What if we're wrong?
What if we're not all that we thought?.
.
.
.Awalnya kami hanya diam. Sama-sama terpaku memandang pemandangan di luar jendela. Entah semenarik apa orang-orang yang berlalu lalang disana hingga nyaris membuat kami terus menatap selama beberapa menit.
"Selamat atas gelarmu." dia memulai.
Aku tersenyum, "Kau ikut membantuku." jawabku tulus. Mengingat beberapa paper yang kukerjakan bersamanya.
"Sedikit." memasukkan tangannya ke dalam saku, dia menoleh kearahku. "Bagaimana kabarmu?"
Aku tidak langsung menjawabnya. Hanya menatap matanya lamat-lamat. Mencoba menemukan alasan mengapa dia menemuiku selain untuk mengucapkan selamat. Tapi sepertinya.. Aku hanya terlalu banyak menerka-nerka sebab tak juga menemukan jawabannya.
"Hmm... Baik?"
"Aku dengar kau pergi."
Sebisa mungkin aku terlihat baik-baik saja. Meski kadang kenyataan itu membuatku ingin menghilang. Kadang orang tidak bisa memilih mana topik yang harus dibicarakan dan mana yang tidak. "Sepertinya sebaiknya begitu." jawabku singkat.
Jaehyun mengerjap. Merapatkan bibirnya. Sedikit merubah posisi duduknya agar nyaman.
Dari sini, aku bisa mencium aromanya yang familiar.
"Aku ingin mengundangmu ke rumah baruku."
Kepalaku mendongak. "Aku tidak tahu kau membeli rumah."
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lamaㅡmeski hanya beberapa minggu, aku melihat senyum itu. Senyumannya masih sama. Hangat dan ramah. "Jadi, besok pagi?"
Sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak. Apalagi ketika senyuman itu masih bertengger disana. Sementara dalam kepalaku terus-terusan berkecamuk perihal apakah dia mendengarku malam itu? Bagaimana menurutnya? Apa harus kukatakan saja jika aku tidak bermaksud seperti itu? Aku terlampau marah sehingga mengatakan hal yang tidak seharusnya. Dan sialnya meski aku sudah mencari beberapa alasan yang terdengar masuk akal agar aku tidak pergi, kepalaku malah mengangguk.
***
Beberapa jam setelahnya, setelah Jaehyun pamit pergi untuk mengurus beberapa furniture rumahnya, aku bertemu Riri. Masih di sekitaran kampus. Kurasa dia selesai mendatangi temannya. Daisy dan Mia sudah pulang sejak aku bersama Jaehyun. Wanita berambut ikal itu menyapaku dengan sumringahㅡ khasnya.
"Eve! Selamat atas gelarmu." dia memberiku pelukan singkat.
"Terimakasih. Kau sendirian?"
Dia mengangkat bahu, "As you see."
Dan semuanya mengalir begitu saja. Kami berbincang di bawah lampu taman. Membicarakan butiknya, membicarakan rumah tanggaku yang tidak bisa dipungkiri akan berakhir sebentar lagi. Aku hanya merasa tidak perlu merahasiakan hal itu. Cepat atau lambat orang-orang juga akan menyadarinya.
"Aku turut menyesal." ucapnya bersimpati. Aku menggeleng dan tersenyum. Tidak perlu. Aku tidak membutuhkan kata-kata itu. "Aku mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua." lanjutnya.
"Terimakasih. Ini yang terbaik."
Riri cemberut mengusap punggungku sebelum menaikkan alisnya lalu tiba-tiba meraih tanganku. "Oh ya, Aku mengundangmu dan yang lainnya akhir pekan ini. Kau harus datang." senyum itu masih terus menghiasi wajah mungilnya. Dan jika aku tidak salah menebak, "Wah?! Siapa pria beruntung ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved J | NCT Fanfiction
Fanfic(15+) "about emptiness to complement each other. about time being used in vain" ---------------------------