Hari rabu pukul sembilan pagi ketika kulihat orang-orang berlalu lalang di lorong rumah sakit, aku meyakinkan diriku sejenak, setelah melalui pergumulan batin hampir beberapa menit, kuberanikan diri membuka ruangan itu. Dingin. Ruangan itu dingin. Mama yang ada di dalam sana lantas mendongak, meraih tanganku sebelum kurasakan remasan itu seolah memberiku kekuatan.
Beberapa menit lalu, sebelum masuk kesini, aku berbicara dengan papa. Dia mengijinkanku masuk dan memberitahu bahwa Johnny ada pemeriksaan sepuluh menit lagi, yang artinya aku harus keluar sebelum dokter masuk dan melakukan tugasnya. Sambil menunggu sesi masuk kamar Johnny, aku melakukan percakapan dengan papa. Dia memberitahuku agar aku tidak menanyakan alasan, sebab dia tidak meberitahuku tentang penyakit Johnny. Tak ada hal lain, selain karena Johnny tidak ingin semua orang mengetahui ini. Hanya tatapan datar yang bisa kuberikan, bertanya kenapa pun rasanya sudah lelah, sebab tak pernah kudapat jawaban yang pasti. Meski aku istrinya, dan hal seperti ini aku dianggap tidak layak mengetahuinya. tak ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Aku merasakan marah dan penyesalan di waktu yang bersamaan. Harusnya aku menangis dan memohon maaf atas segala kesalahpahaman di antara kami. tapi ketika aku berdiri di sampingnya, ketika mama meninggalkan kami hanya berdua, tidak ada yang kulakukan. Aku sempurna membeku. memperhatikan dia yang juga memperhatikanku. Beberapa menit bertahan dalam posisi seperti itu, seolah kami berkomunikasi melalui tatapan.
Matanya sayu, bibirnya pucat, rambutnya panjang melewati telinga. Entah kapan aku menyadarinya, tapi dia setirus itu. Satu hal yang membuatku ingin menjerit sejadinya adalah ketika bibirnya tersenyum. Tidak sanggup membayangkan kemungkinan yang Jaehyun bicarakan kemarin malam. Aku luruh di dekat lengannya. Menumpahkan tangis tanpa suara.
Dalam keadaan seperti itu, dia masih terlihat baik-baik saja. Atau dia memang ingin terlihat seperti itu. Dia tidak menghentikanku. Tidak juga buru-buru menghapus air mataku. Tangannya hanya terangkat untuk mengusap punggungku kemudian naik ke atas untuk memberi tepukan pelan disana, seolah aku diijinkan menangis selama aku mau.
"Evelyn." ucapnya serak. Bukan seperti panggilan. Dia tidak memanggilku. Mataku tenggelam dalam tatapan matanya yang teduh. Mata yang setiap malam menjagaku sampai terlelap, dulu. Mata pertama yang kulihat sejak aku terjaga di pagi hari. Bibirnya mengulas senyum. Senyuman tulus khas Johnny.
Tuhan punya cara terbaik untuk menyakitiku. Untuk membuat skenario seperti ini. Tapi kenapa?
"Eve," ulangnya. Kepalaku menggeleng. Jangan memberiku senyum seperti itu. Kuraih tangannya yang hangat dan meremasnya pelan. Meletakkannya di pipi. Menahannya disana tanpa peduli air mata yang membasahi telapaknya.
"Sudah, tanganku basah." dia berusaha menariknya namun aku menahan.
Kami bertahan di posisi seperti itu. Johnny tidak berniat menghentikanku lagi. Ruangan dingin itu kini semakin dingin. Entah karena ac yang kecil atau suasana alami yang memang kami ciptakan. Dengan iringan suara denting jarum jam, isakanku memenuhi ruangan. Sampai aku lelah dan sadar jika tangisan tak akan menyelesaikan apapun.
Mungkin ini waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya.
"Kenapa?" Suaraku serak. Kuharap dia tahu apa yang ku maksud, meski aku tidak membuatnya terlalu jelas. Tangan hangatnya menghapus sisa air mata di pipiku. Kedipan matanya bergerak pelan. "Kenapa kita harus melalui semua ini?" lanjutku.
Kudengar dia mengatakan maaf dengan pelan, nyaris seperti bisikan. Aku menggeleng. Semua ini salahku. Semua berawal dariku. Dari dugaan-dugaan yang terus memenuhi kepalaku.
"Evelyn,"
"Jawab aku, Johnny." Aku menghela napas. Menghapus kering pipiku. Menatap tepat di kedua mata sayu itu. "Untuk kali ini saja aku mohon, bicaralah. Jelaskan semuanya. Ceritakan apa yang tidak kuketahui." Mungkin terdengar egois, karena dia masih berbaring di ranjang dengan lemah namun aku malah meminta sesuatu yang diluar kendalinya.
"Aku lelah dengan semua pikiranku. Lelah karena kau terus mendiamkanku. Lelah harus berpura-pura baik-baik saja." setelah menyelesaikan kalimat itu, air mataku keluar kembali dengan nyeri di tenggorokan yang semakin sakit.
"Mungkin kau tidak menganggapku begitu penting, tapi aku—" tangannya yang sedari tadi masih bertengger di bahuku, bergerak pelan memberi gestur agar aku tidak melanjutkan ucapanku. Jarinya menempel di bibirku.
"Justru karena kau sangat penting." ujarnya. "Ini bukan suatu rahasia, Eve. Aku ingin sembuh. Aku tidak ingin kau khawatir. Aku tidak ingin ini menjadi alasanmu untuk tetap bertahan denganku." Mataku mengerjap. Mencoba mencerna kalimat terpanjang yang pernah dikatakannya padaku. Tapi kenapa harus kalimat seperti itu yang keluar.
"Apa maksudmu?"
Johnny melepas tangannya. Jarak yang kami ciptakan sejak tadi seolah hilang begitu saja.
Kembali kuusap pipiku. Menelan ludah dengan susah payah. Sekilas kulirik jam dinding yang bertengger di atas ranjangnya. Lima menit lagi dan aku harus keluar dari sini. "Itu bukan alasan, Johnny. Kau suamiku. Aku berhak tau tentang keadaanmu." jawabku tidak terima. "Lalu kau pikir dengan kau diam, merahasiakan ini semua, kau pikir aku tidak khawatir?"
Dia sempurna terdiam. "Kau selalu membuatku bingung. Daripada membuat semuanya jelas, kau memilih menghindariku. Pernahkah kau berusaha untuk membicarakannya padaku? Tentang kesalahpahamanku selama ini?"
Dia memalingkan muka. Gestur ringan yang berhasil membuatku terluka. Haruskah aku menghentikan ini? Bagaimana jika sesuatu terjadi dengan kepalanya? Tapi sisi diriku yang lain menekan perasaan itu dalam-dalam dan memilih ego untuk mengambil alih. "Pernahkah kau berpikir untuk berbagi bersamaku? Setelah semua yang kita lalui, aku merasa kau tetap jauh. Kita berada di tempat yang sama tapi kau selalu acuh." aku hampir menyelesaikannya. Aku mau dia mendengar segala yang kupendam selama ini.
"Masalah seperti ini saja kau tidak pernah mau membaginya denganku. Pernahkah kau menganggapku berarti, Johnny? Atau hanya aku?"
Itu finalnya. Akhirnya aku mengatakan itu. Sepelan mungkin agar suaraku tidak terdengar bergetar. Kalimat terakhir adalah apa yang selalu memenuhi pikiranku berbulan-bulan ini. Atau setidaknya sejak aku mengetahui bahwa pria didepanku adalah sosok yang dingin.
Kulihat dia memandangku lama. Dengan tatapan datar sampai bibirnya terbuka, "Pernah." Jawabnya singkat sebelum mengalihkan pandangan, memilih fokus pada jendela dengan pemandangan langit kelabu.
Pipinya yang tirus membuat garis di wajahnya lebih menonjol, dan aku tahu dia sedang menggertakan rahangnya. "Kupikir aku tidak bisa menahannya. Selama aku pergi, aku ingin kau menemaniku." Lanjutnya.
Ini adalah kenyataan pertama yang kudengar dari mulutnya. Tapi masih belum bisa membuatku lega.
"Terapinya sesakit itu." Mungkin aku berlebihan menilai situasi, tapi aku yakin melihat air menggenang di sudut matanya.
"Malam itu aku ingin memberitahukan semuanya. Malam sebelum aku pergi dengan Richard, aku memintanya untuk pergi ke rumah. Malam dimana kau dan Jaehyun pergi bersama. Menghabiskan malam di jalan."
.
.
.
TbcPov: pusing liat istri jalan sama sepupu sendiri.
anyway lagi suka bgt sama lagunya selena yang the heart wants what it wants. karna relate hahaha. g
wyd di malam minggu ini guys? kalo aku malmingnya baca history chat hahaha. ga deh, baru selesai nugas yang agak ribet karena dighosting anggota kelompok. sad
Oh iya tidak lupa kuucapkan terimakasih sudah baca. double terimakasih sudah komen♡
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved J | NCT Fanfiction
Fanfiction(15+) "about emptiness to complement each other. about time being used in vain" ---------------------------