[J] tujuhbelas

355 50 11
                                    

Hari rabu yang mendung aku memulai hari dengan ujian sastra dari mata kuliah Jaehyun. Beberapa bulan menjelang semesterku akan berakhir. Keadaan kelas yang kondusif membuatku cukup konsentrasi selama mengerjakannya. Sampai aku menyelesaikan semua tepat sepuluh menit sebelum ujian berakhir. Menoleh ke kanan kiri memandang teman-temanku yang masih berkutat dengan soalnya. Kemudian ke arah Jaehyun yang berdiri di sebelah jendela. Pria itu termenung dengan tangan dibelakang memandang kebawah. Kuperhatikan dia sudah berdiri disitu selama beberapa menit. Dia sendiri bukan tipikal dosen yang suka mengitari ruangan ketika ujian berlangsung.

Hari demi hari rasanya semakin berangsur baik— Maksudku kehidupanku. Terlebih lagi aku dan pria didepan sana sudah berkomunimasi seperti dulu. Meski kadang masih terasa canggung. Dan yang kusadari dia tidak seterbuka dulu. 

Johnny pergi kemarin. Melanjutkan rutinitasnya sebagai pekerja. Rencananya akan pulang lusa— atau bahkan lebih. Bedanya sekarang dia menjadi aktif memberiku kabar. Menanyakan aku sedang apa dan dimana. Lalu apakah aku makan dan tidur dengan baik. 


"Ten bilang akan ikut bersama kita" ujar Daisy sesudah kami keluar kelas. 

Aku mengangguk. Duduk di bangku depan kelas berniat menunggu Ten yang katanya akan sampai lima menit lagi. Sebelum berpapasan dengan Jaehyun yang baru saja keluar dengan setumpuk kertas di tangannya. Dia menatapku sebentar lalu mengangguk sopan ke arah Daisy. 

Aku tidak begitu memperhatikan lagi karena pandanganku beralih pada pria di ujung lorong yang melambaikan tangannya dengan cengiran lebar menghampiri kami.

"Makan dimana?" tanyanya. 

Daisy cemberut, "aku bosan dengan kantin"

"Di cafe?" tawar Ten. Karena sepertinya tidak ada tempat menarik lagi yang bisa dituju aku dan Daisy mengangguk. 








Sekarang sudah pukul sebelas siang dan tidak ada sinar matahari sama sekali. Cuacanya mendung. Suasana yang pas untuk menyesap secangkir coklat panas.

Sementara aku dan Daisy memilih tempat duduk Ten pergi memesan makanan. Daisy seperti biasanya selalu memilih di sudut ruangan berdekatan dengan gantungan dream catcher besar bewarna putih yang digantung di dinding dengan estetik. Katanya disinilah tempat dimana di dan Lucas resmi menjadi sepasang kekasih.

Aku menarik bangku untuk duduk sebelum suara bel membuatku menoleh dan spontan kuhentikan gerakanku. 

Jaehyun disana. Membuka pintu bersama beberapa dosen yang tidak kukenal. Dia memberiku senyum simpul yang singkat kemudian berjalan ke arah tempat pemesanan. 

Kudengar Daisy mendesah, "Dia semakin tampan saja" 

"Siapa yang semakin tampan?" Ten datang dengan nampan berisi tiga makanan dan tiga minuman. 

Daisy dengan dagunya menunjuk punggung Jaehyun. Ten manggut-manggut setelah menoleh sekilas. 

"Parasnya cocok untuk dibawa kemanapun. Tidak akan membuat malu" dia masih menatap Jaehyun dengan tatapan mendamba. Ten yang menyadarinya mengernyit heran. Kadang aku malu, bagaimana jika Jaehyun memergokinya pada saat seperti ini. Daisy perempuan dewasa. Harusnya sudah tahu mana yang pantas dan tidak pantas dilakukan.

Mulutku melenguh kasar. Kenapa juga aku sibuk memikirkan hal semacam ini. Biarlah, toh Daisy memang selalu saja seperti itu. Tapi kutegaskan jika hal ini berlaku bagi semua pria. Tidak hanya Jaehyun. 

"Memangnya Lucas membuatmu malu?"

"Sedikit"

"Kenapa begitu?"

Aku meraih pancake milikku. Menuangnya dengan sedikit madu lalu memotongnya dalam potongan kecil sebelum menyuapkannya ke dalam mulutku. Memakan ini lebih nikmat daripada ikut bergosip dengan Ten dan Daisy. 

Perempuan itu mendesis, "Kadang aku berpikir bahwa Lucas adalah anak berumur sepuluh tahun"

Ten terkikik di sela mengunyahnya. "Kemana saja enam bulan ini?"

Aku yang mendengarnya ikut tergelak. Memangnya siapa yang tidak mengenal Lucas? Hampir penghuni kampus tau. Dan itu karena hasil kekonyolan yang menjadi ciri khasnya. 

Daisy memutar bola mata. Kemudian beralih kepadaku dan melotot. "Eve, jangan terburu-buru"

"Aku tidak-" mulutku kesusahan menjawab karena penuh. Ini gara-gara stroberi yang kumakan bulat-bulat. 


***



"Kau sudah makan?"

"Baru saja makan"

"Jangan tidur terlalu larut"

"Kau juga"

"Jaehyun sudah di rumah?"

Aku melirik jam dinding. Pukul delapan lebih lima. "Sepertinya dia akan pulang sebentar lagi, entahlah. Diluar hujan deras. Apa disana juga?"

Jeda sebentar sebelum Johnny menjawab. Sepertinya kudengar dia selesai menutup jendela. "Ya, disini juga"

"Jangan lupa nyalakan penghangat ruangan, Johnny."

Setelah mengatakan itu kudengar suara ketukan dari pintu depan. Aku yang sedang duduk di ruang tengah menoleh. Mengernyit bingung. Aneh sekali. Jaehyun tidak mungkin mengetuk pintu karena dia membawa kunci sendiri. Lalu siapa? Tamu? Di suasana hujan deras seperti ini? apa mungkin Jaehyun kehilangan kuncinya?

Kumatikan telepon setelah berpamitan pada Johnny. bergegas ke arah pintu untuk membukanya. Tapi sebelum sempat meraih handle pintu ponsel yang masih berada di genggamanku bergetar. Ada nama Jaehyun disana.

"Ha—"

"Eve, kunci semua pintu dan jendela!"

Kujauhkan ponsel dari telingaku dan dengan bodohnya mengecek apa benar ini Jaehyun. 

"Kau dengar aku?"

"Jaehyun, ada apa?"

"Kunci saja pintunya dan jangan membukanya sebelum aku pulang"

"Kau bisa jelaskan—"

"Turuti saja ucapanku!" Jawabnya kesal.

Dahiku lagi-lagi mengernyit, "Tapi—"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku terdengar ketukan lagi di pintu. Jantungku mendadak berdetak cepat karena situasi ini. 

"Eve?"

"Seseorang sedang mengetuk pintu." menyebalkan karena suaraku terdengar seperti rengekan. 

Jaehyun mendesah gusar. Kudengar bunyi klakson setelahnya. "Dengarkan aku. Tetap tenang dan jangan panik. Pastikan kau sudah mengunci semua pintunya dan naiklah ke atas. Jangan kemana-mana sampai aku kembali. Aku akan sampai sebentar lagi"

"Sebenarnya—" mataku melotot karena melihat handle pintu yang bergerak. Seseorang di depan sana berusaha membukanya. Kakiku mendadak terasa lemas sekali. 

Tapi syukurlah otakku masih berfungsi dengan baik. Dengan cepat aku berjalan ke arah belakang. Mengunci pintu taman dalam dua putaran dengan tangan yang gemetar. Sebelum beralih ke dapur dan beringsut duduk disana. 

"Aku sudah mengunci pintu" ucapku lemas. 

Tapi semua itu terjadi begitu cepat. Aku tidak menyadari ketika sebuah suara langkah kaki yang terdengar terburu-buru mendekat. Kemudian disusul suara pecahan kaca yang seolah mematikan semua sarafku. Dan disitulah aku melihatnya. Seorang pria paruh baya dengan jaket hitam memandang sekeliling rumah sebelum menemukan keberadaanku. Air mengalir dari tubuhnya dan jatuh ke lantai. Di tangannya pisau besar bernoda merah terletak. 

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Badanku seolah mati rasa dengan jantung yang berdebar. Bahkan tanganku masih terpaku— semakin erat menggenggam ponsel yang ada di telinga. Dalam situasi itu hanya satu nama yang bisa kuingat. Sebelum melafalkannya dengan lirih. 

"Jaehyun... "










Tbc.

My Beloved J | NCT FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang