Di atas sofa ruang tengah aku dan Jaehyun sama-sama diam. Ada sisi dalam diriku menyuruh agar aku menetap meski sedari tadi tidak ada yang kami lakukan selain hanya diam. Melirik Jaehyun yang menatap kosong layar tv rasanya— campur aduk.
"maaf merepotkan kalian" dia mulai membuka suara.
Aku menoleh. Mengangguk kikuk "iya"
Kupukul dahiku pelan sesaat kemudian. merutuki jawabanku sendiri. Dengan berkata begitu aku seakan membenarkan bahwa dia memang merepotokan.
Jaehyun tertawa. Sorot matanya sendu.
"kau sangat ekspresif" tukasnya.
"apa itu pujian?"
Dia tersenyum, "anggap saja seperti itu"
Aku melirik gelas susu di depannya. Memperhatikan wajah Jaehyun yang memang tak ada niatan sama sekali untuk makan. Dia terlelihat lesu.
"kau benar-benar tidak lapar?"
Dia menatapku sekilas. "aku pusing"
"kalau begitu makanlah. Kemudian tidur" kutarik piring yang ada di tengah-tengah meja ke arahnya. "aku akan mencari obat."
Sebelumnya aku tidak pernah mengerti tentang masalah keluarga. Aku dan keluargaku baik-baik saja. Setidaknya begitu hingga usiaku tujuh belas tahun.
Saat suatu hari ayah berkata ingin menikah lagi. Mama marah tentu saja. Dan itu sangat jarang terjadi.
Semenjak itu suasana keluargaku menjadi sangat tidak kondusif. kesakitan itu berjalan terus menerus hingga mencapai puncaknya ketika mereka memilih berpisah. Bukannya memperbaiki keadaan, Aku harus dihadapkan dengan pilihan yang mustahil untuk aku memilihnya.
Tinggal bersama ayah atau mama. Tak ada yang ingin kukatakan ketika mereka mendesakku untuk cepat membuat pilihan. Aku hanya diam. Dan kediamanku dianggap enggan oleh ayah.
Jadi aku tetap berakhir di rumah. Bersama mama. Merelakan ayah yang membawa adikku pergi.
Sebenarnya aku sukar membicarakan ini. Tahun-tahun dimana aku sangat kacau. Aku hampir tidak pernah pulang ke rumah. Kuanggap aksiku itu bisa meluluhkan mereka.
tidak juga membaik, mama malah marah-marah saat menemukanku. Sifatnya memang agak berubah semenjak itu.
Itu menyakitkan— Maksudku permasalahan keluarga. Setelah hari itu aku jadi agak pendiam. Aku malas pergi kemanapun atau berintetaksi dengan siapapun. Bahkan keluargaku sendiri. Beruntung ada orang-orang seperti Ten, Daisy dan juga Mia. Mereka banyak membantu.
setelah adanya hari itu aku menyadari sesuatu. Tidak ada perkara baik yang dihasilkan oleh perpisahan selain kesakitan. Mau itu di salah satu pihak ataupun keduanya. Dan kuharap aku tidak mengulangi hal yang sama.
menatap sendiri pada Nora yang berteriak pagi tadi, seakan menimbulkan luka lama.
Bayangan ketika orang tuaku saling berteriak dan menghancurkan barang apapun yang dilihatnya sangat membuatku takut.
"aku tidak tahu dia akan senekat ini" ucap Jaehyun ketika aku meletakkan setablet obat dan segelas air putih di atas meja.
"minumlah" aku menyodorkan tablet untuk dia minum. Namun dia masih enggan menyentuhnya. Pandangannya lurus kebawah.
Napasnya mendesah berat. "dia berniat pergi hari itu meski aku sudah melarangnya. Dia bilang ada pekerjaan yang harus diselesaikan. satu bulan setelahnya dia pulang. Dan pria itu mengantarnya. Aku benar-benar tidak melihatnya sebulan penuh."
Dan begitulah cerita tentang awal mula perpisahan itu mengalir begitu saja. Aku tidak mengira kejadiannya bisa serumit itu.
Tentang hubungan mereka yang memang sejak lama sudah tidak baik. Tentang kebiasaan Nora yang selalu pulang malam. Dan kebiasaan Jaehyun yang memang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved J | NCT Fanfiction
Fanfiction(15+) "about emptiness to complement each other. about time being used in vain" ---------------------------