Gavin menengok ke jok belakang. Ia mendapati Delvin yang sudah terlelap setelah menghabiskan es krimnya.
Saat Gavin hendak kembali fokus dengan ponselnya ia melihat Wendy yang berjongkok sendirian dengan jarak yang lumayan jauh dari parkir mobilnya.
Tatapan Wendy kosong. Ia hanya berjongkok sambil memeluk kakinya dan tangan kirinya memegang ponselnya dengan erat.
Buru-buru Gavin turun dari mobil tanpa mematikan mesinnya agar Delvin tidak kepanasan di dalam.
Gavin berlari mendekati Wendy. Namun, Wendy sama sekali tidak bergerak. Ia masih diposisi yang sama. Bahkan ia membiarkan rambut panjangnya yang terurai terbang dan hampir menutupi wajahnya.
Gavin ikut berjongkok di hadapan Wendy tanpa berbicara apapun. Hingga 5 menit kemudian Wendy membuka pembicaraan.
"Aku tadinya gak berniat marah ke dia. Tapi, ketika dia tanya 'kamu masih marah sama aku' seketika semuanya bikin aku muak sama dia."
Gavin hanya diam. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata apapun.
"Aku bener-bener marah. Bahkan, aku keluarin semua kata-kata yang gak pernah mau aku ucapin ke dia. Aku juga kasar ke dia, Vin. Aku harus gimana?"
Wendy mengangkat kepalanya. Kemudian secara perlahan Gavin menyingkirkan rambut hitam pekat Wendy dari wajah gadis yang raut wajahnya tampak tak tau harus melakukan apa lagi.
"Bulan depan aku UAS. Habis aku selesai UAS kita pastiin semuanya dan dateng ke Wellington, gimana?"
"Aku terlalu takut."
"Kenapa?"
"Aku takut kalau semua pikiran burukku tentang dia bener-bener terjadi di sana."
"But, if you don't, you'll always be like this in the future."
"Aku butuh waktu buat mikirin itu."
"Okay. Ayo, pulang." Gavin berdiri dari sikap jongkoknya. Kemudian mengulurkan tangannya pada Wendy.
Wendy menatap tangan Gavin. Lalu tak lama membalas uluran tangannya dan kemudian berdiri. Setelah Wendy berdiri Gavin merapikan rambut Wendy yang berantakan dan kemudian sedikit membelainya lembut.
"Kalau Kak Wendy udah simpen perasaan marah itu terlalu lama ya jadinya gini. Meledak. Nggak salah kok."
"Tapi, aku kayaknya terlalu kasar ke dia."
"Loh, kan emang Kak Wendy orangnya kasar suka ngamok. Abangnya sendiri aja kena amuk ya kan."
"Aihh, bukan waktunya bercanda, Vin."
"Hehe, iya iya. Walopun gitu yang penting semua perasaan yang Kak Wendy rasain udah keluar semua, kan?"
"Tapi, ada perasaan nyesel marah-marah ke dia."
Gavin menggeleng cepat. "Gak boleh nyesel. Semua udah terjadi. Sekarang tinggal berharap semoga pacar Kak Wendy sadar dan ngerti sama Kak Wendy, oke?"
Wendy mengangguk lemah. Ia menunduk karena sedikit ada rasa penyesalan dalam dirinya. Gavin yang melihatnya langsung mengangkat dagu Wendy agar bisa melihatnya.
"Ajakin temen-temen hangout bareng. Biar gak sedih mulu. Nyalon kek, shopping kek, SPA, liburan, ato semacamnya yang bikin Kak Wendy happy. Okei?"
"Nunggu mama papa Delvin pulang dulu"
"Gak usah. Delvin biar sama aku."
"Kuliah kamu gimana?"
"Kan besok aku kuliah pagi doang. Gas in sana. Kak Lisa pasti bisa temenin"