Long Distance Relationship itu benar-benar nggak mudah buat Wendy yang dari dulu kebiasaan pacaran jarak dekat.
Wendy sama Lay emang jarang ribut. Karena mereka berusaha saling mengerti sama kesibukan masing-masing. Tapi, karena kesibukan juga mereka jadi mulai jarang tukar kabar walau hanya via pesan teks.
Lonceng bel pintu butik Callisa berbunyi saat Wendy mendorong pintunya. Ia berjalan dengan malas memasuki butik tersebut, kemudian masuk ke ruang kerja Lisa tanpa salam atau sebuah ketukan pintu.
"Astaga, Wendy! Kebiasaan banget, deh. Ketuk dulu apa susahnya sih??" omel Lisa.
Wendy tak menggubrisnya, ia langsung melemparkan tubuhnya ke sofa yang tersedia di sana.
"Baru dateng muka dah di tekuk aja, kenapa lo?"
"Gabut anjir. Nggak ada kerjaan gue. Mulai hari ini gue libur semester."
"Terus?"
"Lo sibuk, Airin sibuk, Joy juga sibuk. Nggak ada temen buat diajakin liburan."
"Pacar dosen lo?"
"Katanya semester ini nggak pulang lagi."
"Why?"
"Ngejar SKS."
"Wih, mantap bener. Bisa-bisa kurang dari empat tahun dah dapet gelar Ph.D tuh."
"Iya. Tapi, entah sama nasib gue."
Lisa beranjak dari kursi kerjanya, mendudukkan diri di sofa, dan menatap Wendy penuh tanya. "Maksud lo?"
"Kalau dia jadi lulusan terbaik. Dia bisa dapet kerja di sana. Entah itu jadi dosen, atau jadi advokat."
"Salah siapa waktu itu diajakin nikah nolak?"
"Gue nggak mau nikah muda, ya!"
"Itu konsekuensi lo, Wen. Nggak mau nikah muda ya terpaksa LDR. Kalau mau nikah muda ya juga siap-siap aja jadi mama muda."
Wendy menghela panjang. Ia tak tau bagaimana nasib hubungannya dengan Lay.
Walaupun Lay sudah mengikatnya dengan cincin. Tapi, menurutnya tetap saja itu hanya cincin yang sewaktu-waktu bisa ia lepas sesuka hati. Sama seperti hubungannya dengan Lay yang sewaktu-waktu bisa saja berhenti di tengah jalan.
"Wen?"
"Hmm?"
"Lo nggak berpikir buat nyudahi hubungan lo sama dia, kan?"
"Kok lo tiba-tiba tanya gitu?"
"Habisnya lo keliatan jenuh banget sama hubungan jarak jauh lo."
"Jujur, Lis. Gue capek. Jenuh. Bosen. Rasanya sama kayak orang nggak punya pacar."
"Kalau kalian bener-bener cinta. LDR bukan alasan buat mengakhiri semuanya."
Wendy terdiam sejenak. Ia berusaha mencerna ucapan Lisa dengan sebaik mungkin.
Apa gue sama dia bener-bener cinta? Atau cuma sama-sama sekedar tertarik satu sama lain? Kenapa gue jadi mempertanyakan perasaan gue selama ini, ya?
"Bodo, ah. Pusing gue. Mau main sama Delvin aja."
"Eh, nitip pesenannya Kak Sica dong, Wen."
**
"Aunty?"
Delvin menatap Wendy bingung. Karena auntynya itu sibuk melamun.
Ia mendengus. Lalu, memutar otaknya supaya mendapatkan cara untuk menyadarkan Wendy dari lamunannya.