Alana menatap pesan terakhir yang dikirimkan oleh Akala satu jam yang lalu. Pandangan matanya kosong. Tidak ada air mata yang mengalir selain tubuh kaku yang berdiri diam di salah satu sisi pada pinggiran balkon kamar miliknya. Kemudian angin malam yang berembus dingin menambah kesan sepi yang seolah tengah mengejeknya sendirian di sana.
Kedua tangannya menggenggam erat hingga sesuatu dalam genggamannya itu mampu menggores telapak tangan miliknya. Cairan merah kental mulai menetes satu-persatu, dan Alana hanya membiarkannya.
"Astaga Alana!!!" teriak seorang gadis dengan wajah yang sama dengan dirinya tengah berdiri menatap Kalana kaget.
Teriakan dari seorang gadis barusan mampu menarik Alana dari lamunannya kembali. Dan sebuah pisau yang ada di tangan kanannya semakin erat genggamannya menyebabkan tetesan darah yang terjatuh lumayan banyak.
"Aluna, kenapa sayang?" Suara seorang perempuan paruh baya yang datang tergopoh-gopoh terdengar panik, lalu diikuti dua orang laki-laki di belakangnya.
Dan di sana ada Akala yang tengah menatapnya kaget. Lelaki itu datang...dengan sebuah luka yang tampak pada tangan kirinya.
"Alana!!! Kamu mau ngapain? Kamu mau nyoba buat bunuh adik kembarmu lagi?!!" Sentak papanya membuat hatinya tercubit sakit.
Alana memindai pandangannya lemah. Ia menatap adiknya sendu, lalu beralih kepada kedua orangtuanya. Dan terakhir...kepada Akala.
Mata mereka saling bertaut, kali ini agak lama.
Ada kata yang tak sempat terucap...dan terpendam begitu saja. Entah itu dari Alana atau bahkan Akala sendiri. Lalu terputus... lelaki itu memutuskan pandangannya lebih dulu. Ia membuang pandangannya ke segala arah.
"Alana sudah rusak, " bisiknya terdengar lemah pada indra pendengaran laki-laki remaja itu. Tatapan Alana yang meredup dan tidak ada emosi itu entah mengapa membuat hatinya berdetak kencang.
"Papa pengen lihat Alana mati, kan?" tanyanya berjeda, "tunggu sebentar lagi, ya. Papa akan menyaksikannya sendiri nanti, " lanjut Alana kemudian tersenyum manis.
Kemudian semuanya terjadi lebih cepat daripada dugaan mereka. Pisau tajam yang ujungnya mengilat silau kini telah melukai tubuh mungil milik Alana. Menancap kuat pada perut bagian kiri hingga darah itu mengucur lebih deras.
"Al!"
"Alana!"
"Nak!"
"Jangan di cabut... please, Al. Tolong jangan lo cabut pisaunya!" Akala berteriak lemah, dengan sisa tenaga yang ada ia bergerak maju. Hendak menahan tangan Alana yang ternyata lebih dulu mencabut pisau yang menancap tadi. Menyebabkan darah yang mengalir semakin deras.
Karina berteriak histeris kala melihat keadaan putri sulungnya yang melukai dirinya di depan matanya sendiri. "Pa, tolong telepon ambulans," ujarnya dnegan gegap suara yang tampak nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories Of Love (SELESAI)
Teen FictionAlana harus menerima kenyataan jika ia dan Aluna tidak akan pernah bisa setara sekalipun mereka saudara kembar. Aluna sang malaikat tidak pantas disandingkan dengan Alana si perempuan berhati iblis. Setidaknya itu lah kata orang-orang. Dan Alana mem...