• Bulan, 2 Januari, dan Fa •

11 1 0
                                    

Dia tersenyum dengan matanya yang pedih. Sesekali menuangkan teh hangat ke cangkir kecil berwarna putih bercorak emas tersebut.

Mara sudah tidak lagi meminta, tidak lagi mau meminumnya. Semakin banyak ia meminum teh, semakin dekat rasanya dengan bulan. Seperti ikatan tali merah yang tidak pernah menyia-nyiakan jarak mau itu sejauh mata memandang. Tidak peduli tidak pernah bertemu pun tali tersebut akan tetap tersambung dan menunggu untuk diputuskan.

Daksa memandang Mara, kini wanita itu duduk di sisi di sebelah bangku paling di hormati di istana bulan. Tidak menyangka Mara akan duduk di tempat itu, duduk bersama dengan dirinya yang mengira akan membeku sendirian.

"Maaf, Mara."

Mara menoleh, menaruh cangkir teh nya di atas meja yang berada di depannya. "Maaf untuk apa?"

"Maaf karena sudah bertemu aku, berakhir bersama aku."

Mara tersenyum, tidak merasa terbebani. "Dari dulu aku sudah bersyukur ada kamu."

Daksa tersenyum kembali, tetapi matanya tetap sendu. "Gak baik berlama-lama membuat cahaya bulannya bersinar di satu tempat dengan jangka waktu yang lama. Sekarang kita sudah sangat siap." Mara berkata, tersenyum di balik rembulan.

"Iya." Balas Daksa, kemudian membuat seluruh cahaya rembulan itu kembali pulang ke rumah. Ke bulan, ke tempat mereka duduk lalu membeku ketika cahaya-cahaya itu sudah melingkari mereka bak lampu jalanan yang menjulang tinggi lalu menjatuhkan cahaya ke atas aspal jalanan.

Mereka membeku dengan saling pandang, saling senyum seperti hasil sebuah potret yang tidak sengaja diabadikan.

Tampak seperti patung yang dipahat untuk mewakilkan pasangan termanis sejagat raya.

Kemudian pohon bulan mulai menimbulkan akar, mulai bercahaya dan menimbulkan bibit.

Kini bulan tidak seterang sebelum-sebelumnya, kini bulan sudah hidup normal karena sudah ada yang mengendalikan nya.

Dua orang yang membeku berwarna krem keputih-putihan itu membuat semua mata memandang dan mengira bahwa itu adalah kelinci bulan. Kemudian rabun, tidak terlihat kembali.

Bulan tidak akan pernah mengusik bumi kalian lagi. Daksa berkata sebelum ia membeku sepenuhnya.

••••

Burung pipit berterbangan melewati pintu-pintu besar, menyuarakan bunyi-bunyi kecil yang memantul ke tiap sudut ruangan.

Alih-alih mencari makanan tetapi malah menemukan bongkahan es berbentuk manusia.

Burung pipit itu berdiri di atas kepala seorang lelaki, menatap burung pipit yang lain yang juga sedang berdiri di seorang kepala perempuan. Mereka saling pandang, seakan sedang mempertanyakan apakah kau sudah menemukan makanan mu?

Tetapi kita menemukan lebih dari yang diharapkan. Bukankah dua yang membeku ini begitu luar biasa? Harus kita apakan? Kira-kira begitulah sang burung pipit menjawab burung pipit yang lain.

Kemudian mereka terbang, melewati satu pohon yang kini sedang bertumbuh. Daunnya berwarna merah, seakan bulan memiliki musim gugur yang lebih hangat dari bumi. Permukaan dasar yang begitu dingin, suhu udara yang tidak normal, kenapa pohon itu mampu hidup?

Dua bak kepompong tergantung di antara ranting pohon. Burung pipit itu bertanya-tanya, apa isinya manusia? Lagipula, mengapa kita bisa sampai disini? Di bulan, di kehangatan yang berbeda dengan tempat kita tinggal?

Bingkai-bingkai yang mengurung pada manusia bulan yang membeku itu kini menghilang, berubah menjadi satu bola cahaya yang kemudian terbangㅡ mendatangai Mara dan Daksa, menghilang di dalam diri mereka.

Selamat Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang