32 - Arti Hujan

623 174 34
                                    

Assalamu'alaikum...
Jangan lupa Al-Kahfian ya
Perbanyak sholawat juga, karena sholawat ini sama halnya dengan kita berbisnis sama Rosul. Barang siapa yang bersholawat kepada Rosul 1x maka Allah akan menggantinya 10x.
Siapa tahu karena berkah dari sholawat tersebut, kita bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi dari hari kemarin.

Ingat...
Jangan bersaing dengan orang lain, tapi bersainglah dengan diri kita sendiri. Jangan sampai kita hari ini jauh lebih buruk dibanding dengan kita di hari kemarin.

Hamasaah.. dan semoga suka 🤗
---------------------------------

"Yang jatuh kemarin sudah pijet, Mbak Cahaya?"

Laila menautkan alis, bergeser satu langkah menjauh dari Gus Faqih yang kini sudah tersenyum geli. Wajahnya tertunduk menatap bulir air hujan yang masih turun menyapa bumi. Malu mendengar pertanyaan Gus Faqih. Sepertinya pria itu memang sengaja menggodanya saat ini.

Mereka tengah menunggu Abdul membawa mobil lebih dekat dengan mereka karena tadi parkirnya memang agak jauh dari warteg. Mobil-mobil yang tadi berjejer di areal parkir sudah mulai berkurang. Itu sebabnya Abdul berinisiatif untuk mengambil mobilnya lebih dulu.

"Jangan sampai telat pijetnya. Nanti badannya sakit semua."

Laila masih saja diam. Tak berselera untuk menjawab. Perutnya juga masih uring-uringan karena telat makan.

"Oya, menurut Mbak Cahaya, hujan itu bagaimana?" Gus Faqih mengalihkan pembicaraan.

Kali ini kening Laila ikut mengernyit. Ia melangkah ke depan mengikuti gerakan laki-laki di sampingnya yang menampung tetesan air hujan dengan telapak tangannya.

"Apa Mbak Cahaya tahu? Hujan itu selalu bisa menghadirkan rasa rindu. Karena saat hujan, seringkali kita merasakan hawa sejuk yang bisa menentramkan jiwa. Gemericiknya seolah menjadi pengganti alunan nada yang bisa membuat kita kembali bernostalgia. Apalagi jika kita menikmatinya sendirian. Rasa rindu itu akan dengan mudah hadir. Rindu pada seseorang, rindu akan moment tertentu, bahkan rindu pada diri kita yang dulu."

Gadis yang semula menampung tetes-tetes hujan ditangannya mulai menurunkan tangan. Menatap pria yang nampak mencoba mengurai kenangan dalam deras hujan di depannya.

"Hujan juga bisa bermakna kemarahan. Jika kita menerobosnya tanpa tameng yang kuat, kita bisa sakit. Kalaupun tidak sakit, badan kita tetap basah, bukan? Tapi, kalau kita menunggunya dengan sabar hingga reda. Kita bisa melangkah dengan tenang pada tujuan kita tanpa harus merasa takut akan basah. Bonusnya, mungkin kita akan mendapatkan pelangi yang indah. Dan juga biasanya, orang yang cepet marah, cepet juga tenangnya. Sama seperti hujan. Kalau jatuhnya tiba-tiba deres, pasti redanya juga cepet. Tapi kalau diawali dengan gerimis, awetnya bisa masyaallah."

Pria itu melanjutkan perkataannya. Entah pengertian itu dia dapat dari buku, atau hanya presepsinya saja. Namun Laila, sekali lagi terpana pada setiap perumpamaan yang dia buat.

"Hujan juga bisa diartikan sebagai cinta dan ketulusan."

Kali ini Laila menyimpul senyum sambil lalu menunduk. Pipinya menghangat. Sementara matanya menatap bulir-bulir hujan yang jatuh menimpa genangan air di depan kakinya.

"Kenapa senyum?"

Ekspresi Laila seketika berubah kaget. Tak menyangka bahwa pria disampingnya ternyata memperhatikan wajahnya.

"Ndak, ndak apa-apa, Guse." Laila salah tingkah.

Tepat bersamaan dengan itu Abdul datang dan langsung memarkir mobil di depan mereka berdua. Gus Faqih dengan sigap mendahului Laila membuka handle pintu belakang untuk Laila. Membiarkan bulir hujan membasahi lengan bajunya.

Laila menganga tak percaya dengan sikap Gus Faqih. "Ayo Mbak Cahaya, saya bisa basah kuyup nanti kalau masih bengong." Jika tidak mendengar ucapan itu mungkin dia masih akan tertegun di tempatnya.

Lekas ia memeluk sling bag-nya sambil mendekat pada Gus Faqih. Tangan kiri pria itu juga tak canggung menahan tetes air hujan di atas kepala Laila hingga Laila masuk ke dalam mobil. Ah satu adegan romantis yang seringkali ada di drama-drama korea.

Laila masih tak melepas tas yang di peluknya. Ia mencoba menyembunyikan deru di dalam dadanya. Hatinya terlalu ramai dengan banyak suara. Selain pertanyaan 'kenapa Gus Faqih memperlakukannya begitu', salah satunya juga debat antara mungkin dan tidak mungkin.

"Ini langsung pulang nggeh, Gus?" tanya Abdul.

"Ke minimarket dulu, ya, Kang. Mbak Cahaya kan belom makan. Kita beli roti dulu buat dia. Kasihan takut pingsan di mobil. Nanti saya yang disalahkan sama mbahti."

Gus Faqih tertawa lirih sambil menatap Abdul yang juga ikut tersenyum mendengar godaan gusnya. Sementara yang digoda malah diam saja. Membeku tanpa bisa membalas. Bulu romanya kini malah ikut-ikutan berdiri.

***

Laila tetap berada di dalam mobil. Benar kata Gus Faqih, laparnya makin terasa karena dinginnya AC. Abdul menunggu di luar mobil, sementara Gus Faqih masuk ke dalam minimarket.

Tak sampai 10 menit pria tampan itu sudah keluar dengan dua kresek kecil di tangannya. Nampak ia langsung menyodorkan rokok dan satu botol minuman yang dia keluarkan dari salah satu kreseknya pada Abdul. Pria berkulit sawo matang itu menganggukkan kepala sembari tersenyum saat menerima pemberian Gus Faqih. Bisa dipastikan bibirnya juga sudah mengucapkan terima kasih.

Laila bukan tidak tahu jika Gus Faqih tengah melangkah ke arah mobil. Namun dia tidak menyangka jika gusnya itu ternyata malah mengetuk kaca mobil di sampingnya. Memberi isyarat agar dirinya mau membuka kaca jendela mobil.

"Nih! Makan dulu! Paling tidak buat pengganjal perut."

Gus Faqih menyodorkan satu kresek lainnya pada Laila. Di dalamnya ada satu roti sobek dan sekotak susu UHT. Senyum Laila merekah, hatinya berbunga mendapat perhatian dan perlakuan semanis itu.

Cepat ia menepis perasaan itu dengan gelengan kepalanya. Astaghfirullahal adzim! Apaan sih aku ini! Hatinya ikut merutuk tapi tangannya sibuk membuka roti di pangkuannya. Netranya mencari keberadaan dari pria yang tadi ada di dekatnya. Ternyata Gus Faqih sudah bersantai di depan minimarket bersama Abdul.

Ponsel Gus Faqih yang ia letakkan di kantong bajunya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari sang nenek. Nyai Hasanah.

"Waalaikumsalam, dalem, mbahti?" sahutnya.

Sudut bibir Gus Faqih naik, "masih ngopi ini di mini market," jawabnya.

Beberapa detik kemudian, raut wajah Gus Faqih berubah. Ada kecemasan dalam matanya yang kini malah menatap ke arah mobil. Tepat pada Laila yang nampak kikuk karena tertangkap basah tengah memperhatikannya juga.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un."

Abdul sontak menoleh pada pria di sampingnya. Kabar duka apa yang gusnya itu terima.

"Lalu sekarang Faqih harus ke mana?"

Abdul masih menatap Gus Faqih. Wajahnya ikut menegang.

"Pripun, Gus?" tanyanya cepat setelah Gus Faqih menutup pembicaraan dengan salam.

"Kang Abdul tahu rumah Mbak Cahaya? Eh maksudnya Mbak Laila?"

Abdul menunjuk Laila di dalam mobil. Mata Laila menyipit melihat Abdul menunjuk padanya. Ah, mungkin mereka tengah membicarakan mobilnya, tepisnya.

Gus Faqih menganggukkan kepala.

"Nggeh, tau, Gus. Pripun?"

"Antar kita ke sana sekarang!"

Gus Faqih mengangkat kotak rokok dan koreknya dengan cepat, lalu bergegas menuju mobil. Abdul yang mengekor di belakangnya tak banyak bertanya. Dari raut wajah Gus Faqih tadi serta ungkapan duka yang dia dengar, pasti ini bukanlah hal yang baik.

Pria berkulit bersih itu menengok pada Laila sebentar sebelum masuk ke dalam mobil. Telapak tangannya basah. Kabar yang dia dengar dari neneknya cukup mengejutkan. Bagaimana dia harus memberitahukannya pada gadis itu?

****

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang