Bab 1 - Kilas Balik

8.9K 241 0
                                    

Perempuan berusia dua puluh empat tahun itu tersenyum lega ketika semua perjuangannya selama empat tahun itu---berakhir dengan capaian nilai yang memuaskan.

Fernada Rima Ariani sedang berdiri dengan kekasihnya, Sadewa Jingga Oktavian. Berada di luar gedung gelaran wisuda. Nada dan Sadewa Berswafoto berdua---setelah masing-masing sudah mengabadikan momen dengan keluarganya.

"Tinggal satu tahap lagi, sayang." Sadewa dengan senyum manisnya merapikan toga kekasihnya itu.

"Apa itu, Mas?" Nada berbalik bertanya kepada kekasihnya yang berumur sama.

Sadewa berlutut dengan satu kaki, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah hati. Dibukanya kotak bludru berwarna merah itu yang seketika membuat Nada terharu.

"Maukah kamu menjadi istriku?" Sadewa memandangi Nada yang masih berkaca-kaca. Para mahasiswa lain yang berada di lokasi sama. Mulai mengelilingi mereka berdua.

"Terima! Terima!" Sorak mereka secara bersamaan. Nada kemudian mengangguk malu, Sadewa berdiri memeluknya dan memasangkan cincin di jari manis kekasihnya.

Kedua orangtua dari Nada dan Sadewa sama-sama mendekati anak mereka. Pada momentum ini, mereka pertama kali bertemu. Padahal Nada dan Sadewa sudah berpacaran sejak sama-sama menjadi mahasiswa baru.

"Selamat Fernada Rima Ariani, S.I.Kom," para teman-teman yang ada di sana mulai mengucapkan selamat kepada Nada. Meski banyak yang tidak dikenali olehnya.

"Selamat juga buat Sadewa Jingga Oktavian, S.E," ternyata tidak hanya Nada yang mendapat ucapan selamat.

Pasangan kekasih ini membalas ucapan mereka dengan ucapan selamat kembali. Hingga satu demi satu para wisudawan mulai meninggalkan kampus.

---

Nada menurunkan hadiah-hadiah dari taksi online yang dia pesan untuk membawa dia juga kedua orangtua---pulang ke rumah.

Nada tinggal di sebuah kampung di perbatasan antara Kota Malang dan Kabupaten Malang. Kampungnya benar-benar asri, karena masih banyak pematang sawah yang masih beroprasi. Sejak lahir hingga besar dia masih tinggal di kampung yang sama.

Banyak sekali hadiah dari sahabat-sahabatnya dikampus. Terutama, Kelvin. Teman satu sekolah dasarnya dulu---dipertemukan lagi di kampus. Juga para sanak keluarga yang ikut memberi ucapan serta kado---walau hanya berbentuk hampers jajan.

"Cie yang dapat banyak kado, sekaligus dilamar Mas Dewa," Gyo, adik laki-laki Nada menyambutnya dengan senyuman yang terpaksa.

"Sok tahu, kamu. Makanya kamu belajar yang rajin. Biar bisa kuliah, jangan pacaran mulu," Nada menjulurkan lidah ke Gyo.

Nada berjalan ke kamarnya dan kemudian duduk di meja rias. Ingatanya kembali saat Sadewa melamarnya. Kekasihnya itu apa benar-benar mantap untuk memilihnya sebagai calon istri? Apa tidak ada kemungkinan dia berkhianat nanti?

Nada menepis pikiran buruk yang tiba-tiba datang itu, dia yakin bahwa Dewa benar-benar laki-laki yang baik.

Dia mulai menghapus riasan yang tertempel di wajahnya hingga benar-benar bersih. Menanggalkan kebayanya, dan berjalan ke arah kamar mandi.

Badannya sudah lengket sekali oleh keringatnya, terlebih lagi di dalam gedung tempatnya diwisuda tadi sangat panas sekali. Dan, di isi oleh ribuan orang.

---

Acara resepsi pernikahan Nada dan Dewa digelar dengan meriah, teman-teman sekolah dan kuliah berdatangan untuk memberi selamat kepada kedua mempelai.

Hidangan beraneka macam telah tersaji di meja prasmanan, tamu sangat banyak sekali. Pagi harinya, akad nikah juga tergelar dengan penuh haru.

"Akhirnya, empat bulan setelah kita wisuda. Kita menikah ya," Ucap Dewa yang sedang mengenakan jas berwarna merah, senada dengan gaun yang dipakai oleh Nada.

Ya, kedua belah pihak sudah melakukan pertemuan antar keluarga. Batara dan Jihan orangtua Nada juga menyambut Surya dan Tari---orangtua Dewa dengan hangat.

Nada hanya tersenyum mengingat pertemuan sekaligus penentuan tanggal pernikahannya dengan Dewa---yang sudah terlaksanakan sesuai agenda. Lalu pandangannya tertuju kepada tamu-tamu yang ingin bersalaman dan berfoto dengan kedua mempelai.

Tidak henti-hentinya mereka berdua mengucapkan terima kasih dan menerima salam tempel atau angpao dari mereka yang sudah datang.

Hingga menjelang pukul sepuluh malam, Nada dan Dewa sudah tidak duduk di kursi pelaminan. Dia sekarang sudah berada di kamar Nada---juga menjadi kamar Dewa sekarang. Dengan kado-kado yang tertumpuk di sudut kamar.

Nada dan Dewa sama-sama telah berganti pakaian, tetapi Nada masih sibuk untuk menghapus riasan yang ada di mukanya. Dewa sudah duduk di ranjang, memperhatikan istrinya.

"Setelah beberapa tahun tidur sendiri, mulai detik ini aku sudah mempunyai teman." Dewa masih menatap lekat-lekat Nada dari balik kaca.

Nada merasa tersipu, dia tidak menyangka akan menikah muda. Tetapi menurutnya menikah dan mengejar karir bisa dilakukan bersama-sama.

Dia sudah selesai menghapus riasan, saat ini dia benar-benar menunjukan wajah asli kepada Dewa. Tetapi Dewa masih saja tersenyum.

"Kamu cantik," Dewa mengelus rambut Nada yang panjang. Dia mendekat ke arah Nada---kemudian mencium kening istrinya.

Pipi Nada memerah, Dewa lagi-lagi memberikan senyum manis. Kaos yang dipakai sudah ditanggalkan. Nada memandang ke arah pintu yang masih terbuka, Dewa mengerti apa yang diinginkan istrinya. Dia bangkit dan berlari mengunci pintu kamar yang lumayan luas ini.

"Waktunya hidangan utama," Dewa lalu mematikan lampu kamar.

After the Sacred Marriage [Dewasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang