8 - Di Sudut Darrasah

2.4K 322 43
                                    

Sehabis subuh, Laila sudah bersiap bersama Mbak Tun untuk ke pasar. Baru saja mereka keluar dari gerbang saat berpapasan dengan Gus Faqih yang tengah berjalan-jalan tanpa alas kaki. Jumper hitam dengan sarung berwarna senada yang dipakanya membuat dia terlihat lebih muda dari usianya.

"Mau ke pasar, Mbak?" tanya Gus Faqih yang masih menautkan dua tangannya di belakang.

"Enggeh, Guse."

Mbak Tun mendekat pada Gus Faqih, sementara Laila yang membawa tas rajut dari plastik menunggu di tempat. Malu untuk ikut mendekat pad Gus Faqih.

"Mau diantar?"

"Mau pakai apa? Mobil? Kelamaan nunggu mobilnya yang masih harus dipanasin. Lagian cuma deket sini, kok."

Gus Faqih menengok Laila yang malah melempar pandangan ke arah lain. Berpura-pura tak mendengar percakapan mereka.

"Mbak Cahaya, gimana? Mau diantar?" Gus Faqih mulai menggoda.

Laila mulai salah tingkah. Wajahnya bersemu merah karena ucapan Gus Faqih. Mbak Tun ikut tertawa lirih.

"Hayuk jalan saja, mumpung saya juga mau jalan-jalan ini, Mbak Tun. Sekalian nganter ke pasar, ndak pa-pah."

"Loh, Guse ndak malu? Laki-laki kok ke pasar?"

"Jangan salah. Jaman sekarang, banyak perempuan yang menunggu di rumah, sementara suaminya berbelanja ke pasar. Itu meminimalisir dosa yang akan ditanggung oleh suaminya, loh."

"Hah? Kok bisa begitu?" Mbak Tun melongo.

Gus Faqih melanjutkan langkah menuju pasar. Sementara Mbak Tun ikut menyamakan langkah di sampingnya, dan Laila masih saja memilih untuk di belakang. Lebih jauh dengan mereka.

"Wanita itu kan bisa jadi sumber fitnah juga, Mbak Tun. Kalau dia ke pasar, terus ternyata di pasar ada yang godain dia, dosanya sudah bukan hanya ditanggung sama yang menggoda. Tapi juga wanita itu sendiri. Apalagi kalau ternyata wanita itu sudah punya suami, dosanya juga ditanggung suaminya. Makanya mereka lebih suka mengamankan wanitanya di dalam rumah."

"Wah, kalau gitu mah namanya cemburu buta."

"Ha, ha. Ndak lah kalau itu, Mbak Tun."

"Apanya yang ndak?"

"Ya ... ndak salah lagi lah, ha, ha."

"Alah, Guse iki ngapusi."

Mereka tergelak bersama. Sesekali Gus Faqih menoleh pada Laila yang ikut mengulum senyum di belakangnya. Percakapan mereka masih berlanjut dengan berbagai pertanyaan dari Mbak Tun yang sesekali dijawab dengan candaan oleh Gus Faqih.

Sesampainya di pasar, Gus Faqih yang semula hanya akan mengantar hingga di depan gerbang saja. Nyatanya tak kuasa untuk ikut masuk ke dalam. Menyusuri kios-kios penjual sembako serta lapak sayur mayur yang tergelar di depan kios-kios itu.

Letak penjual ikan berada di paling belakang dari pasar. Beruntung pasar itu sudah di papin untuk menghindari becek yang terjadi karena hujan semalam. Para pengunjung juga masih belum terlalu rame.

Penerangan dari lampu neon di beberapa blok jalan cukup membantu mereka dalam mencari celah jalan. Laila yang berjalan tepat di belakang Gus Faqih harus berkali-kali heran melihat laki-laki di depannya yang tampak tidak risih berjalan melewati beberapa ibu-ibu yang kadang mengharuskan ia untuk menyisih sebentar.

Bau amis ikan langsung menyeruak. Laila yang sudah terbiasa dengan bau itu, lagi-lagi menarik pupil matanya ke arah Gus Faqih. Penasaran bagaimana reaksi laki-laki itu. Sekali lagi Laila dibuat takjub melihat gus Faqih yang malah ikut menyapa dan berbasa – basi dengan beberapa orang penjual ikan di sana.

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang