Dewa sedang menyiapkan berkas-berkas untuk pernikahannya dengan Saqila. Setelah menunggu dua bulan---untuk merubah kartu keluarga dan kartu tanda penduduk serta alamat domisili Dewa.
Pernikahan Dewa dan Saqila nanti tidak semeriah dulu, seperti ketika menikahi Nada. Saqila dan Dewa sudah menyetujui bahwa pernikahan mereka akan digelar sederhana saja. Tanpa undangan dan lain-lain. Yang paling penting mereka sudah sah---menjadi pasangan.
Kehamilan Saqila sudah memasuki usia empat bulan---itu juga yang menjadikan alasan Dewa untuk tidak menggelar pernikahan mewah.
"Apalagi ya?" Dewa melihat ke arah berkas-berkas di depannya yang berantakan.
Berkas itu bukan punya Dewa saja, melainkan punya Saqila juga. Dijadikan satu, karena memang satu domisili.
Saqila juga demikian, dia sudah merubah kartu keluarganya. Karena memang Gusti sudah meninggal dunia---alhasil, dirinya yang menjadi kepala keluarga sekarang.
Tepat hari pertama Januari, dua bulan lalu. Saqila sudah meminta untuk segera menggelar akad nikah secara sah juga diakui oleh negara. Dia tidak mau menunggu terlalu lama.
Tok! Tok! Tok! Pintu kamar kos Dewa diketuk oleh seseorang. Dewa bangkit dan membuka pintu. Di depan sana sudah ada ayah dan ibu dari Dewa.
Kunjungan pertama mereka setelah sekian lama, ketika hari pertama Dewa tinggal di Kos Dino. Dia langsung mengabari kedua orangtuanya dengan harapan supaya dijenguk.
Akhirnya, harapan itu terwujud. Setelah menunggu setelah lama, apa hati mereka sudah melunak?
"Pak, Bu," Dewa mencium punggung tangan dan kedua pipi orangtuanya itu.
Tidak ada penolakan di sana, Dewa yakin bahwa orangtuanya sudah menerima kenyataan. Kalau anak kesayangannya ini telah menghamili seseorang dan ketika masih menjadi suami mendiang Nada.
"Berantakan sekali," gumam Ibunya sambil masuk lebih dahulu.
"Ini berkas apa Dewa?" Ayah Dewa berjongkok dan mengambil berkas itu---membaca sekilas.
"Berkas untuk dibawa ke Kantor Urusan Agama," jawab Dewa sambil duduk di dekat ayahnya.
Mendengar kata KUA, Ibu Dewa juga ikut nimbrung. Dia melihat kedua pasang foto berbagai ukuran yang berserakan di sana. Foto Dewa dan Saqila dengan latar belakang biru.
Ibu Dewa tidak menyangka, bahwa alur kehidupannya bisa berubah secara drastis seperti ini. Padahal dulu, dia sangat senang ketika Dewa menikah dengan Nada. Selain rajin beribadah, berprestasi, Nada adalah orang yang dermawan. Sampai-sampai dia setuju untuk memberi hadiah rumah, selepas pernikahan---bersama mantan besannya.
Ibu Dewa masih fokus dengan foto Saqila dihadapannya, perempuan itu sangat berbeda dengan Nada. Nada memang selalu memakai kerudung, sedangkan Saqila tidak. Dirundung kecemasan dalam hati Ibu Dewa ini, tentang apa, bagaimana dan kenapa?
Apa bisa aku cocok dengan gadis ini? Bagaimana perilaku calon istri Dewa ketika sudah sah? Apa dia baik seperti Nada kepadaku? Kenapa ini bisa terjadi pada hidupku?
Begitulah batin Ibu Dewa saat ini, begitu ramai bukan? Naluri seorang ibu memang, tidak bisa diam memikirkan kebaikan untuk anaknya. Walau terkadang dihujam oleh pisau-pisau luka hadiah dari sang anak.
"Pernikahanmu kapan?" Ayah Dewa menatap anaknya.
Dewa bisa melihat raut lelah wajah ayahnya---dia merasa bersalah pada usia yang sudah tua. Lagi-lagi masih menyusahkan mereka.
"Satu bulan lagi, sebelum bulan puasa Pak," jawab Dewa.
Bulan puasa memang telah menyapa, tiga bulan lagi. Supaya Dewa bisa merasakan puasa dengan pasangan, lagi-lagi seperti dahulu. Kedua orangtua Dewa masih belum bertemu dengan Saqila---bahkan lewat panggilan video.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Sacred Marriage [Dewasa]
Fiksi UmumVOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! Judul sebelumnya: Pendengar Baru Itu Ternyata Simpanan Suamiku Fernada Rima Ariani terkejut ketika nama suaminya disebut oleh pendengar baru di radio tempatnya bekerja. Walau dia hanya menyebutkan nama; Sadewa. T...