Jam dinding sudah menunjukkan angka dua belas lebih sepuluh menit dini hari. Suasana kamar juga sudah terlihat remang dengan sebuah lampu tidur yang tergantung di pojok kamar. Sedangkan dibalik itu ada seorang gadis sejak tadi masih terjaga dari tidurnya. Ia hanya menggulingkan badannya ke sana-kemari tanpa bisa memejamkan matanya erat.
"Ya kali gue harus minum obat itu lagi biar bisa tidur?" rutuk Alana kesal.
Gadis itu kemudian membalikkan tubuhnya menjadi tengkurap, menyembunyikan kepalanya di balik bantal keropi kesayangannya.
"Pliss, tidur...tidur...tidur," gumamnya putus asa.
Alana yang sejak tadi menahan dirinya agar tak membuka kotak obat itu hanya bisa menggeram menahan rasa sakit yang sejak tadi menghantam kepalanya. Ditambah ngilu pada tubuhnya yang masih meninggalkan sisa-sisa lebam biru membuat Alana harus menahan rasa nyeri itu di setiap malam menjerat.
"Arghhh sakit banget lagi kepala gue," rintihnya terdengar pilu.
"Hahh...udah badan ngilu, kepala nyeri ditambah nggak bisa tidur. Siksa dunia banget."
Alana kemudian bergerak untuk membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan sayu.
"Bisa-bisa gue mati konyol kalau nggak minum obat itu. Arghhh!!!" rutuknya kesal.
Gadis itu lantas bangkit dari pembaringan. Badannya ia sandarkan pada kepala ranjang untuk meredam rasa sakitnya.
Lima menit berlalu begitu saja, dan Alana masih setia dengan posisinya. Bahkan, kini kedua tangannya telah bergeser memegang kepalanya erat. Dan sesekali terlihat tengah memijatnya pelan untuk mengurangi rasa nyerinya.
Perlahan tapi pasti, Alana bergerak turun dari ranjangnya menuju sebuah meja yang ada di sebelah lampu tidur. Tangannya bergerilya lembut mencari kotak obat yang biasa ia simpan di sana. Sekotak pil tidur yang sudah ia konsumsi beberapa tahun terakhir ini.
"Maafin gue ya kalau harus nyentuh obat ini lagi. Lo kan tahu gue kesakitan kalau nggak minum ini." Monolog Alana pada dirinya sendiri.
"Enak ya Lun jadi lo. Nggak perlu minum obat-obatan biar bisa tertidur dengan nyenyak."
Alana menahan napasnya. "Kadang gue iri sama lo. Gue iri karena lo nggak perlu nahan sakit tiap malam."
"Gue iri sama lo karena lo nggak perlu takut jika sewaktu-waktu bakal dapat pukulan dari Papa."
Suara Alana mulai tercekat. "Dan gue juga iri karena lo bisa dapat kasih sayang dari Papa dan Mama tanpa lo harus menuhin ekspektasi mereka."
Dan air mata Alana yang sejak tadi ditahannya perlahan mulai luruh. Rasa asin yang mengalir semakin deras hingga cairannya tertelan bersama pil bulat-bulat yang baru saja ia telan.
Dan beberapa menit berlalu setelah kalimat terakhir terucap dari bibir Alana, pelan-pelan kelopak matanya mulai terpejam rapat. Seolah ia benar-benar beristirahat dengan nyenyak, karena nyatanya hari esok yang lebih kejam akan segera datang menjemputnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories Of Love (SELESAI)
Teen FictionAlana harus menerima kenyataan jika ia dan Aluna tidak akan pernah bisa setara sekalipun mereka saudara kembar. Aluna sang malaikat tidak pantas disandingkan dengan Alana si perempuan berhati iblis. Setidaknya itu lah kata orang-orang. Dan Alana mem...