Bab 10 - Tanda Merah di Leher Dewa

2.6K 128 2
                                    

Ternyata manis tidak selamanya manis, pasti ada pahit yang samar ditutupi oleh hal manis.

Fernada Rima Ariani

"Kamu ada masalah?" Adit duduk di sebelah Nada---masih di ruang siaran. Karena dia mendapatkan siaran malam. Disela-sela siaran Nada---Adit bertanya ke dia.

"Tidak, Dit," Nada berbicara singkat dan kemudian menggeleng.

Dia tidak mungkin mengumbar masalah rumah tangganya kepada orang lain---walau itu kepada sahabatnya sendiri.

Baginya, masalah keluarga itu hanya dia yang tahu. Sesakit apa, separah apa dia yang mengalami sendiri. Bukan orang lain.

Jadi kalau cerita kepada orang lain, Nada takutnya menjadi bahan pergunjingan. Biarkan saja dia menjalani hidupnya sendiri.

Nada kembali fokus ke depan, sebentar lagi iklan yang mengalun akan berakhir. Dan, waktunya dia menyapa penggemar lagi.

---

Pada malam hari, seusai bekerja baik Nada dan Dewa sudah berada di rumah. Benar-benar mencekam karena tidak ada obrolan di antara mereka berdua.

Sibuk pada kegiatan dan kesibukan masing-masing. Nada, sedang sibuk mencoba resep baru yang dia lihat di youtube. Sedangkan Dewa, sedang bermain play station di ruang santai.

"Semoga enak," Nada mulai memasak sebuah seblak komplit dengan porsi yang cukup untuk dua orang.

Seblak memang banyak digemari kalangan semua usia, dari muda hingga tua. Terlebih lagi perpaduan rasa dan isi yang begitu melimpah.

Dia mulai berkutat dengan bawang merah dan bawang putih. Hingga pukul delapan malam---hidangan itu selesai dibuat.

"Mas, sini makan seblak," Nada berbicara sedikit berat kepada Dewa.

Mendengar kata seblak, Dewa segera meloncat menuju dapur rumah. Dua porsi seblak sudah tersaji di meja makan.

Namun, Nada tiba-tiba tercenung melihat ke arah Dewa, ada sedikit tanda merah di lehernya.

"Mas, coba buka baju kamu!" Nada berbicara sambil menunjuk ke arah Dewa.

Dewa yang sedang asik memakan seblak, kemudian berhenti dan menatap Nada dengan keheranan. Buka baju? Untuk apa?

"Jangan di sini dong, sayang. Di kamar saja," Dewa menatapnya sambil mengunyah seblak.

"Enggak, buka sekarang!" Nada menaikan suaranya.

Dewa, mau tidak mau harus menurut. Supaya Nada senang dan tidak mengamuk kembali---dia mulai membuka kancing bajunya dan benar-benar dia sekarang tidak mengenakan atasan.

Nada hanya diam menatap tanda merah yang ada di leher Dewa---tanda merah itu ada dua.

"Kamu habis main sama siapa? Coba lihat leher kamu!" Nada memberikan gawai yang sudah membuka kamera depan.

Dewa mengambil gawai dari tangan Nada dan kemudian mengarahkan ke arah lehernya. Alangkah terkejutnya dia mendapati dua tanda merah di lehernya.

Dia tidak menyangka, bahwa Saqila kemarin meninggalkan kenang-kenangan di lehernya. Bodohnya seorang Sadewa adalah tadi tidak berkaca saat setelah selesai mandi.

Dewa diam tidak berkutik---kepalang basah. Bohong pun juga percuma, dia tidak mungkin bilang kalau habis digigit nyamuk atau terjatuh.

"Sa-sayang, i-itu tadi aku garuk leherku karena gatal. Jadinya sampai merah," Dewa berbicara terbata-bata.

Nada langsung megang tanda merah tersebut dan memastikan apa benar itu bekas dari kuku tangan Dewa? Otak Nada mulai bermain.

Kalau bekas garukan, tidak mungkin merah tercetak. Dia tahu Sadewa berbohong.

Nada meninggalkan seblak yang belum dia sentuh sama sekali---berlari menuju kamar. Hatinya benar-benar sakit sekali.

Dewa mencoba mengejar Nada tetapi percuma, pintu itu sudah dikunci dari dalam kamar.

"Ibu..." Nada melakukan panggilan suara dengan ibunya, bersama air mata yang terus saja menderai.

Sementara, Dewa yang masih berdiri di depan pintu kamar. Terus berusaha agar Nada mau membuka pintunya.

---

Dewa terbangun ketika jam dinding menunjukan pukul tengah malam---ya, dia ketiduran di depan kamar mereka berdua. Setelah berusaha membuka pintu dan ingin meminta maaf dengan Nada.

Dia baru saja ingat, karena Dewa memiliki kunci ganda yang dia bawa ke mana-mana. Setengah mengantuk---dia berjalan turun mencari kunci yang biasanya dia taruh di vas depan---tepatnya di ruang tamu.

Setelah mendapatkan, dia kembali berlari naik. Memasukan kunci ke dalam tempatnya, namun, ternyata sia-sia. Di balik pintu sudah ada kunci yang menancap.

"Kenapa sih? tadi aku tidak mandi dulu? Biar tahu, kalau ada kissmark di leher!" Dewa menekuk kaki---dan dia peluk sendiri.

Kemudian dia membanting guci kecil yang ada di sebelah tangga---dia benar-benar ceroboh sekali.

Nada yang berada di dalam kamar---sudah terlelap dia juga terlonjak karena sesuatu barang yang dibanting atau jatuh dari luar. Dia bangkit dan membuka pintu, benar saja---guci kesayangannya ini dibanting oleh suaminya.

"Kalau kamu emosi! Jangan lampiaskan kepada barang koleksiku dong!" Nada menatap Dewa yang masih duduk di lantai.

Sadar kalau Nada bangun, Dewa langsung bangkit dan memeluk istrinya dari belakang. Namun ditolak secara kasar oleh Nada.

Nada berjalan turun, mengambil sapu untuk membersihkan pecahan guci tadi. Dia tidak memperdulikan kantuknya yang masih menyapa dan bertengger pada dirinya.

"Sa-sayang, maaf, maafin aku," Dewa ikut berjalan mengekori Nada yang menuruni anak tangga.

Sudah terlambat Dewa! Sudah terlambat! Lihatlah! Nada sudah marah. Dewa membatin sendiri.

Bersambung...

After the Sacred Marriage [Dewasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang