• Tahun Baru •

7 1 0
                                    

Kemarin bisa jadi hari bahagianya Naa. Oleh sebab itu, Fa bisa meninggalkan perempuan itu untuk mencari tau kembali apa sebab ia kembali datang pada lautan yang di dalam sana selalu ada seorang wanita yang buruk rupanya.

Bahkan kalau Fa sedang diam, tidak punya kerjaan, maka ia akan kembali ke tempat ia pernah mati. Semakin ia termenung, semakin dalam ia tenggelam.

Dan disini, kembali lagi. Fa terus mengibas tangannya bak kupu-kupu yang tidak dapat terbang. Kedua pipinya ia beri angin dari dalam mulut hingga bentuknya besar, kedua matanya terus mengerjap, kakinya pun tidak dapat ia gerakkan karena ada seseorang yang menariknya dari bawah. Tentu hal itu membuat Fa panik. Dia tidak tau harus apa, dia tidak tau harus berbuat apa. Biasanya ia hanya sabar menunggu, lalu wanita itu muncul, akhirnya semuanya usai begitu saja.

Perempuan dengan kobaran api kecil bak nadi di dalam kulit itu menyala-nyala. Semakin bersinar, semakin panas meski berada di dalam air. Kali ini bukan darah, melainkan laut biru.

Kemudian perempuan itu semakin menjauh, meninggal luka melalui tatapannya yang sendu. Dan akhirnya, Fa pulang. Kembali lagi pada sebuah rumah yang dimana si pemilik rumah dan tamunya sudah tidur.

Malam ini tenang, tidak seburuk kejadian yang telah menimpanya barusan. Setiap malam, setiap pagi dan siang, Fa tidak pernah menutup matanya. Karena baginya, tidur ketika mati adalah kematian yang tidak sah. Untuk apa ia menutup matanya kembali kalau sebenarnya ia sudah lama menutup kedua matanya. Selamanya. Tidak ada lagi jejak tubuhnya. Entah dimana, entah apa yang tersisa. Atau bisa dibilang, tidak ada lagi yang tersisa.

Lalu Mara datang, berdiri disisi Fa yang dimana lelaki itu membawa beberapa api yang menempel pada tubuhnya. Tanpa Fa tau, tanpa Fa sadari, lelaki itu tidak merasakan apapun.

Karena hal itu pula, Mara merasa iba. Ia genggam tangan Fa kuat-kuat sampai air matanya merintik. Fa menoleh, bingung kenapa wanita cantik yang berdiri disampingnya itu menangis. Wajahnya pucat, alisnya bertaut. Terlihat seperti sedang marah tapi juga sedang merasa sedih.

"Mara, kenapa?"

Mara pun semakin kuat menggenggam tangan Fa yang begitu dingin itu. "Malam hari ini hangat."

Kemudian Fa sedikit tertawa. "Tangan ku dingin. Tidak ada lagi hangatnya."

"Justru dengan kamu, jadi seimbang."

Fa pun menatap lekat pada Mara yang masih menatap depan. Wajahnya tidak memiliki kemiripan dengan seseorang yang ia pikirkan. Tangan ini memang hangat, tapi dia bukan Fhayana. Itu pikir Fa. Karena dulu sewaktu masih hidup, Fhayana selalu memiliki suhu tubuh hangat ketimbang dirinya. Dan Mara, dia mirip sekali dengan Fhayana. Dan akhirnya Fa menghembuskan napasnya. "Tangan Fhayana juga hangat. Seperti kamu."

Kemudian Mara pun melepaskan genggaman tangannya pada Fa. "Fhayana mu.....sudah ditemukan belum?"

"Tentu belum. Mungkin dia sudah di surga. Tapi aku tidak yakin, karena kami masih punya janji untuk bertemu di dunia ini."

"Wanita mu pengecut. Sudah punya janji kenapa hilang begitu saja, sih?"

Fa tersenyum sejenak. "Dia pasti punya alasan. Tidak apa-apa."

"Kamu itu terlalu baik, Fa."

"Karena dulu ada banyak orang yang mengajari aku kebaikan."

Lalu Mara terdiam, tangannya mengepal kuat. "Daksa akan pergi kalau Naa pergi."

Kemudian Fa tertawa terkekeh-kekeh. Kencang sekali suaranya sampai Mara pun kebingungan. "Dasar makhluk hiburan. Sebegitu nya mau cari ketenangan." Tutur Fa, lalu menghadap Mara. "Kamu sendiri bagaimana?"

Selamat Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang