Raisa menatap Haidar yang pagi-pagi sudah nangkring di atas motor di depan rumahnya. Ia berjalan menghampiri Haidar. Sekitar jam 6, Haidar mengirim pesan pada Raisa ingin menjemputnya. Padahal Raisa baru saja bangun tidur.
"Udah?"
"Kenapa pagi banget?"
"Makan bareng. Lo pasti belum sarapan kan?"
"Iyalah, jam segini Bunda belum selesai masak. Ini pagi banget Dar."
"Justru itu gue ngajak lo makan bareng. Ralat, sarapan bareng."
"Tapi jam segini tuh tergolong masih pagi, Dar."
Haidar terkejut, pantas saja ia selalu melihat Raisa yang memasuki kelas di detik-detik guru ingin masuk kedalam kelas. Kecuali hari Senin, Raisa akan datang lebih awal daripada nya.
"Lo kalo tinggal sama gue bakal rajin, Sa."
"Siapa yang mau tinggal sama lo?!"
Haidar terlihat gemas dengan Raisa, sedangkan Raisa baru saja teringat jika memang mereka akan tinggal bareng.
"Udah inget kan lo. Buruan pake nih."
Raisa menatap Haidar malas, lalu mengambil helm yang di berikan oleh Haidar. Setelah itu, naik ke atas motor Haidar.
"Udah?"
"Hmm."
Haidar tersenyum dibalik helm nya, menatap Raisa yang terlihat malas dan kesal dari kaca spion. Setelah itu, melajukan motornya pergi.
"Gak mau pegangan?"
"Hah?"
Salah memang jika mengobrol saat mengendarai motor, Haidar menarik tangan Raisa, menaruhnya di pinggir jaket.
"Biar lo ga jatoh."
Raisa ingin menarik tangannya, namun ia urungkan. Tak lama, mereka sampai di tempat bubur ayam pinggir jalan. Raisa turun terlebih dahulu, yang diikuti oleh Haidar.
"Mas, bubur 2 yah. Yang satu ga pake kacang."
"Lo kok tau kalo gue ga suka kacang?"
Haidar hanya tersenyum menjawab pertanyaan Raisa, lalu duduk di tempat kosong. Diikuti oleh Raisa, mereka duduk berhadapan sekarang.
"Sa?"
"Eh iya, kenapa Kal?"
Haidar menatap Raisa penuh tanya, sebenarnya siapa "Kal" ini sampai Raisa menyebutnya "Kal" sampai dua kali. Namun melihat Raisa yang langsung terdiam dan menundukkan kepalanya, membuat Haidar mengurungkan niat nya untuk bertanya.
"Sorry, Dar. Gue-"
"Makan."
Haidar memotong ucapan Raisa, menyuruh Raisa makan bubur nya. Membuat Raisa menatap bubur ayam yang ternyata sudah datang. Ia tidak berani menatap Haidar, setelah menyebutkan nama yang seseorang. Mereka makan dalam diam. Setelah selesai, Raisa pergi lebih dulu ke motor. Ia menatap Haidar yang membawa sekotak bubur ayam, yang pasti ia tahu itu buat Wenda.
"Ayo."
"Nanti turunin gue di warung Bu Ningsih."
"Kenapa? Sekalian aja kali."
"Turunin aja disitu."
Raisa terlihat kesal, membuat Haidar mau tak mau menurutinya. Setelah itu, mereka pergi dari sana. Dan sampai di warung Bu Ningsih.
"Lo beneran gapapa?"
"Gak apa-apa. Udah sana."
Haidar mengangguk, lalu melajukan kembali motornya. Raisa duduk, ia merasa lemas dan dadanya sesak.
"He's a lot like you, Kal."
---
"Heh anying, sia kunaon?"
Haidar terkejut saat Nathan menyenggol lengan nya. Membuat Haidar ingin sekali memukul Nathan. Sekarang jam istirahat, dan keempat sekawan ini sedang berada di markas mereka. Di rooftop."Lo kenapa Dar? Perasaan tadi ada Wenda baik-baik aja."
Kali ini Jevan yang berbicara. Haidar membenarkan posisi duduknya, menatap ketiga temannya dengan serius. Membuat ketiga temannya terlihat penasaran.
"Gak jadi deh."
"Anjg."
Nathan ingin memukul Haidar, namun Haidar sudah menatapnya terlebih dahulu. Membuat Nathan mengurungkan niatnya.
"Yang kaya gini nih, halal untuk dijual."
Rendra menatap Haidar kesal, lalu kembali sibuk dengan kegiatannya. Yaitu, bermain game. Haidar terkekeh, lalu kembali memikirkan Raisa.
"Lo mau kemana?".
Tanya Jevan, saat melihat Haidar yang tiba-tiba bangkit dan berjalan pergi.
"Meluruskan sesuatu." jawab Haidar berbarengan dengan Raisa yang baru saja naik ke atas rooftop.
Raisa tidak menghiraukan Haidar, ia berjalan berlawanan arah. Membuat Haidar mengikuti nya karena Nathan, Rendra dan Jevan tidak akan keluar dari markas. Jadi tidak akan dilihat oleh mereka.
"Lo ngapain?"
"Gue mau ngomong."
Raisa hanya mengangguk, lalu berdiri di pinggir. Menatap murid-murid yang berada dibawah.
"Lo gak ada yang mau di ceritain?"
Raisa mengernyitkan dahinya, menatap Haidar yang berada di sampingnya.
"Kenapa gue harus cerita sama lo?"
"Karena-"
"Karena lo bakal jadi suami gue dan gue bakal jadi istri lo?"
Haidar terdiam.
"Dar, gak semuanya harus lo tau. Sekalipun lo bakal jadi suami gue."
"Tapi bisa aja dengan lo ngasih tau gue, itu bakal ngebantu lo."
Raisa tertawa sinis. Lucu memang. Padahal mereka baru saja dekat 4 hari yang lalu. Mengapa Haidar bersikap seperti ini.
"Gak ada yang bisa, Dar. Sekalipun itu lo."
"Lo belum mencoba, tapi kenapa udah mengklaim itu gak bisa?"
Raisa lelah berdebat seperti ini. Berdebat adalah hal yang ia benci, setelah waktu itu.
"Bukannya jadi suami itu harus dengerin keluh kesah istrinya? Gue bakal disamping lo selamanya Sa. Sampai kapan lo nutup diri kaya gini?"
"Gue gak suka."
Haidar menatap Raisa,
"Apa?""Gue gak suka lo kaya gini."
"Gue cuma pengen lo tau, kalo ada gue Sa."
Raisa diam, ia memilih pergi, meninggalkan Haidar yang terdiam. Haidar memang salah, ia terlalu memaksa Raisa untuk bercerita. Namun, ia juga ingin Raisa mengurangi beban nya dengan berbagi cerita.
-----
Hai haii. Jangan lupa voment yaa!
Terima kasih💝

KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Magic || HR ( TAMAT )
أدب الهواة17+ Bercerita tentang Raisa Andriana yang ingin menikah muda dan menerima perjodohan dari sang Ayah. Namun, siapa sangka jika laki-laki yang di jodohkan nya adalah musuhnya sendiri. Haidar Pratama.