🌻 Chapter 22 - Jebakan

1.6K 192 9
                                    

MARK memarkirkan mobilnya saat cahaya terik begitu menyengat. Dia kembali mendapatkan kabar jika dosennya tak ingin bertemu di kawasan kampus, dirinya diarahkan pada satu tempat yang menurut Mark cukup jauh dari perkotaan pusat. Tepatnya di pinggiran kota yang tak terlalu ramai dilewati oleh kendaraan. Ia turun dari mobil yang melindunginya dari jilatan sinar UV. Memantau keadaan sekitar jika dia akan menemukan Kun di sana seperti janji yang sudah disepakati.

Tapi tak ada tanda-tanda yang didapatkannya. Hanya keheningan dan cahaya bergelombang yang dihasilkan oleh sinar matahari terlihat di atas aspal yang memantulkan panas luar biasa, menari-nari memalui bayang pendar tipis yang kelabu. Mark memperhatikan jam tangannya, memantau waktu jika benar-benar seperti jam yang sudah ditentukan, hampir pukul setengah tiga dan Mark belum melihat siapapun di sana. Hanya kesunyian yang terlihat sejak dia datang ke tempat ini.

Mark tak curiga sama sekali.

Semuanya terasa janggal bagi Mark, sekali lagi dia memperhatikan pesan yang dikirimkan Kun beserta dosennya dan dia baru menyadari jika nomor yang digunakan oleh dosennya bukanlah nomor yang digunakan seperti biasa. Menuntaskan rasa gundah yang mulai merangkak, Mark menghubungi sang dosen dengan cepat. Menekan nomor milik sang empu untuk dihubungi.

Tersambung dengan cepat. Di seberang sana, suara sang dosen yang amat dikenalnya. Pembicaraan berlangsung dengan cepat, Mark menutup dengan nada sopan. Tangannya langsung terkulai dengan genggaman yang amat kuat membuat buku-buku tangannya memutih tanda amarah yang menggantikan rasa gundah yang merangkak.

"Bajingan." Mark mengumpat, mengutuk Kun yang berhasil menggiringnya untuk datang kemari. Dia baru sadar jika Kun ternyata ikut dalam permainan, ia benar-benar lengah.

Mark hendak berbalik, berniat untuk kembali masuk ke dalam mobilnya. Tempat yang dia pikirkan pertama kali adalah tempat tinggal Haechan, belum sempat ia meraih pintu mobil untuk masuk ke dalam. Rasa pening dirasakan oleh Mark dengan rasa berdenyut amat menyiksa, dari kaca mobil miliknya dapat ia lihat satu pantulan bayangan seseorang laki-laki yang oebih tinggi darinya dengan tongkat kayu yang masih terangkat di atas udara. Perlahan dia berbalik menatap laki-laki yang menyeringai padanya dengan tampang yang amat menyebalkan dan sangat dibenci oleh Mark tentunya.

"Keparat." Mark merasakan pening yang teramat, dia memegangi belakang kepalanya yang terasa sangat berdenyut.

"Hallo kakakku sayang, sekarang lebih baik kau tidur saja." sekali lagi Sungchan mengayunkan tongkat kayu yang dibawanya, menghantamkannya di kepala sang kakak, tepat di dekat pelipis tanpa rasa bersalah atau takut ada yang melihat. Dia tersenyum amat puas saat dia melihat tubuh sang kakak yang kembali terbentuk di badan mobil sebelum meringkuk di atas aspal jalanan. Dan ia yakin, panasnya dapat membuat Mark tambah kesakitan.

"Kau brengsek Sungchan, kau ingin membunuhku lagi?" Mark mengatur nafas, dua pukulan dan itu sudah membuat dia tak berdaya, ditambah dengan panas aspal yang menyengat di tubuh bagian kanannya, wajahnya terasa terbakar. Dia menatap sayu, menatap ujung sepatu Sungchan yang selangkah lebih dekat dengan matanya, Mark memejam merasakan betapa kepalanya berdenyut tak menyenangkan.

"Tidak apa, bagaimana jika sekarang kita membuatnya lebih menyenangkan. Aku kasihan sekali dengan Haechan, tapi tidak apa. Aku akan menjagamu saat kau sudah tak ada lagi di sampingnya. Hyung." Sungchan melempar tongkat kayu yang dibawanya, meludah ke atas aspal yang panas hingga ludahannya mengering karena mengusap. "Sekarang tidurlah sebentar saja."

Mark harus kembali merasakan sakit hingga dia tak sadarkan diri. Wajahnya seketika terasa kebas saat punggung kaki Sungchan menghantam wajah hingga tulang hidungnya mungkin sedikit retak, ia benar-benar hilang kesadaran. Di tangan adiknya sendiri yang kini sudah kelewat batas.

[11] Flower CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang