34 - Semangat, Mbak Cahaya!

872 194 41
                                    

Jangan lupa sarapan!
Mumpung lagi baik, nih saya kasih yang bisa nememin sarapan.
Hehehe....
--------------------

Air mata Laila seolah tak bisa mengering. Hingga Mbah Pakmi selesai dikebumikan, gadis itu masih luruh dengan tangisnya. Meski tak separah tadi.

Kini dia sudah bisa menyalami para tamu yang datang melayat. Kebanyakan dari mereka adalah tetangga dan juga sanak saudara jauh yang juga tinggal tidak terlalu jauh dengannya. Sesekali tangannya juga terlihat menyapu pelan air mata di pipinya.

Gus Faqih menatapnya dari jauh. Ia masih di sana sekalian menunggu Nyai Hasanah yang juga masih belum pulang. Rencananya Nyai Hasanah akan di sana hingga malam. Karena biasanya di malam pertama jenazah dikubur, akan ada acara pengajian yang digelar. Baru di malam kedua dilaksanakan tahlil.

"Dia belum makan," gumam Gus Faqih lirih.

"Nggeh, Guse?" Abdul yang mendengar gumaman Gus Faqih mencondongkan badan padanya. Mencoba mendengarkan lebih jelas apa penuturan gusnya.

"Eh, haha. Bukan apa-apa, Kang."

Abdul menegakkan kembali badannya mendengar Gus Faqih mengurungkan ucapan.

"Oh iya, Kang. Nasi punya Laila masih di mobil, 'kan?"

"Nggeh."

"Bisa tolong diambilkan, Kang?"

"Nggeh, Gus."

Abdul bergegas pergi. Pandangan pria berkulit putih itu kembali tertuju pada Laila. Ponsel di sakunya bergetar. Sebuah panggilan dari pesantren Ning Zubda.

"Sepertinya Faqih belum bisa pulang, Mbak. Ada saudara khadimnya mbahti yang meninggal dunia. Ini sekarang lagi di rumah duka." Terang Gus Faqih setelah mengucap salam. "Iya, nanti Faqih sampaikan sama mbahti, ya," lanjutnya.

Abdul menunggu hingga percakapan Gus Faqih selesai. Di tangannya sudah ada dua kantong kresek milik Laila. Satu berisi nasi, satunya berisi roti yang tadi di beli Gus Faqih.

"Niki, Gus," sodornya.

Setelah memasukkan kembali ponsel ke sakunya, ia pun langsung menenteng kresek itu ke dalam. Mendekat pada salah satu gadis yang dia kenal sebagai salah satu khadim yang lain di pesantren At-Taufiq. Benar saja, gadis itu langsung mendekat pada Gus Faqih. Kepalanya tertunduk sambil mengangguk-angguk mengerti saat pria itu menuturkan sesuatu. Adegan itu ditutup dengan berpindahnya kresek dari tangan Gus Faqih pada gadis itu.

Gadis berkemeja tosca itu pun masuk ke dalam menuju dapur. Sementara Gus Faqih kembali ke tempatnya. Menunggu perempuan tadi melaksanakan tugas darinya.

Para tamu sudah banyak yang pamit pulang karena sudah hampir magrib, tinggal beberapa sanak saudara Laila saja. Empat orang laki-laki muda datang membawa beberapa tikar, kemudian menggelarnya di halaman. Gus Faqih dan Abdul juga sigap membantu.

Hingga adzan maghrib berkumandang, mereka pun akhirnya juga pamit undur. Gus Faqih masuk ke dalam rumah Laila. Bermaksud untuk berpamitan pada mbahti-nya untuk sholat maghrib di masjid desa saja.

Pupil cokelatnya melirik piring dengan bungkusan nasi yang masih utuh di atas meja, lengkap dengan sendoknya. Sepertinya memang masih belum tersentuh. Sementara kakinya terus melangkah mendekati Nyai Hasanah yang masih duduk bersama Laila.

Ia menghentikan langkahnya, berbalik ke arah meja dan mengambil piring berisi nasi tadi. Ia juga langsung membuka gelang karet yang mengunci bungkusan itu. Meletakkan sendok juga di atasnya.

Laila terperangah kaget saat Gus Faqih tiba-tiba menyodorkan piring itu ke depannya. Begitu juga dengan Nyai Hasanah.

"Maaf, Mbahti! Tapi Mbak Cahaya, eh maksudnya Mbak Laila belum makan dari tadi," tuturnya memberi penjelasan atas sikapnya.

Laila kembali menundukkan wajah, malu. Wajahnya pasti sekarang lagi bengkak-bengkaknya. Hidungnya juga pasti terlihat memerah. Belum lagi sisa cilak yang mungkin sudah luntur dan meninggalkan bekas di sekitar kelopak matanya yang sembab.

"Loh, tadi bukannya kalian sudah makan siang katanya?"

"Faqih sama Kang Abdul sudah, tapi Mbak Laila belum."

"Lah, kok iso, toh?" Nyai Hasanah menautkan alis sambil menerima nasi dari tangan cucunya.

"Ayo, cepet makan dulu! Sekalian istirahat sholat maghrib sana di kamar. Habis isya tamu kamu pasti rame lagi."

Piring di tangan Nyai Hasanah berpindah ke pangkuan Laila. Laila menurut, ia membungkuk kemudian berjalan mundur meninggalkan Nyai Hasanah dan Gus Faqih.

"Kamu ndak sholat magrib?" Nyai Hasanah mengagetkan Gus Faqih yang masih saja menatap Laila.

"Sholat, kok."

"Di mana? Di sini?"

"Di masjid, Mbah."

"Ya wes, sana! Ngapain masih di sini?"

"Ini mau pamit!" Gus Faqih menampilkan sengiran kudanya sambil mencium punggung tangan Nyai Hasanah.

****

Gus Faqih melempar senyum pada Laila saat mereka berpamitan untuk pulang. Nyai Hasanah mengatakan akan mengirim Mbak Tun untuk menemani Laila sementara di sana. Beruntung saudara-saudara jauh Laila dari luar kota juga baru datang. Hingga tidak membuat suasana rumah Laila jadi langsung sepi.

"Nduk, ingat! Sedih boleh, tapi jangan kebablasan, ya! Bu Nyai tunggu di pondok. Wes, pokoke harus balik nang pondok. Ra usah mikir macem-macem. Kamu itu wes kayak cucu Bu Nyai sendiri. Inget, yo, Nduk! Balik nang pondok kalau urusan di sini sudah selesai."

"Nggeh, Bu Nyai. Insyaallah!"

"Harus pokoke!" Nyai Hasanah menegaskan permintaannya sembari menggenggam tangan Laila erat.

Laila mengangguk takdim. Dia merasa beruntung, masih ada Nyai Hasanah yang memperlakukannya sangat baik. Memang selama dia mengabdi di Pesantren At-Taufiq, tak pernah sekalipun dimintai biaya. Bahkan Nyai Hasanah selalu memberinya uang saku, membawakan oleh-oleh tiap kali bepergian, atau sekedar mengajak Laila ikut makan di luar bersama Ning Humairo.

Hanya pada Laila, Nyai Hasanah memanggil genduk. Pada khadim yang lain, Nyai Hasanah selalu memanggil mbak atau namanya. Membuat Laila merasa mempunyai keluarga lain selain si mbahnya. Hari itu kesedihannya memang sangatlah besar, tapi kehadiran Nyai Hasanah dengan semua petuahnya membuat gadis itu menjadi lebih kuat.

Khadim yang tadi ikut Nyai Hasanah turut menyalami Laila sambil memberi semangat. Tangannya menyelipkan selembar kertas ke tangan Laila. "Dari Guse," bisiknya sebelum pergi.

Setelah mobil mereka pergi, Laila pun membuka lembaran kertas di tangannya. Beberapa paragraf tulisan tertera di sana.

Mbak Cahaya, tau nggak arti dari nama Cahaya Malam yang sesungguhnya? Kalaupun tahu, pasti beda dengan pengertian yang saya punya. hehe ... Nih saya kasih tahu. Kenapa Mbak Cahaya di beri nama Cahaya Malam, Karena itu lambang kekuatan. Malam itu waktu terbaik untuk memanjatkan doa. Waktu sakral yang banyak dilewatkan oleh orang-orang yang terlelap. Waktu untuk orang-orang merecharge stamina dengan tidur, dan merecharge keimanan dengan tahajud.

Lalu penambahan Nur yang berarti cahaya adalah sesuatu yang indah pada kegelapan malam. Cahaya tidak akan terlihat indah jika di siang hari. Tapi saat malam, sekecil apapun cahaya itu pasti akan terlihat indah di tengah-tengah gelapnya malam. Seperti bulan, bintang, dan juga lampu-lampu

Nama Laila hanya diperuntukkan bagi wanita yang kuat. Allah menganggap Mbak Cahaya mampu menghadapi semua ini. Saya nggak mau bilang jangan bersedih, karena merasa kehilangan itu manusiawi. Tapi Mbak Cahaya harus ingat, bahwa kekuatan malam ada pada heningnya. Isra' mi'raj juga terjadi pada malam hari 'kan? Jadi, semangat, Mbak Cahaya!

Seutas senyum terlihat di wajah Laila. Dia tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebar. Namun tetap saja, tulisan itu tak mampu menutupi kebahagiaan di wajahnya.

****

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang