[J] dua puluh lima

147 31 5
                                    

"Jeno akan mengantarmu." Ibu meletakkan potongan daging tetakhir di piring. Menyerbetkan tangannya di celemek usang yang ditalikan ke badannya. Aku yakin celemek itu sudah ia gunakan sebulan dan belum diganti.

Udara sedang hangat. Kupikir akan turun hujan karena tadi malam sangat dingin. Aku bahkan memarahi Jeno karena ia tidak mau menaikkan suhu ac.

Perlahan hidungku mencium aroma kopi. Jeno sedang mengaduk cairan itu di dekat kulkas. Minuman selamat pagi yang biasanya kubuatkan untuk seseorang.

Makanan sudah tertata rapi di atas meja. Ibu sengaja membuatkan makanan kesukaanku agar aku tidak terus terlihat seperti zombie berjalan. Dengan menurunnya tingkat napsu makanku, berdampak pada penampilanku yang terlihat kurus kering dan pucat.

Aku menggeleng sembari mengambil satu suapan, "Kurasa aku bisa sendiri." jawabku. Dan sebelum ibu bisa menolak, aku menatapnya dengan yakin bahwa aku akan baik-baik saja, sampai dia mengangguk dan meletakkan potongan daging di atas piringku.

Serius, aku baru menyadari perasaan ketika kau malas beraktivitas, malas makan, malas segalanya hanya karena ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Biasanya aku akan mengatakan Daisy terlalu drama queen ketika dia dalam kondisi seperti itu. Tapi kini aku tahu.

Dua jam setelahnya pukul sepuluh yang masih terbilang pagi, Daisy menemuiku. Meski aku memilih tidak ingin berkomunikasi dengan siapapun, Daisy tetap setia menanyakan kabarku kepada ibu.

Pagi ini aku memintanya mengantarku ke rumah Johnny. Dia tiba tepat waktu. Cepat-cepat memegang lenganku begitu dia masuk. Memastikan dengan mata lebar dan mulut cerewetnya bahwa apakah aku baik-baik saja.

"Ya tuhan, kau nyaris tidak menghubungiku selama seminggu!"

"Enam hari." koreksiku.

Aku menceritakan semua kejadian malam itu. Termasuk ketika aku meninggalkan Johnny sendirian. Kabarnya, Jaehyun juga keluar dari rumah itu. Baguslah, aku tidak akan menemui kedua pria itu sekaligus.

"Mungkin kau pikir kau mengenalnya. Tapi ternyata kau salah."

Kepalaku mengangguk, "Ya, aku juga memikirkan itu. Karna itu aku ada disini."

Daisy menoleh, "Bukan seperti itu, Eve. Maksudku, kau bahkan belum mendengar penjelasan apapun dari mulutnya. Tapi kau seolah sudah tahu semua."

Aku tersenyum. Daisy hanya tidak tahu. Bagaimana caranya Johnny menjelaskannya padaku? Pria dingin itu tidak akan mampu. Kalaupun dia mau, dia sudah meberitahuku sejak lama. Alih-alih harus diam dalam situasi yang sama. Entahlah, aku merasa digantung dan itu membuatku tidak nyaman. Aku sendiri tidak bisa mengatakan aku yakin seratus persen akan keputusanku sendiri. Tapi setelah memikirkannya, mungkin Johnny juga meninginkan ini. Dia hanya bingung akan mengatakannya. Kediamannya membuatku berspekulasi seperti itu.

Ketika turun dari mobil meninggalkan Daisy sendirian untuk masuk ke pekarangan rumah, aku sempat ragu. Kakiku nyaris tidak mau bergerak. Haruskan aku mengetuk pintu atau langsung membukanya. Apa Johnny ada di dalam? Tapi ini hari selasa pagi. Dia pasti sedang di kantor. Jadi kuputuskan masuk.





Suasana tidak berbeda semenjak aku meninggalkan tempat ini. Masih sangat rapi dan wangi. Sepertinya Johnny bisa mengurus semuanya sendiri. Dia pria mandiri.

Beranjak menaiki tangga kudengar sesuatu terjatuh dari dapur. Aku langsung berbalik dan menuju kesana. Berjalan dalam keyakinan bahwa pria itu tidak di kantor. Tapi di rumah. Kenapa?

Dan pertanyaanku segera terjawab ketika aku melihat di sudut ruangan yang tertutupi pantry. Pria itu berlutut di sana dengan kaos abu dan rambut berantakan. Kurasa dia ingin membuat teh karena butiran berwarna coklat gelap itu berceceran di lantai. Panci berisi air panas kumatikan sebelum mendatanginya. Dia sempat terkejut ketika meyadari kehadiranku sebelum sebisa mungkin mengontrol ekspresinya seperti biasa dan mencoba berdiri.

Dia terlihat kurang sehat. Bibirnya pucat dengan lingkaran mata yang sedikit gelap.

"Kau baik-baik saja?" aku merutuki diriku sendiri setelah bertanya seperti itu. Sudah jelas dia sedang sakit.

Dia beralih berjalan ke pantry. Aku melirikya sekilas. Sudah lama sejak terakhir kali aku melihat Johnny dengan pakaian seperti itu daripada setelan jas nya yang biasa kulihat. Dia duduk disana. Sementara aku menuang air panas itu kedalam cangkir tanpa gula sebelum membawanya.

"Kau sakit?" ulangku.

Dia melirik sebentar dan menggeleng. Mengambil cangkir dan meniup-niup pelan sebelum menyesapnya.

Aku bingung harus berkata apa lagi. Beberapa jam lalu, rasanya datang kesini mengambil semua barangku adalah pilihan bagus. Itu sebelum aku tahu Johnny ada disini. Sementara itu, kugerakkan jariku untuk mengirim pesan pada Daisy agar tidak menungguku di depan. Sepertinya aku butuh bicara dengan Johnny.


"Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu." terdengar buruk aku tahu, karena tidak memedulikan kondisinya yang kurang sehat. Tapi lebih cepat lebih baik kan? Dia tidak berekspresi dan hanya menatap kosong cangkir teh itu.

"Ya, Eve." jawabnya serak. Syukurlah, dia masih bisa berbicara.

"Aku minta maaf untuk ucapanku beberapa hari lalu." ujarku tulus. Butuh usaha keras untuk mengesampingkan keegoisanku.

"Aku mengerti."





Dua kata itu. Hanya itu. Aku memutar bola mata. Kupikir dia akan balik meminta maaf. Tapi sepertinya itu hanya ada dalam mimpiku. Berdiri hingga menimbulkan bunyi kursi berderit aku berkata, "Kau tahu? Aku kesini ingin mengambil barang-barangku."

"Perlu bantuanku?" tawarnya. Dia benar-benar berhasil membuat emosiku mencapai batasnya. Dia membiarkanku mengambil barang? Dia menyetujui keputusanku untuk hidup terpisah?

"Kauㅡ" tenggorokanku tercekat. Sesuatu terasa menusuk disana. "Kau benar-benar menginginkan ini?"

Dia mendongak dengan gerakan pelan kemudian berdiri. Mensejajariku. "Aku tidak ingin menahan sesuatu yang ingin pergi."

"Kau memang tidak pernah mempertahankanku!"

"Aku berusaha, Eve." ucapnya pelan nyaris seperti bisikan. Ada nada lelah disana. Seolah memang dia pernah berjuang untukku. Hah! Bahkan yang dia lakukan hanya kerja, kerja dan kerja.

Meski tidak sering bicara, aku tahu ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Dan aku demi tuhan tidak akan tergesa-gesa pergi hanya untuk tahu apa yang berusaha ia katakan. Aku mencoba menunggu. Menanti semua yang ingin dia utarakan. Meski menit demi menit hanya kami habiskan dengan saling diam satu sama lain.

"Lihat? Kau bahkan tidak bisa menjelaskan apapun padaku." menyebalkannya, suaraku mulai terdengar parau. "Aku bahkan heran kenapa kita bertahan sejauh ini. Kau tidak pernah mau berbagi denganku. Tidak pernah mau mengatakan masalahmu. Aku merasa seperti tinggal dengan orang asing."

"Maafkan aku."

"Untuk tidak pernah jujur padaku?"

Dia diam. Sebelum aku mulai menangis aku berusaha berbalik badan menuju kamar, tapi dia berhasil merengkuhku. Aku sempurna terdiam dalam dekapannya.

Bahunya tidak bergetar. Tidak terisak. Padahal kuharap dia melakukan itu.








"Aku melepasmu, Eve."

Bagai disambar petir, kalimat itu meluncur dari mulut Johnny. Mengerjap berkali-kali. Merasakan sesuatu mulai menyakiti tenggorokanku. Akhirnya ini benar terjadi. Suatu kesalahan karena membayangkan dia menahanku atau mungkin setidaknya meminta maaf.

Mengecup dahiku singkat, dia membenamkan wajah di antara leherku. "Aku tidak ingin menahanmu. Maaf untuk semua waktu berat yang kau lalui. Maaf untuk tidak pernah menemanimu dengan utuh. Aku ingin kau mencari bahagiamu. Aku melepasmu, Eve."

"Kau menginginkan ini?" bisikku.


Tidak ada jawaban. Hanya bulir air mataku yang mulai menetes.





.
.
.
Tbc.





An.
Koreksi aku jika ada kesalahan yaaa♥♥♥

My Beloved J | NCT FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang