"Maaf." katanya dengan wajah bersalah. Aku menggeleng. Tidak perlu mengatakan itu.
Sementara aku membereskan pecahan gelas di bawah, Johnny terus melihatku. Aku sebisa mungkin membuatnya pergi dari perasaan yang mengganggunya. Menunjukkan wajah konyol yang membuatnya tertawa pelan.
Ayolah, ini hanya pecahan gelas. Bukan runtuhan tembok yang akan membuat punggungku mati rasa ketika membersihkannya. Kecuali— ini memang sudah beberapa kali dalam minggu ini. Tapi tetap saja, tak perlu dibesar-besarkan.
Ekor mataku menangkap mama yang tengah bergeming di pojok ruangan dengan menutup mulutnya. Dia mengerjap ketika kita bersitatap. Pandangan yang juga sudah biasa kuterima. Berjalan menghiraukannya, aku membuang bekas pecahan ke dalam tong sampag di ujung ruangan.
Reaksinya tak bisa kusebut berlebihan. Dia bebas untuk mengekspresikan apapun. Meski kadang sesuatu yang ia tunjukkan menambah kalut dalam diriku. Dengan pikiran-pikiran buruk yang mau tidak mau terus masuk kedalam pikiranku. Dan seperti sebelumnya, hanya aku yang bisa mengontrol diriku sendiri. Aku menahan itu semua. Mencoba kuat dengan situasi Johnny yang rapuh. Berharap agar kuat yang kubuat bisa menular padanya.
"Kau ingin sesuatu?" Tanyaku pelan. Dia menggeleng. Bertepatan dengan itu kudengar pintu ditutup pertanda mama telah keluar dari ruangan.
Johnny memejamkan mata. Terpejam yang lama sampai kukira ia ingin tidur. Jariku membuat pola garis disana. Mengusapnya pelan.
"Aku ingin kau yang memotong rambutku." Ujarnya di tengah-tengah pejaman mata itu.
Aku mengulum bibir sebentar. Mengangguk dalam diam meski dia tidak melihatku. "Tentu saja." Balasku.
"Aku senang kau disini." Ucapnya lagi.
Rasanya sulit untuk memberikan respon terbaikku. Yang kulakukan hanya menatapnya. Mendengar deru napasnya yang sangat pelan. Beradu dengan denting jarum jam dan kesibukan di luaran sana.
Aku menangkap kalimat Johnny tidak sesederhana itu. Ada maksud tersendiri yang sebenarnya ingin ia ucapkan. Dan apapun itu, dia tidak perlu mengkhawatirkan tentang keberadaanku. Bukan sebuah paksaan untuk aku berada disini. Bukan juga sebuah kewajiban yang harus kupenuhi.
"Aku senang ada disini."
Dia perlahan membuka matanya. Bola mata basah yang kuharap aku tidak perlu melihatnya. "Aku ingin kau menemaniku lebih lama lagi."
"Aku akan selalu menemanimu."
Sebuah untaian penenang yang meski aku sendiri yakin dia tidak membutuhkan itu. Tapi aku ingin dia tahu, kehadiranku disini adalah untuk membuktikannya.
Dia diam lama. Mengalihkan pandangan keluar. Berfokus pada entah apa yang ia tatap. Sampai suara kecilnya kembali muncul,"Bagaimana jika semuanya tidak berhasil?" Kurasakan genggamannya mengerat, "Operasinya."
Kepalaku menggeleng pelan, "Jangan berkata seperti itu."
Johnny menyentuh pipiku dengan jempolnya. "Kau membaca tentang stoik," Dia menyeringai. "Bagaimana solusi dari situasi seperti ini? Bukankah kita harus memikirkan yang terburuk? Agar tidak terlalu berekspetasi tinggi?"
Kami sama-sama tertawa pelan. Aku mengendikkan bahu, "Yah, mereka bilang kita terlalu banyak khawatir."
Aku menggenggam tangannya erat-erat. Menatapnya dalam keyakinan penuh. Berharap perasaanku bisa tersalurkan. "Semua orang memiliki harapan. Begitupun kita. Tidak perlu khawatir tentang kemungkinan buruk itu, Johnny."
Johnny sedang berada dalam masa tersulitnya. Perasaan ini akan hadir setiap waktu. Peranku adalah untuk mendampinginya. Membuatnya yakin bahwa setelah ini selesai, setelah dia sembuh... kita akan kembali seperti dulu. Kita akan baik-baik saja. Memulai hidup baru seperti yang pernah kusebutkan.
Bukankah selalu ada pelangi seusai badai?
"Tuhan yang menentukan seberapa kesempatan yang kita punya, Johnny. Tugas kita adalah berusaha. Aku ingin memperbaiki semuanya. Hanya kau dan aku. Di rumah kita."
Dia membeku seperkian detik, meski aku yakin dia mendengar penuh ucapanku. Tapi dia tidak mengucap apapun. Dan dalam gerakan singkat bibirku sudah mendarat di dahinya.
***
Terhitung seminggu lebih aku berada di rumah sakit. Dikelilingi beberapa orang asing yang sedikitnya sudah sangat kuhapal karena sering berpapasan. Menghirup aroma khas dari bangunan ini yang kadang membuatku mendesah berat, karena meski baunya menyegarkan, aku yakin semua orang berusaha keluar dari tempat ini— kecuali pekerjanya.
Pagi ini aku meninggalkan Johnny setelah aku memastikan dia menghabiskan sarapannya. Dan juga beberapa dokter yang melakukan kunjungan rutin. Dia sendirian. Sedang menonton film dan melakukan skype dengan beberapa teman kantornya. Sementara mama dan papa mengatakan akan mampir siang ini.
Aku membutuhkan beberapa pakaian untuk Johnny dan aku. Sebagai bahan persediaan yang akan kami perlukan dalam beberapa hari kedepan— jika ada penundaan operasi. Tapi sepertinya tidak mungkin. Papa sudah mengurus semuanya.
Jadwalnya empat hari lagi. Yang artinya aku harus segera memotong rambut Johnny— sesuai permintaannya. Bibirku membentuk seulas senyum. Sejak semalam aku berkutat dengan channel youtube yang menyajikan tutorial memotong rambut meski pada akhirnya Johnny bilang, "Eve, aku sedang ingin operasi, bukan foto studio. Tidak perlu gaya rambut saat operasi." Tapi tetap saja, ini perdana aku melakukan potong rambut terhadap seseorang.
Maka dari itu aku juga memerlukan perabotan dan hal lainnya. Tidak lupa snack dan buah yang sangat diandalkan di dalam kamar.
Mobil sudah terparkir rapi di pinggir swalayan. Menutup pintu mobil, aku keluar dan merasakan udara begitu segar hari ini. Tapi swalayan akan menjadi tujuan terakhirku untuk hari ini. Sementara aku akan melakukan me-time dengan pergi ke salon dan makan croffle di tepi jalanan.
Perlu digarisbawahi ini adalah ide Johnny. Dia bersikeras memaksaku agar keluar dan untuk sejenak tidak memandang tembok putih, hospital bed atau semacamnya. Dia bukan tipe penggerutu jika aku menolak keinginannya. Meski kurasa aku juga membutuhkan sedikit ruang untuk... yah mengurangi kecemasanku.
Pagi-pagi tadi dia menegurku, "Kau terlalu lama disini. Aku yakin kau bosan dan ingin pergi ke suatu tempat." Ucapnya terkesan sok tahu.
"Memangnya aku sedang ingin kemana?" Balasku. Sebisa mungkin menyembunyikan nada geli dari sana.
Dia mengedikkan bahu. Selagi tetap fokus berbalas pesan dalam ponselnya. "Mungkin kau ingin mengubah gaya rambut? Pergi ke toko bunga? Makan eskrim?"
Aku berlagak tersinggung, "Jadi rambutku jelek?" Meski seratus persen yakin itu tidak benar. Daisy sering memuji rambutku. Tapi aku ingin menggodanya saja.
Aku senang dia menyebutkan memakan eskrim. Ada satu tempat yang dulu sering kami kunjungi ketika dia menjemputku pulang kuliah. Cafe kecil di tikungan jalan dengan gaya retro yang menghadap jalanan. Es krim vanilla dan croffle hangat yang biasa kupesan. Karena sering kesana, aku bahkan mengingat semua daftar menu dan harganya. Dan beberapa langkah lagi, aku mencapai tempat itu.
Memasuki ruangan hangat dengan aroma yang masih sama dengan yang kuingat. Manis. Aku terus melangkah hingga berhadapan dengan kasir yang sudah berbeda dari terakhir kali aku kemari. Dan sebelum sempat perempuan dengan apron hitam itu bertanya, aku menyebut pesananku dengan lancar.
Tiga puluh menit kemudian aku sudah menandaskan semuanya. Menyisakan garnish yang kuletakkan di tepian piring.
Tidak ada yang harus menahanku lama disini. Setelah pesanan Johnny siap aku langsung pergi. Menenteng satu box croffle untuk suamiku karena— dia akan menyukainya.
Melangkah ke salon yang jaraknya hanya tiga bangunan sembari memikirkan model rambut apa yang baiknya kupilih.
.
.
.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved J | NCT Fanfiction
Fanfic(15+) "about emptiness to complement each other. about time being used in vain" ---------------------------