Wellington, New Zealand
23.19Lay menekan bel rumah yang tak asing baginya. Ia menunggu sejenak bersama kopernya.
Tak lama pintu terbuka, menampilkan gadis cantik dengan mata sembabnya.
"Kak Lay kok udah pu..."
Belum sampai Lia menyelesaikan pertanyaannya, Lay sudah memeluk dirinya terlebih dahulu.
"A-aku gapapa kok"
"Ga ada orang yang ketika ditinggal sama orang tersayangnya dia baik baik aja."
Masih di pelukan Lay, Lia menangis. Kemudian membalas pelukan Lay dengan erat.
"Aku ga nyangka ayah bakal pergi secepat ini, Kak. Aku bahkan belom bisa buat ayah bangga ke aku. Aku belom kasih apa-apa ke ayah. Aku belom buat ayah bahagia."
"Ssstt, gapapa kok. Ayah pasti ngerti," ucap Lay meneangkan Lia dengan mengelus kepalanya dari belakang sambil tetap memeluk gadis itu.
"Aku sekarang sendiri, gak punya siapa siapa. Aku bingung harus gimana. Aku..."
"Ada aku. Kamu gak usah khawatir."
"Tapi, kan tahun ini Kak Lay lulus."
"Aku gak akan biarin kamu sendirian."
**
09.47 WIB
"ASTAGAA, DELVIN GAVIN!! Ini kenapa lantainya bisa basah semua sih??" seru Wendy saat melihat lantai apertemennya basah.
"DELVIN HABIS MANDI LARI LARI."
"OM GAVIN YANG JAHIL AUNTY!!"
Wendy menepuk jidatnya ketika mendengar pembelaan kedua laki laki itu.
Wendy membuka kamar yang Delvin tempati, melihat Gavin yang memakai bathrobe sedang mengeringkan rambut dan badan Delvin.
"Kamu mandi, Vin?"
"Iya," jawab keduanya kompak.
"Aunty tanya sama Om Gavin."
"Iya, biar seger."
"Emang bawa baju?"
"Enggak, sih."
"Bajunya abang ada beberapa yang di sini. Besar badan kalian hampir sama, kan?"
"Gak usah, pake yang tadi aja gapapa kok. Entar sore aku pulang ambil baju."
"Masih mau di sini?"
"Iya, hehe. Soalnya, rame ada Delvin sama Kak Wendy."
"Pake baju abang aja. Pulangnya besok kalo emang mau pulang."
"Nanti malem Om Gavin bobok sama Delvin aja ya," sahut Delvin.
"Gak mau kalo kamu ngompol lagi."
"Janji gak ngompol."
"Oke, jagoan. Nanti malem kita tidur bareng."
"Oke!!"
Wendy tersenyum melihat interaksi Gavin dan Delvin yang sudah sangat akrab. Padahal Gavin hanya temannya, tapi mereka bisa sangat dekat. Wendy merasa bersyukur karena itu.
"Aku ambil baju abang dulu ya"
"Iya"
**
Wellington, New Zealand
15.50Seharian ini Lay berada di rumah Lia. Ia menemani Lia yang lebih banyak diam di kamarnya.
"Lia?? Do you want to eat pizza?"
"No"
"Hamburger?"
"No"
"Nasi goreng masakan ku?"
"Nggak ya nggak!"
Lay menghela napasnya berat, ini sudah ketujuh kalinya ia menanyakan itu dalam sehari. Tetapi, jawaban Lia tetap sama.
Lay berinisiatif untuk tetap memasak. Selain, karena ia lapar, ia yakin sebenarnya Lia juga lapar hanya saja tidak memiliki napsu untuk memasukan makanan ke dalam mulutnya.
Lay mulai menyiapkan bahan untuk memasak nasi gorengnya. Ketika ia mulai menumis bahannya dan menimbulkan bau harum, Lia yang sedang merebahkan dirinya di kamar sambil mendengarkan sebuah lagu mulai penasaran dan merasa lapar.
Lia mengintip dari balik pintunya, ia melihat Lay sedang sibuk dengan peralatan dapur.
"Gak pake celemek, gak takut bajunya kotor apa? Warna bajunya putih lagi," monolog Lia.
Lay berbalik, ia melihat Lia yang sedang mengintip dari kamar. Lay tersenyum pada Lia.
Ih, pake balik badan ngapa si?? Kan jadi ketahuan.
"Are you hungry?"
"Nope!"
Lia menutup pintunya dan kembali merebahkan dirinya di atas kasur. Ia memandangi langit langit kamarnya.
"Orang sebaik dan sekeren Kak Lay, kayaknya gak mungkin deh kalo gak punya pacar. Aku harus tanya ke dia, sih."
Ketika sedang asik bermonolog, perut Lia bersuara. Membuatnya menghela napasnya.
"Aku belom makan lagi habis pemakaman ayah kemarin. Keluar aja kali, ya?"
Lia langsung bergegas beranjak dari tempat tidurnya. Ia kembali mengintip dari balik pintu kamar. Namun, kali ini pintunya terbuka lebih lebar.
"Kenapa?" tanya Lay yang menyadari Lia kembali mengintip.
"I'm hungry."
Lay terkekeh mendengar jawaban Lia. Kemudian ia berinisiatif untuk menjahilinya.
"Tapi, nasi gorengnya habis."
"Seriously?? Secepet itu Kak Lay makan??" Lia yang terkejut dengan ucapan Lay langsung keluar dari kamarnya dan mendekat ke arah meja makan.
Namun, ia masih melihat nasi goreng hangat yang Lay buat lengkap dengan telur mata sapinya.
"Buruan makan," ucap Lay sambil duduk dan mulai mengangkat sendok dan garpunya.
"Ayah dulu sering buatin aku nasi goreng. Pake telur mata sapi juga, tapi kata ayah biar gak bosen telur mata sapi mulu jadi kadang diganti omelet."
Mata Lia tampak berkaca-kaca ketika sedang berucap, membuat Lay meletakkan kembali alat makannya di atas piring.
"Lia?"
"Ya?"
"Kamu gak mau ikut bundamu di Indonesia."
"Aku gak mau satu rumah sama penghianat. Di pemakaman ayah aja dia gak dateng, masa aku mau serumah lagi sama dia."
"Tapi, kan dia tetep aja bundamu."
"Ya iya. Aku cuma gak mau jadi anak durhaka aja. Kalo nanti serumah sama dia ribut terus yang ada. Aku jadi anak durhaka deh."
Lia mulai melahap nasi goreng buatan Lay yang tak ia sangka rasanya enak dan cocok di lidahnya. "Enak, kan?" tanya Lay.
"B aja," jawab Lia.
"Bagus deh udah mau makan. Aku ikut seneng yang lihat."
Lia hanya diam memakan nasi gorengnya tanpa menjawab ucapan Lay.
tbc.
hewoo semuanyaa
hihi akhirnya bisa lanjut lagi ni cerita setelah setaun hiatus wkwkwk
maaf ya bikin nunggu lamaaaaa bangett
semoga kalian masih setia sama aku huhu:'
oya, btw mo cerita dikit ni
aku kan sempat dapet tawaran dari penerbit indi tu akhirnya gak aku ambil guys karena ya aku masi belom bisa bagi waktu
cerita ini aja sampe terbengkalai lama😌
yaudah lah ya gapapa si aku juga ga ambis buat bisa terbitin cerita aku jadi novel
semoga kalian tetep masi support aku ya hehe
makasi semuanyaa
aku bakal berusaha semaksimal mungkin buat selesaiin cerita ini taun depan
see u next part😆