Lucky are those who find a true loyal friend in this mean world.
.
.
.
.Sebenarnya ini bukan momen yang begitu penting menurutku. Tapi berkat Daisy dan Mia yang bersusah payah mendandaniku, aku menghargai mereka. Mulutku tertawa ketika melirik Mia yang merengut di pojok ruangan. Hanya kalah perdebatan dengan Daisy mengenai siapa yang mengatur gaya rambutku. Tentu saja Daisy yang kompetitif tidak akan mau mengalah.
"Daisy, gaya itu kuno sekali. Kau pikir Eve mau berjalan di altar?"
Daisy mencebik, "Kau tidak tahu kata elegan?"
"Evelyn cantik dengan gaya apapun." sahut Ten di balik majalah fashion yang ia baca. Aku pribadi setuju dengan Daisy. Gaya braided updo sederhana ini terlihat pas di kepalaku. Lagipula aku hanya akan naik ke podium untuk menerima gelarku dan turun. Tidak se-spesial itu.
Ten menutup majalahnya, mendesah pelan dan menghampiri kami. Menatap dari atas hingga akhir sebelum mengacungkan jempolnya.
Rencananya aku akan membelikan mereka beberapa sweets setelah acara selesai. Karena cuaca sedang bersahabat meski angin lumayan kencang. Kami akan menggelar kain dan duduk di pinggir sungai. Menikmati jam makan siang sambil berbincang. Ah.. Sudah lama kami tidak melakukan itu.
***
Akhirnya aku menyelesaikan studiku. Meski bisa dibilang dalam situasi yang sulit, Aku bersyukur memiliki teman-teman yang selalu berada di sampingku. Mendukungku dalam segala hal. Dengan mereka, aku merasa cukup. Bahagia kudapat dari hal-hal sederhana semacam ini.Waktu menunjukkan pukul empat lebih limabelas. Tapi di kejauhan sana langit sudah tampak merah sementara pantatku sudah lumayan kebas karena duduk di atas tanah untuk waktu yang lama.
"Rencananya aku akan menghabiskan musim panas di rumah orangtua Lucas." Daisy mencomot sisa potongan red velvet di atas piring. Aku mendongak memperhatikan burung-burung yang berterbangan melintasi jembatan. Sebenarnya kemana tujuan mereka? Aku ragu mereka punya rumah. Mungkin hanya terdampar di atas batu-batu besar di sungai.
"Aku menghabiskan musim panas bersama suamiku. Kurasa sudah saatnya kita memikirkan tentang pelengkap suasana rumah." sahut Mia tersenyum dan menunduk.
Daisy bertepuk tangan antusias, "Wah! Apa ini? Akan ada Mia kecil? Menurutmu dia akan mirip denganmu atau Yuta?" Daisy terkikik geli melempar tatapan nakal ke arah Ten. "Semoga saja dia mirip Yuta."
Perkataan itu dibalas pukulan di lengan Daisy, "Memangnya apa yang salah denganku." ujar Mia kesal.
Tatapanku beralih pada Daisy yang tertawa renyah. Semua terdengar bahagia, dan aku ikut bahagia untuk itu. Membicarakan musim panas, Aku tidak tahu akan kemana dan melakukan apa. Aku belum memikirkannya.
Musim panas tahun lalu aku sendirian sebab Johnny yang sibuk di luar kota. Tapi berkat Jaehyun, musim panas jadi menarik semenjak dia mengajakku menginap dan memancing di sungai waktu itu. Atau hanya sekedar minum lemonade di pinggir jalan.
Perihal Jaehyun, beberapa hari lalu aku melihatnya meski dia tidak mengetahui keberadaanku. Situasinya cukup rumit dan itu membuatku enggan menyapanya. Tapi aku sadar lambat laun, aku pasti akan bertemu dengannya juga.
Daisy berhenti membahas mengenai Jaehyun saat aku menceritakan apa yang terjadi malam itu. Menurutnya semua keputusan kini berada di tanganku. Karena tidak menampik juga.. Aku tahu apa yang dirasakan Jaehyun.
Suara pukulan Ten ke alas tanah membuat pikiranku teralih. Pria itu terlihat sedang mencari sesuatu.
"Dimana kunci mobilku?" tanyanya.
Daisy dengan malas melempar benda itu. "Kau sendiri yang meletakkannya disini."
"Eve, apa rencanamu setelah ini?" sahut Mia. Pertanyaan itu dibuat diantara kesibukannya bersama pudding dengan fla. Memotongnya dengan kecil sebelum memasukkannya ke dalam mulut. Aku mengernyit, menurutku fla itu terlalu manis.
"Kau mengambil tawaran Mr Addison?" Daisy menyahut. Menenggelamkan kepalanya di bahu Ten.
Aku menerka-nerka apa tepatnya yang dikatakan Mr Addison selaku dosen bimbinganku minggu lalu. Dia menawariku sebuah pekerjaan dengan posisi lumayan di sebuah kantor di luar kota. Bodoh jika aku menolak. Tapi banyak sekali pertimbangan yang harus kupikirkan. Seperti... Aku tidak ingin meninggalkan ibu dan Jeno, berada di luar kota akan membuatku jarang pulang dan juga hal seperti, urusanku dan Johnny yang belum selesai. Sepertinya akan lebih baik jika cepat diselesaikan. Karena Johnny tidak akan berkata seperti itu tanpa alasan. Ada sesuatu yang mengganggunya.
"Kurasa ibuku butuh bantuan di toko kue. Jeno sedikit sibuk dengan pendaftaran kuliah." aku memutar toples selai nanas dan mengambil isinya dengan sendok. Mengoleskannya di atas roti gandum.
"Kuharap kau tidak menolak tawaran itu. Gajinya dua kali lipat gaji ayahku. Yang benar saja." ucap Daisy dalam mulut belepotan.
Ten mendorong dahi Daisy dengan telunjuknya, "Pikirkan revisimu."
Tidak terima dengan nasihat itu dia membusungkan dadanya, "Kau tunggu saja ya. Dalam dua minggu aku akan menyelesaikan semuanya."
Aku meringis. Sedikit tidak yakin mengingat tiga hari yang lalu perempuan itu masih menangisi jurnal-jurnal yang membuatnya pusing. Tapi kuharap dia sungguh-sungguh dalam mengucapkan itu. Selesai dalam dua minggu.
"Tapi kau tidak perlu terburu-buru lulus juga. Toh cita-cita muliamu yang ingin menikahi si tiang itu tidak memerlukan gelar kan?"
Daisy mendorong Ten membuat kita semua tertawa.
Sore yang hangat, dibawah langit yang hampir gelap. Dihamparan rumput di tepi sungai. Kuharap kita selalu bisa seperti ini. Melalui hari yang melelahkan dengan cerita dan tawa ringan. Dan pastinya roti selai nanas. Sampai ketika aku sadar semuanya mendadak senyap. Ketika raut wajah mereka tiba-tiba diam dan menatap hal yang sama di belakangku.
Aku bingung dan cepat-cepat memutar tubuhku. Dan disanalah dia. Seseorang yang paling ingin kuhindari akhir-akhir ini. Berdiri dengan wajah bingung dan gestur kaku.
.
.
.
Tbc.
An.Finishing ini sambil makan makan roti selai nanas:) have a great dinner everyone!!! 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved J | NCT Fanfiction
Fiksi Penggemar(15+) "about emptiness to complement each other. about time being used in vain" ---------------------------