Ada karakter baru, memperkuat cerita.
Teruntuk suamiku tersayang,
Aku menulis sepucuk surat ini. Sesaat setelah mengetahui kebusukanmu bersama perempuan bernama Saqi atau Ila. Mas, tidak kusangka. Ternyata ucapan 'cinta' dan 'sayang' bertubi-tubi kamu utarakan dulu. Kini menjadi bumerang bagiku.
Mas, aku masih tidak percaya. Kalau kamu yang kuanggap setia dan hanya untukku, ternyata kamu malah bermain gila di belakangku.
Setelah kejadian digosipkannya kamu oleh ibu-ibu komplek, aku malu setengah mati, Mas.
Selepas pemakaman Nada yang sesuai rencana, pukul sembilan pagi jenazah Nada diberangkatkan dari rumah duka. Dua jam setelahnya Dewa kembali ke rumah. Kini hanya dia seorang, tidak ada Nada atau para pelayat. Dewa benar-benar merasa kesepian.
Dia ingat dalam mimpinya, Nada memberitahu bahwa ada sepucuk surat untuknya, dia menemukan tas mendiang Nada di kamar pribadi mereka. Entah siapa yang bisa memasukannya ke sini?
Dewa menemukan secarik surat yang setiap sudutnya sudah ada bercak darah berwarna merah. Mungkin, saking banyaknya darah Nada yang keluar. Hingga meresap ke dalam tasnya juga. Dewa membacanya baru satu halaman. Masih ada tiga sisi lagi, yang penuh dengan tulisan Nada.
Dewa melanjutkan membaca halaman selanjutnya---di kamar. Seorang diri.
Bahkan, Adit sudah cerita. Bahwa kamu jalan ke bioskop dengan seorang perempuan yang ternyata adalah Saqila pendengar di Bintang Bersinar. Hahaha, dunia itu sempit memang Mas.
Aku saja kaget, ketika menemukan fotomu bersama dia. Dengan lehermu yang merah dan pakaian itu ketika kamu berbohong ke aku soal salat dahulu.
Bisa-bisanya kamu Mas. Kepada orang lain, tersenyum dengan tulus. Sedangkan kepada istrimu ini, tidak pernah kamu sentuh sampai detik ini.
Oh iya, Mandul? Aku tidak mandul. Kamu saja tidak menyentuhku, bagaimana bisa aku hamil jika tidak disentuh oleh suamiku?
Napas Dewa naik dan turun dengan cepat, ketika sampai pada penghujung sisi ke dua dari kertas ini. Dewa memang pernah berkata 'mandul' kepada Nada dan mendorong perempuan itu.
Dia menyesal, ketika luka-luka yang diberikannya untuk Nada. Masih melekat dan membekas diingatan istrinya---yang kini sudah pergi untuk selamanya.
"Mas Dewa," Gyo tiba-tiba sudah berdiri di depan Dewa yang duduk di lantai.
Gyo masih mengenakan pakaian yang sama, sejak semalam. Baju kemeja hitam lengkap dengan peci atau songkok yang menempel menutupi rambutnya.
"Loh, Dek. Kamu kok bisa ada di kamar Mas?" Tanya Dewa gelagapan dan langsung berdiri.
"Ini, aku disuruh Ibu nemani Mas Dewa. Sampai tujuh hari ke depan, takut nanti kalau ada rekan-rekan Mas Dewa yang datang," Gyo berbicara dengan mata yang sangat sembab.
Apa Gyo habis menangis lagi? Batin Dewa.
Ketika jenazah Nada masuk ke dalam peristirahatan terakhirnya, Gyo dan Ibunya yang menangis begitu derasnya. Dewa yang ikut berdiri menyaksikan peti itu diturunkan menggunakan tali---juga tidak bisa berkata-kata.
Gyo tipikal orang yang sangat mudah menangis, walau dia seorang laki-laki. Apalagi menyentuh soal orang-orang yang disayang, pasti dia mudah sekali menitihkan air mata. Seperti sekarang ini.
"Mas Dewa lagi baca apa?" Tangan Gyo kontan meraih kertas itu dari tangan Dewa, dia membaca dengan cermat.
Tidak ada perebutan kertas ini dari Dewa, entah sia-sia juga memendam rahasia keretakan hubungan Nada dan dirinya---tidak ada gunanya, karena Nada juga sudah pergi. Tidak bisa kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Sacred Marriage [Dewasa]
Fiksi UmumVOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! Judul sebelumnya: Pendengar Baru Itu Ternyata Simpanan Suamiku Fernada Rima Ariani terkejut ketika nama suaminya disebut oleh pendengar baru di radio tempatnya bekerja. Walau dia hanya menyebutkan nama; Sadewa. T...