23 - Masa Lalu di Mata Laila

677 173 55
                                    

"Apa kita bisa bertemu, Mas?"

Nuri melempar pandang ke arah jalan raya yang terlihat jelas dari koridor rumah sakit berlantai sembilan itu. Kebetulan ruangan tempat Sarah dirawat berada di lantai empat. Semilir angin sore itu seolah ikut menggulung duka. Awan kelabu menggantung di kaki langit, seakan bersiap untuk menyampaikan kerinduan langit pada bumi lewat hujan.

Gadis berpashmina hitam itu menggigit bibir. Mendengarkan jawaban dari seberang. Sesekali ia juga memejamkan mata sedikit lebih lama.

"Ada yang ingin aku bicarakan," ucapnya.

"Enggak bisa, Mas. Aku nggak bisa bicarain lewat telepon."

Satu tangannya bersedekap di depan dada. Ada gemuruh hebat di dadanya. Ini kali pertama dia menelepon seorang pria yang bukan mahramnya. Bahkan dia sampai punya keberanian untuk mengajaknya bertemu lebih dulu.

"Baik, besok kabari saja, di mana kita bisa bertemu."

Telepon ditutup dengan salam. Nuri menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata, lalu menghembuskannya perlahan tanpa membuka matanya. Perlahan netra itu mengerjap, menatap kosong pada bulir-bulir gerimis yang mulai turun.

Wanita berparas indah itu menitikkan air mata. Rahangnya ikut mengeras, menahan debar menyakitkan dalam hatinya. Jawaban pria di seberang besok, akan sangat berpengaruh pada keputusannya nanti.

****

Laila sejak tadi tengah memperhatikan Gus Faqih yang tengah menerima telepon. Mereka sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan. Kebetulan Nyai Hasanah ada keperluan yang ingin dibeli. Jadi selepas 'ashar mereka pun berangkat bersama dengan Nyai Zainab juga. Sementara Humairo dititipkan pada Ning Zubda yang juga masih menginap di Pesantren Al-Falah. Gus Faqih sengaja tak mengajak Abdul, ia ingin membawa mobilnya sendiri, agar leluasa mengantar wanita-wanita yang sangat disayanginya itu, sekaligus belajar menghafalkan rute tanpa GPS.

Gadis yang sudah menenteng lebih dari dua kantong kresek itu bukan tidak menyadari mata sembab Gus Faqih. Itu bukan seperti mata yang pertama kali ia lihat di warung kopi. Bukan pula seperti mata yang telah membelikannya roti di kedai saat itu. Jika mengingat pertemuan mereka, mereka selalu bertemu tanpa sengaja di saat hujan. Itulah kenapa, Laila selalu mengingat Gus Faqih di kala air itu turun dari langit.

Wajah Gus Faqih yang tadinya tampak ceria, kini berubah murung lagi. Tatapan pria berkemaja hitam itu masih tak beranjak dari layar ponsel di tangannya. Sementara Laila hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Mereka tengah menunggu Nyai Zainab dan Nyai Hasanah selesai dari toilet.

Laila dengan cepat memalingkan badan saat melihat Gus Faqih menoleh ke arahnya. Terang saja ada ringisan di wajah mungil itu, karena hatinya juga sudah merutuk. Kenapa harus terpergok lagi bahwa dia tengah memperhatikan gusnya itu.

"Sini, aku bawakan belanjaannya!"

Suara itu sedikit mengagetkan Laila. Ia terpekik dengan mengucap istighfar. Beruntung barang-barang di tangannya tidak terlepas.

"Hahaha, Mbak Cahaya kagetan ternyata, padahal tadi dah tahu kalau saya mau ngampiri."

Dih, kapan aku tahu kalau dia mau ke sini? rutuk Laila lagi dalam hati.

"Mboten usah," tolak Laila.

"Lah, nanti kalau mbahti tahu saya ngebiarin Mbak Cahaya bawa barang segini banyak, saya bisa diomelin loh."

"Ndak mungkin. Ini sudah tugas saya, Gus."

"Dih, tugas apaan. Bawa barang itu tugasnya laki-laki. Sini!" Tangan Gus Faqih terulur.

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang