"Kau mau aku jadi santa?" Tawa renyahnya mengudara. Mata dengan guratan sipit itu membuatku merasa dipenuhi oleh kehangatan.
Aku mengendikkan bahu, "Terserah. Tapi aku mau kau memakainya."
"Aku tidak bisa menyiapkan hadiah untukmu."
"Ya, benar."
"Maaf untuk itu."
Kepalaku menggeleng, dia terlalu cepat menilai situasi. "Jangan senang dulu. Aku tetap mau sesuatu darimu."
"Aku ragu aku bisa memberikannya." Dia berkata lemah. Dengan senyum tulus yang masih terpaut di wajah teduhnya. Kalau saja ada kemungkinan aku pergi dari dunia ini, senyum itu adalah hal terakhir yang akan kuminta.
"Kau bisa," balasku. Kudekatkan wajahku padanya. Memperhatikan lebih detail setiap wajahnya. Kenapa aku baru sadar suamiku memiliki wajah sesempurna ini. Maksudku, garis rahangnya yang tegas tapi terkesan lembut. Dagunya yang kecil. Perlahan jariku terangkat untuk mengusapnya. "Ada banyak hal yang ingin kulakukan denganmu." Bisikku.
"Aku sudah memikirkan beberapa hal untuk dilakukan di malam natal lusa." Dia bergerak mencari nyaman dalam posisi tidurnya. Sedikit memiringkan badan agar bisa menatapku dengan penuh. Untuk sementara, rasanya ingin aku menghentikan waktu.
Perkiraan lusa hingga tujuh hari kedepan Johnny masih akan bertahan disini, itu artinya kami merayakan natal di dalam rumah sakit. Tidak begitu buruk. Aku masih bisa memakan kue jahe buatan ibu, aku masih bisa mendengarkan lonceng berdenting dan hal lainnya.
"Aku ingin kita menonton film bersama, bermain kartu ketika film usai, meminum coklat dan kue kering buatan ibuku, lalu—" aku menggantung kalimatku. Tiba-tiba saja tenggorokanku gatal. Mataku sekilas meliriknya. Dia terlihat menunggu.
"Lalu?"
Aku tahu ini ide buruk. Dan semua tahu aku dan Johnny bukan pasangan yang frontal. Tapi hal itu tiba-tiba melintas saja di kepalaku. "Aku ingin mandi bersama."
Sudah kuduga. Aku tidak tahu respon apa yang harus kuberikan ketika melihat wajahnya yang... datar? tapi ayolah, wajahnya memang selalu seperti itu. Pipiku pasti sudah memerah. Untuk seperkian detik kami terjebak dalam keheningan yang canggung. Baiklah, apa aku harus bergegas pulang dan berendam agar pikiranku normal? Tapi gelak tawa darinya kemudian mencairkan suasana ini.
"Menarik." Balasnya, dengan sisa tawa di ujung bibirnya. Dan kurasa mataku tidak akan pernah berpaling.
kemudian dalam hangat telapak tangannya yang menangkup tanganku, dan.. kejadian itu begitu cepat bahkan sebelum aku siap menutup mataku. aku merasa...
Cukup. Begitulah aku menggambarkannya.
Kemudian tigapuluh menit kedepan. Ketika Johnny tertidur dan aku duduk memeluk kakiku di sofa, beberapa hal membuat pikiranku runyam. Memandang wajah damai yang tertidur itu sekelibat membuatku dihantui perasaan takut.
Dalam beberapa hal aku begitu bingung, sedih, putus asa. Terlebih ketika beberapa kali mengingat Johnny mengeluh pusing. Tapi tidak mengeluarkan keluhan itu secara jelas. Tidak dalam kata-kata kesakitan seperti orang lain biasa lakukan. Meski raut wajahnya menunjukkan semua.
Terbersit perkataan Jaehyun dan papa yang mengatakan hal yang sama. Ketika Johnny mungkin saja hanya mendapat peluang kecil— untuk bertahan. Bukankah akan sangat tidak adil? mereka mengira seolah-olah tidak akan ada kemungkinan Johnny akan bertahan. tapi kenapa?
Aku tidak selalu percaya keajaiban. Tapi untuk ini rasanya aku mendapat firasat. Tidak peduli siapapun bersikeras untuk menguatkanku akan hal yang terjadi kedepan, kurasa aku tak butuh itu. Karena aku percaya sesuatu yang baik pasti ada disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved J | NCT Fanfiction
Hayran Kurgu(15+) "about emptiness to complement each other. about time being used in vain" ---------------------------