"Eum...Pa, Ma. Aku dapat nilai tertinggi loh kemarin."
Suara yang terdengar menggemaskan itu berasal dari seorang gadis kecil berseragam merah putih yang saat ini tengah memandang kedua orang tuanya dengan tatapan penuh harap.
"Kata Bu Guru aku hebat loh bisa dapat nilai seratus," tambahannya. Ia masih memancing reaksi yang diberikan oleh kedua orang tuanya kali ini. Alana sangat berharap untuk itu.
"KOK PAPA SAMA MAMA DIAM AJA, SIH?" teriaknya mulai kesal.
Suara garpu dan sendok yang saling beradu nyaring terbanting kasar oleh tangan mungil gadis itu di atas piringnya yang masih berisi setengah dari sarapan paginya.
Ravindra yang melihat tingkah tak sopan dari Alana segera mengalihkan tatapannya menatap putri sulungnya dengan wajah yang mulai emosi.
"Kamu bisa diam nggak? Berisik!" ujarnya pelan namun menusuk.
"Maaf, Pa. Habisnya di sini nggak ada yang dengerin omongan aku, sih." Alana menjawabnya sedikit ketakutan.
"Terus kamu maunya apa, Alana? Kamu mau Papa sama Mama harus bereaksi seperti apa?"
"Kemarin pas Aluna dapat sembilan puluh lima, Papa sama Mama ngajakin dia main ke timezone seharian tanpa ngajakin aku."
"Sekarang Papa tanya. Mau kamu apa? Mau diajakin main juga kayak Aluna?"
Alana mengangguk antusias.
"Itu nggak perlu, Alana. Papa sama Aluna udah bosen main ke timezone terus."
"Tapi kan aku nggak pernah. Yang diajak Aluna terus soalnya. Aku kan juga pengen, Papa," rengeknya kembali.
"Ya udah, tapi nanti kalau Papa udah nggak sibuk."
Dan begitulah janji yang selalu diucapkan oleh Ravindra kepada Alana setiap kali ia mendapatkan nilai yang tinggi. Karena nyatanya janji itu hanya tinggal janji, yang selalu terulang setiap kali tanpa pernah ditepati.
Hingga ia beranjak dewasa, tidak pernah sekalipun janji-janji itu ditepati oleh papanya. Apalagi kejadian sepuluh tahun yang lalu, kejadian yang mengubah segalanya menjadi lebih gelap.
Gadis itu kemudian memejamkan matanya erat. Ingatan kepalanya memutar pada tragedi sepuluh tahun yang lalu. Suara teriakan dan makian yang saling bergema. Kemudian tamparan dan pukulan yang saling bersahutan itu, rasanya masih terekam jelas dalam memori otaknya hingga kini.
"Itu bukan gue. Sepuluh tahun lalu, itu bukan gue," rapalnya pelan. Ingatan menyakitkan itu tidak boleh kembali sekarang. Tidak boleh kembali ketika Alana sedang tidak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories Of Love (SELESAI)
JugendliteraturAlana harus menerima kenyataan jika ia dan Aluna tidak akan pernah bisa setara sekalipun mereka saudara kembar. Aluna sang malaikat tidak pantas disandingkan dengan Alana si perempuan berhati iblis. Setidaknya itu lah kata orang-orang. Dan Alana mem...