terkejut setengah mati mendengar panggilan itu berada tepat di sampingnya. Seraut wajah pria yang sejak tadi dihindarinya tampak menatapnya dengan senyum. Sementara kedua tangannya saling bertaut di belakang badannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Teen Fiction"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...