Sajian udang segala macam rasa tertata rapi di atas meja makan. Udang krispi, udang goreng bawang, udang bakar, bahkan udang saus asam manis juga masih tampak mengepul. Di sampingnya tertata juga sayur selada yang tampak segar di atas nampan persegi panjang.
Humairo sudah sejak tadi mengekor di belakang Laila. Beberapa kali pula, meminta Laila untuk menjumputkan satu persatu udang krispi dari piring. Abi serta uminya sedang ada di Maroko. Menghadiri undangan dari salah satu lembaga yang juga bekerja sama dengan pesantrennya dalam bidang Alquran.
"Wah, subhanallah ...! Sudah masak semua?"
Gus Faqih yang baru saja keluar kamar langsung berdiri di depan meja makan. Dua tangannya nampak bertengger di pinggang, persis seorang mandor yang tengah memperhatikan para pekerjanya.
"Monggo, dicoba, Gus!" Mbak Tun menyodorkan garpu yang baru saja dilapnya dengan tisu.
"Bingung mau coba yang mana kalau banyak begini," ujar Gus Faqih seraya menerima garpu dari tangan mbak Tun.
Laila mundur dari sisi kursi ketika Gus Faqih beranjak ke arahnya. Mendekat pada piring berisi yang berisi udang krispi.
"Ini siapa yang bikin?" tunjuknya pada udang berlapis tepung di depannya.
"Niku, yang berdiri di belakang, Guse."
Laila menunduk saat Gus Faqih menoleh padanya. Ia pun mencoba menghilangkan kegugupannya dengan menggendong Humairo.
"Sudah saya duga, pasti bukan, Mbak Tun. Tapi, gak nyangka juga kalau mbak Cahaya yang bikin."
Humairo yang sejak tadi asyik dengan udangnya di gendongan Laila, ikut memperhatikan Gus Faqih yang menancapkan garpu pada udang krispi, lanjut mencelupkannya pada saos sambal yang sudah nangkring di sampingnya.
"Hmm, masyaallah ...! Bener-bener."
"Kalo makan, kata umi gak boleh berdiri," celetuk Ning Iro.
"Oh iya, ya. Tapi Iro juga berdiri makannya," balas Gus Faqih.
"Bukan Iro yang berdiri, Mbak Laila."
Laila ikut tersenyum mendengar kilah Humairo. Begitu juga dengan Gus Faqih yang ikut gemas dengan tingkah sepupunya itu.
"Ssh, gemesh. Sini tak cubit dulu!"
Debar di jantung Laila makin menjadi ketika Gus Faqih malah langsung mendekat dan mencubit pipi Humairo kecil, gemas. Ia sengaja memalingkan muka ke arah lain agar tak perlu mencium wangi parfum dari tubuh Gus Faqih.
Butuh perjuangan ekstra bagi Laila saat mencuci baju Gus Faqih. Entah parfum apa yang dipakai, hingga baju yang sudah terbilas air itu pun masih menyisakan wangi di indera penciumnya. Wangi yang bahkan mampu membuat debaran aneh itu berulang kali.
"Iiiiiiih, gak mauuuu!" Ning Iro mendorong mundur wajah Gus Faqih.
Gus Faqih sontak tertawa melihat Humairo memanyunkan bibirnya. Nyai Hasanah yang mendengar keributan itu langsung keluar dari kamar sambil membetulkan kerudungnya.
"Faqih, kamu ini kok masih suka ngisengin orang, sih! Sana panggil, mbah akung, kamu! Kita makan sama-sama."
Gus Faqih meletakkan garpunya dan langsung pergi meninggalkan mereka. Nyai Hasanah sendiri langsung menyuruh Mbak Tun untuk membantunya mendinginkan nasi ke atas piring yang sudah disiapkan di sisi meja. Sementara Laila, menerima tugas untuk menyuapi Ning Iro seperti biasa.
****
"Apa ini?" tanya Gus Faqih bingung melihat paper bag terulur ke arahnya.
Mbak Tun menoleh pada Laila yang sibuk mengupas bawang di sudut dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Teen Fiction"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...