• Dari Fa •

9 1 0
                                    

Begini, aku tidak bisa meninggalkan Mara bersama kekecewaan.

Disisi lain aku ingin terus bersama Naa tetapi tidak bisa. Kalau aku pilih dia, Mara pasti merasa kecewa dan marah pada ku. Bukan soal aku yang lebih memilih wanita lain ketimbang kekasih ku sendiri, lagipula Naa adalah jiwa yang hidup. Bisa apa dia bersama aku yang sudah mati begini?

Mara tidak akan marah meski aku ingin melakukan percobaan untuk membunuhnya, merangkai segala rencana lalu dilakukan. Tidak, dia tidak akan marah. Tetapi dengan kecewa, bersamaan dengan niat yang baik, dimana perasaan ku kalau dengan berani menolak pengorbanan Mara? Sudah mati masih berbuat dosa pula.

Leganya, Naa tidak menangis ketika aku pergi. Syukurlah. Lega sekali melihat dia. Aku yakin Jaz bisa untuk selalu ada dan saling menemani satu sama lain. Aku yakin dua jiwa yang hidup itu akan menjadi manusia yang dijanjikan sesuai keinginan sang pencipta.

Entah dimana dia, entah sedang apa dia. Dia adalah dua orang yang ku maksud.

Mara? Ku dengar dari cerita mu, sungguh aku khawatir sekarang. Aku tidak merasa kehilangan, pun rindu. Aku yakin kau lah yang paling bahagia sebab kamu sendiri yang memilih keputusan mu itu. Terimakasih sudah menolong aku dari dunia yang tidak mengenal lelah untuk terus mengkhianati butiran-butiran debu yang tidak ada apa-apanya yang sedang tinggal di lapisan perut atasnya. Bumi, yang mungkin juga sedang merasakan sakit hati yang sama.

Mara, disini ada hujan. Mengapa petirnya menyala-nyala? Sekilas kuning bercahaya, sedetik kemudian menghilang. Dentumannya keras, bunyinya juga.

Tetapi Mara, langitnya cerah, hujannya tidak mau turun? Apakah yang sedang mengendalikan hujan sengaja hanya menimbulkan petir-petir nya saja?

Sekali lagi cahaya kilat itu datang. Takut sekali aku melihat dan mendengar itu. Sekali, dua kali, puluhan kali, kapan hilangnya? Petirnya terus meraung seperti orang kelaparan.

Ini kah rumah ku? Setidaknya kalau ada hujan, aku tidak takut dengan petirnya. Kilat nya yang kini terus menembus lapisan kelopak mata ku membuat aku berpikir, aku akan tersambar sebentar lagi.

Sepertinya aku terpilih untuk jatuh ke dalam neraka yang lebih layak dari apa yang aku bayangkan.

Tempat ini di tumbuhi rerumputan dan bunga, dihiasi sungai seperti negara Swiss yang dulu pernah Naa tunjukkan pada ku. Tetapi disini, meski terang, petirnya terus ada.

Apa ini yang kamu pesankan, Mara? Kamu bilang jangan cari kamu dan jangan khawatir.

Baiklah, biarkan petir-petir itu meraung kelaparan. Lagipula aku bukan makanan, aku tidak akan dimakan.

Mara, aku berubah pikiran. Sepertinya tempat ini bukan neraka, aku yakin ini surga. Petir nya tidak tau melambangkan apa, tapi aku yakin bunyi bergema ini sedang berbicara pada ku, mengatakan bahwa aku tidak sendirian disini, aku tidak akan merasakan kesepian makanya petir itu terus berbunyi di awan.

Soal awan, aku jadi merasa bersalah kembali. Dulu sekali aku pernah bilang pada Naa bahwa aku tidak akan pergi darinya. Aku bilang bahwa aku akan selalu ada tetapi akhirnya aku mengkhianati dia.

Aku bilang tempat Daksa adalah rumah ku, aku menunjukkan semua ingatan ku kemudian aku menyesal. Aku takut dia akan terus berkunjung untuk menemui aku.

Dan akhirnya aku bilang, lihat saja pada awan di langit, aku akan duduk di sana sembari terus mengamati perkembangan mu. Aku bilang begitu, tetapi menyesal ku malah semakin menjadi-jadi.

Aku khawatir ia akan terus menatap awan, mencari-cari keberadaan ku ada diantara awan yang mana. Kelihatannya, tempat ku yang sekarang bukanlah awan, melainkan tanah. Aku berdiri di antara rerumputan dan angin sejuk.

Selamat Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang