"Kamu kalau udah kayak gini baru inget sama Ibu!" Ibu Dewa berbicara sedikit kasar.
Hati orangtua mana yang tidak sakit, jika anaknya mengingatnya ketika ada masalah saja. Ketika tidak ada masalah malah Dewa jarang sekali main ke rumah kedua orangtuanya itu.
Dewa datang sudah dari tadi---empat puluh menit yang lalu, selepas dari rumah sakit. Bercerita tentang ucapan Saqila yang meminta berpisah.
Tidak, Dewa tidak langsung ke intinya. Dia bercerita bahwa Saqila sudah melahirkan seorang anak perempuan. Kamu mau tahu respon Ayah dan Ibu Dewa?
Mereka hanya diam dan tersenyum secara terpaksa, entah kenapa mereka berdua belum bisa menerima Saqila sebagai menantunya.
"Syukurlah, kalau lancar," cuma itu responnya. Singkat sekali.
"Saqila minta bercerai, Bu," perkataan Dewa beberapa menit yang lalu itu---membuat Ibu Dewa langsung naik pitam.
Ayah Dewa sedang mandi sekarang, karena letih katanya. Habis bekerja. Ibu Dewa memang sudah mengira sejak awal---bahwa akan ada masalah besar selepas Dewa dan Saqila menikah.
Ternyata dugaan itu benar, ya memang tugas seorang ibu adalah mendoakan yang terbaik untuk anaknya.
Ibu Dewa tidak pernah berdoa yang jelek kepada anaknya ini, dia memiliki sebuah perasaan naluri keibuan yang sangat kuat. Bahwa nanti---ke depan. Hubungan Dewa dan Saqila tidak akan bertahan lama.
Setelah Ibu Dewa mengetahui dan juga menelaah kisah-kisah yang dialami oleh mendiang mantan menantunya dulu, Nada. Dia termasuk orang yang percaya akan adanya karma.
"Bukan gitu, Bu. Aku juga lagi sibuk," Dewa mencoba membela diri dari perkataan ibunya barusan.
"Sibuk apa? Kerjamu juga tidak satu hari penuh, hanya delapan jam Dewa. Apa sih susahnya mengunjungi Ibu sama Ayah?"
Ibu Dewa berbicara tanpa melihat ke anaknya. Dia malah menatap televisi yang sedang menayangkan berita bencana alam. Sambil tangan kanannya memegang remot.
"Iya, maafkan Dewa," Dewa berangsur duduk di dekat Ibunya memberinya pelukan hangat.
"Ibu tahu, tugasnya adalah menaungi keluh kesah anak. Tetapi jangan pas susah aja kamu bagikan kepada Ibu," Ibu Dewa tidak melepaskan pelukan anaknya.
"Betul, Dewa. Kamu sama Nada dulu tidak gini loh." Ayah Dewa muncul dengan bertelanjang dada. Dengan bawahannya mengenakan sarung.
Ayah Dewa ikut duduk di kursi, jam baru menunjukan pukul lima sore. Dewa di sini sejak jam empat tadi. Dewa merasa risih, saat dirinya dibanding-bandingkan dengan yang dulu.
Hubungannya dengan Nada sudah menjadi buku di masa lalu, tidak pantas diungkit lagi. Supaya yang bersangkutan bisa tenang di sana.
"Jangan bahas Nada, Yah," Dewa melepas pelukannya dari Ibunya.
"Kenapa? Karena kamu takut dirundung kecewa karena dulu menyiakan dia?" Ayah Dewa melipat kedua tangannya di depan.
"Kamu sedang kena karma, Dewa," Ibu Dewa mengangkat kedua bahunya ke atas.
Karma? Ya, memang aku sedang mengalami dan merasakan seperti Nada dulu, istriku tersayang yang tega aku sakiti hatinya. Batin Dewa masih melihat ke arah Ibunya.
"Gyo jadi datang ke sini, Bu?" Ayah Dewa menepuk tangan istrinya yang duduk di sebelahnya.
"Jadi, Pak."
Dewa mengernyit, Gyo? Untuk apa mantan adik iparnya itu datang ke rumahnya? Apa ingin membuat permasalahan lagi?
Padangan Dewa lurus ke depan, dia tidak sadar kalau dilihat terus oleh kedua orangtuanya itu.
"Nah itu dia, Pak," Ibu Dewa berkata lagi, sambil menunjuk ke pintu depan yang sudah ada sosok Gyo berdiri di sana.
"Assalamualaikum," Gyo masuk---menyalimi Ayah dan Ibu Dewa, mantan mertua Nada.
Dia meninggalkan Dewa yang merubah posisi menjadi menunduk dalam-dalam. Hatinya benar-benar masih sakit ketika melihat pria hidung belang ini.
"Sebentar, Bapak pakai baju dulu ya Gyo," Ayah Dewa berdiri---menyilakan Gyo duduk di tempatnya tadi.
"Ibu bikinkan kopi, ya." Nah! Ibu Dewa juga ikut bangkit berjalan ke belakang---menuju dapur.
Kini tinggal Dewa dan Gyo yang ada di ruang tamu, terjadi kecanggungan di sana. Gyo memilih membuka gawai, mengabari ke seseorang yang di sayang---Nada.
Ya, walau Nada sudah tidak ada. Gyo selalu melakukan rutinitas itu. Menghubungi Nada via pesan di WhatsApp padahal dia tahu bahwa gawai milik Nada sudah dibakar oleh dirinya sendiri.
Nomornya juga sudah tanda centang satu, dan notifikasi terakhir dilihat itu adalah terakhir saat Nada akan pulang dari Bintang Bersinar FM. Sebelum kecelakaan itu terjadi.
Mbak, aku sudah berada di rumah mertua kamu. Lihat di sini juga ada Mas Dewa, dia sepertinya sedang tertimpa masalah.
Mbak lagi ngapain di sana? Gyo kangen sekali. Ibu dan Bapak juga sehat kok di sini.
Merasa canggung, Dewa melihat ke arah Gyo yang sedang asik mengetik. Dengan air mata yang mulai menetes.
"Kenapa nangis, Dek?" Dewa mencoba bersikap baik ke Gyo.
Gyo mendongak dari gawainya, menatap ke Dewa, "lagi ngirim pesan ke Mbak Nada," ucapnya seraya memberikan gawai itu kepada Dewa.
Dewa membaca pesan-pesan yang ditujukan untuk Nada, setiap hari satu pesan. Dan selalu ada kata 'kangen' yang diketik oleh Gyo.
Hatinya kembali teriris, ternyata Gyo masih benar-benar merasa kehilangan. Padahal Nada sudah selesai pengajian seratus harinya.
Dewa bangkit, duduk sebelah Gyo. Dia memeluknya---Gyo tidak menolak, dia malah semakin menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Dewa.
Dewa kembali merasakan hatinya dicabik-cabik ketika mendengar tangisan Gyo yang dalam. Dia sadar tidak melukai satu orang saja, melainkan banyak orang. Orang-orang yang dekat dengan Nada.
Satu sisi, Ibu dan Ayah Dewa mengintip dari kejauhan, balik pintu pemisah antara ruang tamu dan ruangan-ruangan lain di baliknya.
"Ternyata Gyo masih sulit untuk merelakan Nada ya, Pak." Ibu Dewa sambil membawa kopi berbisik kepada suaminya yang ikut mengintip di sebelahnya.
"Begitulah, Bu. Susah memang melupakan orang yang disayang, tidak bisa sebentar," Ayah Dewa menyahuti juga dengan berbisik.
Kemudian, mereka berdua diam. Menyaksikan dan mendengarkan kembali perbincangan mereka berdua.
Dewa melepas pelukannya, dia menunduk. Menguatkan hatinya untuk meminta maaf kembali ke Gyo.
"Mas tahu, Dek. Kamu masih merasa kehilangan, tetapi sampai kapan kamu seperti ini terus?" Dewa menatap Gyo.
"Kalau merasa kehilangan akan sosok Mbak Nada, Mas juga sama merasakan. Bahkan lebih parah dari yang kamu rasakan," sambung Dewa.
Tetapi Gyo masih bungkam---mendengarkan Dewa berbicara.
"Jodoh, rezeki, maut itu sudah ada yang mengatur Gyo. Kalau kamu masih benci sama Mas Dewa, silakan."
"Tapi Mas, Mas Dew---" Nada bicara Gyo sudah stabil.
"Mas Dewa yang menyebabkan Mbak kamu meninggal? Iya? Kamu mau ngomong gitu? Oke, iya, Mas memang salah. Sudah menyakiti hati Nada.
Tetapi Mas jujur ya, Gyo. Dari hati Mas yang paling dalam, juga nggak pengin Nada meninggal. Tetapi ini semua apa? Takdir Yo," Dewa menepuk kedua pundak Gyo.
Bersambung...
PBITSS update juga, bagaimana dengan bab ini? Kasihan sekali aku melihat Gyo.
Terima kasih, karena sudah membaca sampai titik ini. Juga, mau vote dan spam komentar dari bab awal.
Sayang kalian,
Al.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Sacred Marriage [Dewasa]
Fiction généraleVOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! Judul sebelumnya: Pendengar Baru Itu Ternyata Simpanan Suamiku Fernada Rima Ariani terkejut ketika nama suaminya disebut oleh pendengar baru di radio tempatnya bekerja. Walau dia hanya menyebutkan nama; Sadewa. T...