Bab 16 - Mandul? (1)

1.5K 103 6
                                    

Pukul delapan pagi lebih lima menit, sebuah suara terdengar dari masjid perumahan. Nada sedang berada di dapur, menutup rantang plastik berwarna ungu---tiga susun.

Inalillahi wainailaihi rajiun, telah kembali ke rahmatullah, Ibu Dirma dari Blok Panda. Akan disemayamkan di pemakaman umum di daerah asalnya.

Rantang yang sudah berisikan makanan ini seketika jatuh dari tangan Nada---berserakan di lantai, dia baru saja selesai menyajikan makanan.

Tetapi Tuhan berkehendak lain, Ibu Dirma meninggal dunia. Kaki Nada lemas, hingga dia tidak bisa berdiri dengan kakinya sendiri.

Tidak terasa air matanya menetes berkali-kali---saat dia memunguti makanan yang berserakan. Dia sudah membuat bubur ayam yang enak.

Selepas membersihkan, Nada bergegas menuju ke kamar. Dia melihat Dewa melakukan panggilan video dengan seorang perempuan. Ini, akan dia bahas nanti seusai melayat. Laki-laki ini baru bangun.

"Kamu kenapa nangis?" Dewa buru-buru mematikan panggilan itu. Nada hanya berbicara singkat.

"Tetangga kita meninggal dunia," jawabnya dengan sesenggukan tanpa menatap Dewa.

Dewa bangkit, dan menarik Nada dalam pelukannya. Tetapi Nada langsung mengangkat tangan---karena dia tergesa-gesa ingin melayat.

Nada membuka lemarinya, mencari gamis hitam. Tanda ikut berduka atas meninggalnya Ibu Dirma, yang baru saja dikenalinya.

Selepas mendapatkan yang dia cari, Nada berjalan menuju kamar mandi---untuk berganti baju. Dewa hanya menatap istrinya berlalu.

"Kamu nanti harus ikut melayat, Mas." Nada berteriak dengan kencang dari dalam kamar mandi.

"A-aku harus kerja, aku tidak libur," Dewa juga berteriak menghadap ke arah pintu kamar mandi.

"Terserah! Kamu memang tidak punya empati!"

Kemudian Dewa hening, dia tidak kerja. Jadwal liburnya kebetulan sama dengan istrinya. Untuk kali ini. Dia memiliki janji dengan seseorang, ya Saqila.

Tadi selepas bangun tidur, Saqila langsung menghubungi Dewa lewat panggilan video. Padahal, tadi malam sudah bertemu. Begitu obsesinya Saqila kepada Dewa.

Membuat Dewa terkadang jengah dan ingin lari dari perempuan penggoda---yang selalu saja berhasil menggodanya.

Nada membuka pintu kamar mandi, lengkap dengan sudah menggunakan kerudung berwarna senada---hitam.

"Kamu marah?" Dewa bertanya dengan bodohnya.

"Oh, jelas. Siapa yang tidak marah, ketika mendengar seseorang laki-laki menyelinap masuk lewat jendela orang di Flamingo!" Nada menunjuk-nunjuk ke arah muka Dewa.

Dewa sangat terkejut, kenapa bisa Nada mengetahui kejadian tadi malam. Padahal, Nada kemarin tidur sangat nyenyak.

"Ka-kamu tahu dari siapa?" Dewa berdiri menghadap Nada yang naik pitam.

"Jangan anggap aku bodoh ya, Mas. Orang lain akan menunjukan sendiri kebusukanmu yang selalu kaututupi itu!"

Plak! Nada menampar Dewa. Dia benar-benar emosi dengan sesuatu yang dia dengar di tempat sayur tadi, walau tidak tahu dengan kepala matanya sendiri, Nada percaya bahwa itu benar suaminya.

Dewa mengelus bekas tamparannya yang keras di pipi kanannya, dia tidak menyangka bahwa istrinya bisa menampar dengan kencang dan tega.

"Dasar mandul!" Dewa mendorong tubuh Nada hingga dia hilang keseimbangan dan hendak terjatuh.

Untungnya Nada berpegangan pada meja yang ada di kamarnya, air matanya kembali menetes. Kamu penasaran dengan mata Nada sekarang? Lihatlah sangat sembab.

Dewa berjalan keluar kamar tanpa membawa gawai, menuju dapur hendak membuat kopi. Nada berdiri kembali dan keluar menuju rumah Ibu Dirma.

---

Rumah duka sudah ramai dengan pelayat, tetangga-tetangga di sekitar Blok Panda bahkan sampai keluar.

Ya, walau tinggal di perumahan, warga-warganya sangat solid dan menjunjung kekompakan.

Bagi mereka, ketika dirinya sedang kesusahan atau tertimpa musibah yang diganggu adalah tetangganya. Bukan saudara-saudara yang jauh, bahkan di luar kota.

Anak Ibu Dirma sibuk menyambut pelayat yang datang termasuk Nada. Nada berhadapan dengan laki-laki ini.

"Mas, saya turut berduka atas meninggalnya Ibu. Padahal tadi saya baru saja selesai membuatkan bubur untuk beliau." Nada melihat laki-laki ini juga sepertinya habis menangis.

"Terima kasih atas kedatanganya, Mbak Nada. Manusia bisa berencana, lagi-lagi Allah yang menentukan." Jawab laki-laki itu.

Nada masuk ke dalam rumah Ibu Dirma untuk pertama kali, desain atau model rumah sama persis dengan rumahnya. Ya, karena mereka satu Blok.

Sebuah orang tertutup kain bermotif batik dan kain putih terbujur di lantai, para pelayat membacakan yasin untuk beliau. Saudara-saudara dari Blitar sedang perjalanan ke sini.

Nada duduk dengan ibu-ibu tetangga lain yang sudah membacakan surat yasin untuk almarhumah Ibu Dirma. Di hadapan para ibu-ibu juga ada bapak-bapak yang membacakan untuk almarhumah.

Prosesi memandikan jenazah sedang dilaksanakan---satu jam kemudian. Para saudara-saudara perempuan dari Ibu Dirma yang memandikan.

Anaknya---yang Nada ketahui bernama Al Kahfi Ramadan. Dia mengetahui namanya ketika seorang saudaranya memanggil. Juga ikut memandikan ibunya untuk yang terakhir kalinya.

Hingga hampir pukul sepuluh pagi, jenazah Ibu Dirma sudah selesai dibungkus dengan kain kafan dan disalatkan. Tinggal menunggu mobil ambulance yang akan membawa jenazah ke Blitar.

---

Dewa mencoba berulang kali menghubungi Saqila, tetapi nihil, tidak ada jawaban. Laki-laki ini mondar-mandir di kamarnya.

"Ayo dong, Saqila angkat. Ini lagi penting," Dewa mencoba memanggil satu kali lagi.

Tersambung.

Dewa langsung mencari tempat yang aman untuk mulai berbicara dengan perempuan yang sudah berstatus sebagai simpanannya.

Dia keluar dari kamar dan menuju ke teras rumah, sambil melihat kanan dan kiri. Banyak pelayat dari Blok Kangguru dan Kelinci yang berjalan melewati depan rumahnya.

"Ada apa, Mas? Aku sedang di Bahagia." Suara Saqila terdengar lancar dibalik gawai.

"Gawat, istriku tahu. Kalau tadi malam aku main ke rumah kamu." Dewa berbicara sedikit berbisik.

"Bagus dong, biar kamu bisa cerai. Dan, aku bisa memiliki tubuhmu seutuhnya." Jawab Saqila sedikit senang.

"Kamu memang suka tubuhku saja, bukan cinta dari hati." Ucap Dewa enteng.

Namun Saqila langsung menutup panggilannya dengan cepat, tanpa konfirmasi dan berpamitan dengan lawan mainnya di ranjang ini.

---

Pukul dua belas siang, selepas salat zuhur. Jenazah Ibu Dirma diberangkatkan menuju Blitar, Jawa Timur. Para pelayat menyaksikan kepergian mobil ambulance ini dengan penuh haru, termasuk Nada.

Kahfi tidak ikut, karena takut kalau rekan-rekan dari pabriknya berkunjung ke Malang. Segala proses pemakaman di Blitar, sepenuhnya diserahkan kepada keluarganya di sana.

Nanti malam, pengajian di rumah Malang dan Blitar secara bersamaan. Hingga tujuh hari.

Bersambung...
.
.
.
PBITSS sudah publikasi bagian baru, mohon maaf ya menunggu lama.
.
.
Spam vote, komentar dan follow yuk. Jika menemukan typo atau salah penggunaan kata, huruf besar, kecil dan semacamnya bisa komentar ya.
.
.
.
See you next part!

After the Sacred Marriage [Dewasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang