• Kemanusiaan Dari Lingkungan nya •

10 1 0
                                    

Waktu itu ketika langit mulai bercahaya. Matahari baru muncul, udara pun masih dingin bersama embun.

Sesudah bersiap, sembari memegang tali tas yang miring ke samping tubuh, aku siap pergi ke sekolah.

Seperti biasa aku berjalan penuh ketenangan di pinggir jalan bertanah yang justru lebih terlihat modern ketimbang pada zaman aku telah mati. Rambut pendek ku, tubuh kurus ku, serta sepatu ku yang berlubang itu tidak sama sekali membuat aku merasa rendahan. Justru ketika aku hidup, semuanya ikut hidup.

Lalu di sekolah, ku lihat lagi dua orang itu saling berpegangan tangan dengan canda tawa yang sedari dulu ingin sekali ku gantikan posisi perempuan tersebut. Nama lelaki itu Baruna Samudera Fabumi. Biasa dipanggil Baru oleh kebanyakan orang. Ingin sekali aku akrab dengan dia tapi tidak pernah sedikit pun pria itu sadar akan apa kemauan ku. Kalau aku ajak pulang sekolah bersama, tentu dia mau. Kadang dia mengajak kekasihnya, kadang juga tidak karena memang kekasihnya itu suka mengikuti ekskul yang diadakan setiap pulang sekolah.

Seperti ketika aku berjalan disisi nya di bawah langit senja. Pria itu kelihatan tenang, mendongak ke atas menatap langit yang tidak lagi begitu terang. Angin alam pun tau kalau pria ini memang manusia yang terpilih, dan mereka dengan suka hati mau menyisir rambut-rambutnya.

Tapi selama perjalanan, kami jarang sekali berbicara. Kalau ada sesuatu yang ingin ditunjukkan, dia baru berbicara. Ataupun sebaliknya ketika aku sudah menemukan topik pembicaraan, maka aku akan mengeluarkan nya. Dia akan menjawab, lalu bertanya balik. Baru adalah pria yang baik, tidak pernah memandang bulu meski sebenarnya ayah ku pernah hampir membunuh ayahnya. Lalu ibu ku pun pernah hampir melukai ibunya Baru yang pada waktu itu baru saja ingin pulang dari pasar.

Kehidupan zaman kami rumit. Tidak setenang pohon yang menari bersama angin, suara kicauan burung di pagi hari dan suara jangkrik di malam hari. Tidak setenang pantai yang airnya jernih. Tidak setenang bunyi telapak kaki kuda dengan loncengnya. Desa kami tidak se-elit sebuah rumah yang ketika aku mati, sudah berubah menjadi sebuah gedung pencakar langit.

Baru tidak pernah mempersalahkan keterlibatan yang ada di masa lalu. Pria itu terus berkata. "Yang berada dalam konflik itu kan, orangtua kita. Jadi kalau dengan kita, tidak perlu harus ikut-ikutan. Kamu ya kamu, aku ya aku." Katanya waktu itu, membuat aku terharu dan ingin menangis.

Padahal kalau aku jadi Baru, sudah pasti langsung menyimpan dendam. Tapi kalau dia, tidak sama sekali.

Bahkan ketika masing-masing ayah kami ingin saling berkelahi lagi untuk memperebutkan lahan yang dimiliki seluruh warga disini, Baru pun datang menjemput ku dan berkata. "Ayah mu di sogok veteran. Kita harus pergi! Ibu mu dan adik mu sudah pergi lebih dulu dengan ibu ku!" Yah....waktu itu ayah ku disogok veteran untuk mengusir warga yang tinggal di desa kami. Lahan kami akan di kuasai, lalu kami dipaksa pergi. Katanya, kami tidak peduli, yang penting tempat ini sudah kami bayar untuk tunjangan kehidupan kalian. Aku ingat sekali ketika mereka berbicara seperti itu di ruang tengah rumah ku. Tentu bersama ayah ku. Pada waktu itu ayah ku gila uang.

Baru menggenggam tangan ku pergi, tidak lupa dengan seorang perempuan yang juga sedang ia gandeng erat-erat di sebelah kanannya. Ketika kami sampai ke tempat aman, tangan ku lebih dulu dia lepas, dan kehadiran ku dia hiraukan. "Fhayana, luka mu biar aku obati sekarang, ya." Ucap Baru, tepat di depan mata ku.

Aku iri sekali ketika perempuan itu diobati langsung oleh Baru. Aku iri sekali karena perempuan itu tidak pernah mengeluh walau aku dan Baru adalah sepasang sahabat yang sejak belum lahir sudah terikat untuk lebih banyak mengenal. Perempuan yang bernama Fhayana itu tidak pernah cemburu walau Baru pernah saat waktu itu sedang menggendong ku di punggung kerempeng lelaki itu dari tempat  pengungsian sampai ke rumah seseorang yang memang ahli kedokteran. Perempuan itu tetap berjalan di samping Baru dengan kedua tangannya yang ia genggam di belakang tubuh. Perempuan itu pun tidak tampak cemburu walau dari satu langkah sampai langkah terakhir aku dam Baru terus mengobrol tanpa dia. Ku akui Fhayana itu orang yang cukup dewasa meski dulu sekali umurnya satu tahun lebih muda dari ku.

Selamat Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang