• Hallo, Ini Danendra •

3 1 0
                                    

Danendra berjalan di tepi jalan, menggenggam buku yang sedari tadi banyak ia baca isinya. Sebelumnya, pria itu pergi ke sebuah perpustakaan yang paling besar di negeri ini. Awalnya Nan mengajak Naa melalui pesan singkat. Tetapi, mau pesan yang baru maupun yang lama juga Naa tidak membalasnya.

Nan pikir, Naa marah ya? Atau, sepertinya aku membuat kesalahan di luar ketidaksadaran ku. Ia terus menyangka nyangka, mempertanyakan kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Sepertinya sangat parah, itu pikirnya.

Pergi dengan mengandalkan kartu bis dan uang di dompet, sengaja pulang larut malam karena belakangan bulan tampak lebih bersinar dari biasanya. Kemudian satu buku yang ia genggam itu ia naikkan sampai setara dada, kepalanya menunduk agar dapat melihat lebih jelas pada benda itu.

Buku pengetahuan mengenai perhitungan massa hingga perhitungan pada sebuah nama yang bernama atom. Sekecil itupun di hitung, bahkan yang hampir tidak terlihat harus ikut diperhitungkan. Jadi, apa yang dapat 'yang tertampak' untuk dilakukan? Naa yang tertampak tidak dapat Nan dapatkan jawabannya. Seperti, terbayang dengan sangat mudah apa yang sedang wanita itu inginkan, lakukan, dan lainnya. Tetapi sebaliknya, Nan tidak dapat memperhitungkan nya.

Kemudian buku tersebut ia tekuk hingga bulat memanjang, mempertanyakan mengapa dirinya yang begitu bermusuhan dengan buku bisa sampai seakrab ini?

Tahu kenapa? Ia hanya ingin di perhatikan. Ayah dan ibu tidak peduli lagi senakal apa anaknya di luar rumah, terlebih soal kasus yang sering kali melanda Nan sebab dirinya sendiri. Tetapi ia berubah, ingin menjadi lebih baik lagi karena ia sudah sangat muak dengan keprihatinan terhadap diri sendiri.

Bermain bersama teman-teman memang menyenangkan, tetapi disana ia juga diandalkan, banyak orang bertanya apakah harus begini atau begitu? Nan tidak ingin menjadi seorang ketua geng atau apapun itu, ia hanya ingin orang itu ada dan tidak terlalu berlebihan. Kau tau? Seperti hal nya kita ingin menjadi manusia berjiwa sosial yang normal tetapi di tempatkan di dalam sebuah lingkungan yang tidak sejalan dengan pemikiran. Terpaksa dijalankan hingga akhirnya melenceng ke jalan yang salah.

Dan membuat dirinya pintar ditengah kebodohan adalah caranya. Tujuannya dua, ingin membuat semua orang bungkam dan membuat satu orang lainnya memperhatikan perubahannya.

"Kamu hebat Nan! Gak nyangka pembuat onar kayak kamu bisa sehebat ini!" Nan membayangkan apa yang akan Naa katakan kalau ia dapat berhasil meraih prestasi. Tidak apa disebut sebagai pembuat onar, ia hanya ingin wanita itu loncat-loncat tidak jelas sembari menepuk dua tangan nya. Mata yang berbinar, percakapan yang tidak pernah habis.

Kemudian, ketika Nan sampai di depan pagar rumahnya, ia duduk di bawah sambil bersandar pada pagar. Satu kakinya diangkat setengah hingga lututnya menekuk ke atas, sisanya diluruskan begitu saja. Satu tangannya ia taruh di atas lutut, kemudian ia mendongak menatapi bulan.

"Ini aku bisa gak ya, Naa? Kamu gak berharap aku berubah tapi akunya mau kamu senang. Pengen aja gitu si pembuat rusuh ini berubah dimata kecil mu itu." Ucap Nan pada dirinya sendiri, masih menatap bulan.

"Ngerasa aja gitu, kenapa harus kamu, ya? Padahal lebih baik perubahan ini ditunjukkan kepada ayah dan ibu ku. Anehnya, kenapa harus kamu?"

"Mau banget kumpul sama teman-teman tetapi aku malah gagal fokus ke buku fisika. Yang tadinya mau ke kafe malah ke perpustakaan nasional buat cari ketenangan."

"Sebal kamu gak datang, padahal aku mau lihat kamu bosan nunggu aku belajar. Soalnya aku tau banget, pasti kamu nanya-nanya gak jelas untuk meredakan bosan. Yah... memang itu tujuannya, sih. Mau kamu ada dan nanya banyak hal ke aku. Bukan biar dikata pintar karena aku kakak kelas mu, tetapi supaya aku bisa dengar suara mu itu."

Selamat Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang