Bekas genangan air dimana-mana. Tentu saja— dari sisa hujan semalam. Rumput di lingkungan sekitar kampus juga benar-benar becek. Kesalahan aku memakai sneakers putih hari ini.
Semenjak memasuki kelas sepuluh menit yang lalu, aku tidak mendengar sepatah katapun dari Daisy. Jangakan sapaan. Dia menoleh padaku saja tidak. Tapi itu hal yang cukup baik. Setidaknya untuk sekarang. Karena konsentrasiku tidak akan terganggu selama menerima materi dari dosen.
Lima puluh menit berjalan, dosen mulai meninggalkan kelas. Diikuti teman-temanku yang lain.
Sementara aku bangkit dan hendak berjalan menuju pintu, Daisy menghadangku.
"bagaimana kencan semalam?"
Kalau dia bukan temanku. Kupastikan pipinya sudah memerah karena tamparan. Dia benar-benar sudah kelewat batas.
"semalaman kami mencari kalian" lanjutnya.
"hanya karena aku dan Jaehyun tidak terlihat di ruangan maka kau bisa berasumsi seperti itu?"
"tentu saja. Aku tahu kalian berdua ada di green house. "
"kami hanya berteduh"
Daisy tersenyum miring, "ya. Dan kalian memang merencanakannya"
"apa maksudmu?" emosiku mulai naik.
"maksudku adalah terjadi sesuatu di antara kalian"
Aku menghela napas. Menyilangkan tangan merasa lelah dengan sikapnya. "Daisy, aku tidak tahu kenapa kau selalu saja seperti ini. Berkali-kali kubilang dia hanya sepupuku. Dan pikiran tidak masuk akalmu selalu saja—"
"kau tidak menyadari sesuatu, Eve. Kami semua memperhatikan."
"Apa? Apa yang tidak kuketahui?"
Aku cukup terkesan dengan diriku sendiri karena mampu meladeni Daisy sejauh ini. Tapi baiklah, aku ingin tahu akan selama apa ini berlangsung.
Daisy menatapku dengan tatapan yang mantap. Kemudian, "dia menyukaimu"
Butuh waktu lima detik untuk aku sadar dari situasi. memperhatikan sekitar dan baru sadar jika kelas sudah benar-benar sepi.
"kau gila!" desisku sebelum melangkah. Bermaksud menjauhinya dengan berjalan keluar kelas.
Tapi dengan cepat dia menarikku. Membuatku terhenti di antara genggamannya.
"kau temanku. Aku menyayangimu seperti saudara. Kau tahu maksudku, Eve. Jangan gegabah. Hentikan semua ini sebelum semuanya terlanjur"
Kuhempaskan tangan Daisy kasar hingga membuatnya sedikit terkejut. "apa yang akan kuhentikan jika memulainya saja aku tidak pernah?!"
"kau tidak memulainya. Belum. Tapi dia sudah."
"kau selalu sok tahu. Dan aku benci itu!"
"buktikan jika kau ingin menyangkal" dia menantang.
"dia bahkan baru bercerai, Daisy. Jangan seperti ini. Kumohon" aku memelas. Harus dengan cara apalagi aku mengatakannya.
Daisy berjalan mendekatiku pelan. Mensejajarkan wajahnya dengan wajahku.
"kalau memang dia tidak seperti itu—" dia menahan ucapannya.
"dia keluar dengan membawa payung" matanya menatapku tajam, "menurutmu kenapa dia melempar payung itu dan memilih membawamu lari kedalam green house?"
Setelah mengatakan itu dia berjalan keluar.
Aku bingung. Daisy benar-benar pergi. meninggalkanku sendirian di dalam kelas.
Perkataannya barusan membuatku memikirkan tentang kejadian semalam. Aku yakin Jaehyun hanya bermaksud bergurau. Mencairkan suasana di malam yang dingin sembari menunggu hujan reda. Mencoba akrab dengan caranya.
Tapi setelah mendengar apa yang dibilang Daisy, hal yang tidak pernah kuambil pusing justru sekarang membuatku kepikiran.
Drrtttt!!!!
Getar ponsel di dalam tas membuatku menghentikan lamunan. Kuraih benda pipih itu dan menemukan nama adikku di atas sana. Tidak biasa sekali.
"Jeno?" panggilku saat nada suara sudah tersambung.
"kau d-dimana?"
Dahiku mengernyit. Ada apa dengan suaranya. jeda beberapa saat sebelum dia kembali berucap.
"aku di rumah sakit, kak. Kau dimana?"
***
Tanganku rasanya dingin. beberapa kali kuggerakkan jari-jariku untuk mengurangi rasa tegang. Mendesis kesal karena taksi yang kutumpangi rasanya berjalan sangat pelan. Bahkan ketika sudah kulihat spedometer telah mengarah ke angka 60.
Mungkin jika aku menyuruh sopir untuk meningkatkan kelajuannya lagi, dia bisa saja menurunkanku disini karena aku yang terlalu cerewet. Ini sudah keempat kalinya aku meminta dia menaikkan kecepatan.
Dalam genggamanku, bekas panggilan Jeno di dalam ponsel masih tertera. Secepat itu aku berlari mencari taksi bahkan sebelum anak itu menutup teleponnya.
Saat ini kepalaku rasanya penuh. Berkecamuk hanya karena satu nama. Johnny.
"aku bersama Johnny"
"Jeno, ada apa?"
"ak-aku.. Bertemu dengannya. Kami di rumah sakit."
Sejauh itu, perasaanku rasanya sudah mendadak tidak enak. Padahal Jeno belum menuntaskan kalimatnya.
Kurapalkan doa seluas-luasnya. Menenangkan diri sendiri atas kekhawatiran yang tidak berdasar. Bahkan aku belum melihat kondisinya. Dan hatiku rasanya sudah memanas. Bagaimana kalau dia terluka? Atau sakit? Memangnya alasan apalagi sampai dia ada di rumah sakit?
Setibanya disana aku langsung berjalan cepat menuju resepsionis. Menyebut nama suamiku sampai perempuan di tempat itu mengarahkanku untuk menaiki lantai tiga.
Tidak butuh waktu lama aku menemukan Jeno yang duduk di depan ruangan. Wajahnya terlihat terkejut saat melihatku.
Dia tidak mengatakan apapun kepadaku. Sampai seorang pria dengan kemeja hitam keluar dari ruangan. Dia melihatku dan Jeno bergantian. Sampai akhirnya sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
"istri tuan Suh?"
Aku mengangguk.
"kau bisa masuk. Dia hanya kelelahan. Pastikan dia meminum vitaminnya, ya"
Detik itu badanku rasanya lemas sekali. Setelah mengucapkan terimakasih pada dokter tersebut, aku masuk ke dalam.
Memasuki ruangan putih pucat dengan aroma jeruk yang menguar. Menemukan Johnny yang nampak lesu di atas ranjang.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved J | NCT Fanfiction
Fanfiction(15+) "about emptiness to complement each other. about time being used in vain" ---------------------------