Di bawah sorotan sinar matahari yang berpendar terang. Yang sinarnya menerobos malu-malu melalui celah dedaunan rimbun yang ada di atas pepohonan, ada seorang pemuda yang sejak tadi tak mengalihkan pandang sedetik pun dari sebuah objek yang berada di depan sana.
Sepasang matanya yang tajam tampak memotret indah pada sebuah lukisan paling cantik yang telah memerangkapnya ke dalam kemilau yang begitu menyesatkan. Merekamnya baik-baik lalu menyimpannya ke dalam ingatan-ingatan yang mungkin tak akan pernah ia temukan di suatu waktu nanti. Yang mungkin saja suatu saat tidak akan pernah bisa untuk terputar kembali.
Sesekali pemuda itu ikut tersenyum tipis ketika netranya menangkap sebuah senyum cantik yang menguar dari objek itu. Senyuman milik Alana yang selalu ia rindukan sejak dulu.
"Al, maaf karena gue pernah goresin luka sedalam itu ke hati lo."
Sedangkan di pinggiran balkon sebuah kamar lantai dua ada seorang gadis yang sejak tadi berdiri diam di sana dengan tatapan kosong. Ingatan-ingatan tentang hari kemarin bersama Akala tiba-tiba saja terputar dalam kepalanya.
"Kita sampai di sini, ya."
Dengan sebuah senyum sederhana kalimat itu terucap dari bibir manis milik Akala. Menatapnya lekat yang membuat dirinya hanya terpaku ketika menerima sepasang manik hitam legam itu dari jarak sedekat itu.
"Kalau perasaan gue ke lo itu nyata bagaimana, Ak?"
Senyum manis yang tergambar di bibir pemuda tiba-tiba saja mengikis tipis. Alisnya yang tebal berkerut samar, lalu menatap gadis di hadapannya dengan tatapan bingung.
"Maksud lo?"
"Perasaan gue ke lo itu nyata, Akala. Gue beneran suka sama lo."
"Lo jangan bercanda, Aluna!" ujar Akala tegas.
"Sandiwara kita sudah selesai, Na. Kita nggak perlu lagi menuruti permintaan Papa dan Mama kamu."
Gadis itu menggeleng kuat. "Gue nggak bercanda, Akala. Gue suka sama lo sejak dulu. Gue suka sama lo lebih dulu daripada Alana!"
"Maksudnya?"
"Kita pernah bertemu sebelumnya."
Aluna menggigit bibirnya keras. Matanya berkedip cepat begitu ia mendapat tatapan tajam dari pemuda yang ada di hadapannya.
"Ah, sebenarnya kita nggak pernah benar-benar ketemu. Karena waktu itu cuma gue yang ngelihat lo dari kejauhan."
Aluna menjeda, gadis itu mengambil napas sejenak. "Persimpangan taman setiap pukul empat sore. Dan lo selalu ke sana setiap hari."
Ucapan dari gadis itu membuat Akala sedikit terperanjat. Matanya yang tajam nan sayu kini menatap lekat gadis yang ada di hadapannya. "Lo ada di sana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories Of Love (SELESAI)
Teen FictionAlana harus menerima kenyataan jika ia dan Aluna tidak akan pernah bisa setara sekalipun mereka saudara kembar. Aluna sang malaikat tidak pantas disandingkan dengan Alana si perempuan berhati iblis. Setidaknya itu lah kata orang-orang. Dan Alana mem...