Ikhlas atas segala sesuatu bukan hanya tentang melepaskan. Melainkan juga tentang menerima semua yang sudah ditakdirkan oleh Allah. Begitulah yang saat ini tengah diusahakan oleh dua wanita yang tengah merasa kehilangan Gus Faqih.
Sarah, kini harus menerima takdirnya sebagai istri dari seseorang. Apapun yang sudah terjadi di masa lalu, seharusnya tidak menjadi pemberat langkahnya di masa depan. Kenangan bersama satu-satunya pria yang sangat dia harapkan dulu, adalah kenangan yang mungkin memang takkan pernah bisa tergantikan. Namun, bukan berarti hidupnya harus tetap terbalut dalam kenangan itu.
Gadis yang masih tertutup mukena itu berdiri di depan perapian. Suaminya sengaja membawanya pergi ke sebuah vila di puncak untuk sedikit mengurangi stress yang di deritanya. Karena dokter mengatakan bahwa sakit yang diderita Sarah bukan hanya karena dia tak menjaga makannya, melainkan juga karena adanya stress yang mungkin mengganggu psikologis wanita itu.
Sejak selesai akad, Sarah memang masih belum menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Ditambah kondisi kesehatannya beberapa hari terakhir, sang suami dengan sabar tak pernah memaksa. Hal itulah juga yang kemudian membuat Sarah ingin segera terlepas dari kungkungan kenangan itu.
Wajah Sarah beralih pada pemandangan di luar jendela. Nampak bulir-bulir air hujan meluncur bebas membasahi halaman vila yang dia tempati. Ah ..., lagi-lagi kenangan itu hadir dalam benaknya. Membawa sedikit sayatan dalam hatinya.
Cepat ia menepis kilatan kenangan itu dengan membuka jendela. Merasai sejuknya hawa puncak Batu. Membiarkan wajahnya terkena tampias dari air hujan.
Bukannya menghilang, kenangan itu malah makin memaksa untuk masuk ke dalam pikirannya. Benar saja, kenangan beberapa tahun yang lalu di Kairo kembali menyeruak.
Hari itu kairo sama dengan saat ini. Tanah yang terlihat tandus itu tersiram hujan untuk pertama kalinya. Sarah yang saat itu tengah tak membawa payung untuk kembali ke kontrakannya terpaksa harus berteduh di depan kampoeng cafe yang biasa dijadikan tempat untuk pertemuan mahasiswa dari Indonesia.
Dia menutup mata, menikmati aroma tanah basah yang sangat khas. Menurutnya aroma dari petrichor itu sama halnya dengan aroma kerinduan. Lebih tepatnya bahasa rindu dari langit yang mencintai bumi.
Seorang pria berpeci hitam mendekat lalu berdehem pelan di dekatnya. Sarah pun membuka mata. Ekor matanya beralih pada pria yang nampak ikut memperhatikan tetes-tetes hujan di depannya. Pupil cokelat Sarah turun ke arah tangan pria yang tengah menggenggam crook handle dari payung berwarna hitam itu.
"Nggak bawa payung lagi?" Pria itu membuka percakapan.
Sarah membingkai senyum. Ia lantas mengangguk.
"Aku suka aroma ini," lirih Sarah.
"Petrichor," ucap mereka bersamaan.
Untuk beberapa detik mata mereka saling bersitatap tak percaya, lalu ditutup dengan tawa kecil hanya karena merasa lucu.
"Kamu tahu itu juga?" tanya Sarah.
Perbincangan mereka terhenti karena ada beberapa mahasiswa lain yang menyapa mereka lalu berlari menerobos hujan.
"Tentu aku tahu, karena aku juga menyukainya."
Alis Sarah terangkat, ekspresi tak percaya di wajahnya kembali terlihat. Ia tengah menatap pria yang masih terkesan jual mahal untuk menatapnya juga.
"Karena ini bahasa rindu dari langit untuk bumi."
Sarah menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimana bisa pemikiran lebaynya sama dengan pria itu? Ia menelan saliva yang mulai menumpuk di kerongkongan. Seketika jantungnya berdetak lebih cepat. Padahal dia tidak tengah berlari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Teen Fiction"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...