Part 37

5.4K 350 6
                                    

Dia berdiri di atas jembatan sungai Seine, rambutnya tergerai dipermainkan angin senja. Sesekali jemarinya menyingkirkan helai-helai rambutnya yang nakal mengganggu wajah putihnya yang ayu.

Digo tersenyum. Sosok itu teramat dirindukannya. Sosok yang membuatnya hampir gila mencarinya. Membuatnya maraton berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain. Menyewa puluhan detektif handal hanya untuk mencari sosoknya yang menghilang tanpa bekas.

Sosok mungil itu kini berdiri disana. Setelah melalui perjuangan panjang, Digo akhirnya mampu meluluhkan hati seorang Joan untuk membantunya mengatur pertemuan ini.
Digo mencatat setiap kemurahan hati Joan dan andil besarnya dalam moment bersejarah dalam hidupnya ini. Penentuan apakah ia mampu meraih gadis itu kembali ataukah terpaksa harus menelan kekecewaan karena gadis itu terlanjur terluka olehnya.

Gadis itu memasukkan tangannya ke saku mantel panjangnya. Udara dingin senja yang mulai berganti malam mengusap wajah polos gadis itu. Tatapannya mengarah pada pongahnya Eiffel dengan tak berkedip.
Kata Joan, gadis itu tak pernah bosan memandang kerangka besi yang kokoh berdiri di Champ de Mars.
Setiap ada kesempatan, ia selalu kesana.

Digo melangkah mendekat. Gadis itu belum menyadari kedatangannya. Digo berdiri disamping gadis mungil itu, dipandanginya wajah cantik dihadapannya dengan kerinduan yang membuncah. Ingin rasanya ia memeluk tubuh mungil disampingnya dan menuntaskan rindu yang menggelayutinya selama ini.

"Cantik," gumam Digo tanpa sadar.

"Ya, cantik," sahut gadis disebelahnya mengomentari dengan tatapan tetap terpaku pada menara besi.
Digo tersenyum. Ia menyadari maksud gumamannya dan maksud jawaban gadis itu berbeda obyek.

Gadis itu seolah seperti terbangun dari lamunannya, dengan cepat menoleh menatap Digo.

"Kamu!" gadis itu memekik tertahan. Bibir tipisnya segera ditutup dengan telapak tangannya.

"Hai Sisi," Digo tersenyum memandang penuh rindu pada Sisi yang membelalak tak percaya.

"Bagaimana bisa? Kenapa kamu bisa berada disini?" tanya Sisi panik. Ia benar-benar tidak siap bertemu laki-laki yang sudah memberinya luka yang begitu dalam.

"Akhirnya aku bisa menemukanmu, Si. Aku kangen," mata Digo berkaca-kaca menahan rasa yang seolah meledak-ledak dihatinya. Jantungnya melompat-lompat seolah hendak membebaskan diri dari kungkungan tubuhnya.
Digo meraih tubuh mungil dihadapannya dan memeluknya.

Sisi tertegun. Ia tak percaya dengan apa yang dialaminya sekarang.
Didorongnya tubuh Digo sekuat tenaganya.

"Apa-apaan kamu, Digo?" katanya tajam.

"Euhmm... Maaf, aku terlalu senang karena akhirnya aku bisa menemukanmu sekarang. Aku amat sangat merindukanmu Si," Digo mengusap airmata yang meloncat keluar dari tempatnya.

"Oh ya... Begitu? Apa kabar Sofi?" tanya Sisi sinis menekan perasaannya.

"Sofi? Kenapa dengan Sofi?" Digo mengernyit. Alisnya bertaut.

"Jangan pura-pura, Digo. Aku tau kamu mencintainya kan?" ucap Sisi tanpa basa basi.

Digo menggeleng sambil tersenyum. Sisi cemburu! Berarti, masih ada cinta Sisi buatnya.

"Aku gak pernah ada apa-apa sama Sofi, Si. Dulu memang aku pernah mencintai Sofi, waktu dia masih kuliah. Tapi itu dulu. Waktu aku bilang aku mencintai dia, cinta aku ditolak karena dia lebih mencintai orang lain. Lalu aku kenal kamu, jatuh cinta sama kamu, hingga Sofi datang," Digo menghela nafas.

"Hingga Sofi datang dan cinta lama yang belum kelar itu kembali lagi kan? Sudahlah Digo. Aku gak minat dan gak mau denger apapun alasan kamu. Sudah cukup!" kata Sisi sinis sedikit membentak. Luka yang dulu sempat dibalutnya susah payah kini berdarah lagi.

"Bukan seperti itu, Si. Dengerin aku dulu," Digo mencoba meyakinkan Sisi.

Sisi mengentakkan kakinya kesal. Ia berbalik dan berlari menjauh dari Digo, menyusuri pinggiran sungai Seine.
Digo berteriak memanggil namanya. Sisi menutup telinganya rapat-rapat. Matanya kembali basah. Ia terus berlari hingga kelelahan. Hingga seseorang meraih dan memeluknya dari belakang.

"Si, dengerin aku dulu. Kamu salah paham," bujuk Digo mengeratkan pelukannya karena Sisi terus meronta.

"Digo please...lepasin... Please...lepasin aku..." Sisi menangis, mencoba lepas dari pelukan Digo.

"Gak akan Si. Gak akan pernah! Aku gak akan pernah ngelepasin kamu lagi. Please, jangan pernah menjauh lagi dariku," kata Digo semakin mengeratkan pelukannya dan Sisi makin panik. Ia benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari pelukan erat Digo. Lalu refleks ia menginjak kaki Digo kuat-kuat dengan sepatu docmart nya.

"Aaawwh....," Digo berteriak kesakitan, pelukannya terlepas.
Sisi mempergunakan kesempatan itu untuk lari dari Digo.
Digo dengan terpincang-pincang menahan sakit berusaha mengejar Sisi.
Namun kali ini ia kehilangan Sisi.

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Joan menatap dari kejauhan, tapi ia cukup jelas melihat apa yang terjadi.
Tangannya memegang ponsel yang menempel di telinganya.

"Bagaimana bisa?"

"Tentu bisa! Dia menginjak kakinya sampai ia kesakitan!"

"Hahaha... Hebat! Itu benar-benar my princess! Bagaimana dengannya?"

"Kesakitan! Terpincang-pincang! So poor guy!"

"Itu belum sebanding dengan apa yang sudah Sisi rasakan. Meskipun sebenarnya bukan mutlak salah dia sih."

"Kamu mau tau sekarang? Sisi menangis!"

"What? No Joan, not anymore!"

"Jeallous huh? Sisi still love him."

"I know."

"Poor Denis."

"Shut up, Joan!"

"Hahaha..."

Sambungan terputus. Joan masih terkekeh. Lalu buru-buru memasukkan ponselnya ke saku dan berlari ke tempat Sisi bersembunyi dari Digo.

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Sisi mengusap airmatanya.
"Gue sudah berusaha keras melupakannya, Joan. Gue kira gue bisa. Tapi begitu tadi gue ketemu dia, gue tau gue gagal!"

"Seharusnya lo bicara baik-baik dengannya, Si. Bukan malah lari! Digo nyariin lo kemana-mana. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, lo egois!" tuduh Joan.

"Gue egois? Dari sebelah mana lo liat keegoisan gue?"

"Dari cara lo ninggalin dia! Lo pergi dari dia tanpa dia ngerti apa kesalahannya. Lo pergi dari dia tanpa ngasih dia kesempatan buat ngejelasin apa yang terjadi! Itu yang gue bilang lo egois!"

"Joan, Digo gak ngakuin gue ! Kalau dia beneran cinta sama gue, kenapa dia malah bilang kalo gue sekretarisnya? Lalu gue lihat mereka berdua pelukan di ruang kerjanya! Lalu... Lalu ciuman itu... Apa masih kurang? Apa belum cukup sakit hati gue? Apa belum cukup dia ngancurin hati gue?" teriak Sisi terengah-engah. Airmatanya yang sempat terhenti, kini mengalir lagi.

"Sorry, Si! Gue bukan Denis yang hanya mikirin perasaan lo. Tapi gue juga melihat dari kacamata Digo. Sekarang lo pikir deh, gimana kalau lo sangat mencintai seseorang, dan orang itu tiba-tiba menghilang tanpa lo tau kesalahan lo, tanpa lo sempat jelasin apa pun!" Joan mencoba membuka hati Sisi.

"Dia gak mencintai gue!" kata Sisi ketus.

Joan menghela nafas. Gadis dihadapannya ini benar-benar keras kepala!

BERSAMBUNG...

Haiiiii..... Part ini aku dedikasikan... Wueeeee... Dedikasi.... Hahaha... Serius nih... Part ini aku persembahkan khusus buat para vomment di Part 36....

Daaaaan.... Tunggu Part berikutnyaaa....

MAKE YOU LOVE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang