[J] tiga puluh dua

93 18 3
                                    

Terhitung dua jam sejak aku hanya duduk diam menatap kosong tembok putih dihadapanku. Beberapa jam lalu setelah tangisanku yang tak terbendung, ambulan datang. Membawa johnny yang masih terlelap karena obat tidur. Aku menemaninya sepanjang perjalanan. Memperhatikan wajahnya yang tirus terlelap. Sembari batin yang terus bergejolak mengira-ngira akankah aku dimaafkan? Apakah aku memiliki kesempatan.

Ibu datang sendirian tidak lama kemudian. Segera memeluk mama Johnny. Sebelum beralih kearahku untuk memberikan kekuatan lewat dekapannya. Aku memandangnya diam. Mulutku terbungkam rapat tak mampu bersuara.

Sementara hari semakin malam, para saudara satu persatu pergi. Meski tidak menghasilkan kelegaan, tapi setidaknya mereka pergi. Aku sangat lelah dengan kalimat penenang yang mereka ucapkan. Karena bukan itu yang saat ini kubutuhkan.

Aku bersyukur mereka meninggalkanku sendiri. Bahkan papa dan dokter Richard. Mereka pergi mengurus sesuatu tentang operasi Johnny. Menyisakanku sendirian. Karena mama masih tak juga ingin beranjak dari pintu kamar Johnny. Memperhatikan putranya dalam hening meski aku tahu hatinya telah banyak mengucapkan ribuan doa.












Selintas kemudian satu bayangan mendatangiku. Mendongak, kutemukan wajah Jaehyun. Dia bergerak duduk disampingku. Menyadari pria itu disini membuatku semakin sesak. Untuk pertama kalinya, aku berharap aku tidak mengenalnya.

Terpusat pada ubin putih dengan motif abstrak, tak bisa kusembunyinkan tatapan nanarku. Menghela napas berat yang rasanya tidak pantas kudapatkan.




"Kau tahu?" Bisikku.

Dari sudut mataku kudapati dia menggeleng. Jadi Johnny menyembunyikan ini dari semua orang. Tapi kenapa?

"Aku bodoh." aku melanjutkan dalam nada yang parau. Menutup mata merasakan nyeri itu datang lagi. Beberapa momen yang tiba-tiba terlintas antara aku dan pria disampingku membuat kepalaku pening. Apa yang sudah kita lakukan?

Sementara menit terus berlalu dan Jaehyun belum mengucap sepatah katapun. Sebenarnya aku juga tidak mengharapkan kalimat apapun dari mulutnya. Diam akan lebih baik untuk kita. Merenungkan apa yang telah kita perbuat, meski dalam ungkapan tersirat, kami sama-sama melakukan kesalahan. Dan aku ingin menutup, memperjelas itu semua. Tapi ini bukan waktu yang tepat. Apa yang akan kuucapkan nantinya hanya akan membuat runyam. Saat ini yang perlu kupikirkan adalah bagaimana caranya Johnny bisa memaafkanku. Atas kesalahpahaman diantara kita. Tapi sedetik kemudian Jaehyun sempurna mengalihkan pikiranku. Akhirnya dia membuka suara. Dan aku tidak menyukai kalimat itu.

"Dia tidak harus melakukan operasi ini."

"Apa maksudmu?"

Dia menoleh. Aku tidak dapat menjabarkan arti tatapannya. Dahinya yang menyatu, mata merahnya.

Dia tidak menjawabku, kembali menunduk. Kembali menatap objek yang sama dengan yang sebelumnya kulihat. Memangnya kenapa? Kenapa jika suamiku melakukan operasi? bukankah itu satu-satunya cara agar suamiku kembali pulih.

Kemudian Jaehyun berdiri. Meremas rambutnya dengan satu tangan seolah gusar.

Untuk waktu yang lama, aku akhirnya berdiri. Meminta Jaehyun memberitahu alasan dari ucapannya. Tapi sedetik kemudian aku menyesal. Aku berharap tidak pernah mendengar kata itu. Aku berharap semua yang kualami ini akan berakhir besok pagi ketika aku bangun dan menyadari ini semua hanya mimpi.

"Kecil kemungkinan dia akan sembuh. 40 persen kemungkinan dia akan bangun setelah operasi selesai. Dia mengambil resiko dengan menaruhkan nyawa." kalimat panjang itu keluar menusuk dadaku. lantas Jaehyun pergi. Meninggalkanku di ruang hampa, dengan penyesalan yang tak akan hilang.









.
.
.

Tbc.

My Beloved J | NCT FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang