Part 26 - Dufan

681 70 66
                                    

Wellington, New Zealand

"Kak Lay?" panggil Lia, dengan cepat Lay menoleh dan mengangkat satu alisnya yang mengisyaratkan bertanya pada Lia. Mereka berdua sedang di depan teras rumah Lia menikmati secangkir teh milik masing masing.

"Dari tadi ngalamun mulu kenapa, sih? Lagi banyak pikiran, ya?" tanya Lia. Lay menghela napasnya kemudian mengangguk, setelah itu memalingkan kembali pandangannya dari Lia. "Gara-gara aku, ya?" tanya Lia.

"Nggak kok."

"Kak Lay jadi banyak ngalamun habis balik dari Indonesia. Kalo ada urusan yang belom selesai di sana harusnya kakak selesaiin dulu baru balik ke sini," ucap Lia sambil ikut memandang jalan di depan rumahnya.

"Terus kalo aku gak balik ke Wellington, kamu gimana?" tanya Lay.

"Ya, sendiri."

"Aku gak mau kamu sendiri."

"Ya, mau gimana, udah waktunya aku sendiri dan jadi lebih mandiri, kan? Aku juga sadar kalau aku gak bisa bergantung sama Kak Lay terus buat ke depannya."

"Bisa kok. Kenapa enggak?"

"Kakak kan bukan siapa-siapaku. Keluarga bukan, kakak yang sebenernya bukan, pacar apa lagi. Aku juga gak enak dong kalo mau bergantung terus sama kakak." Lay terdiam mendengar ucapan Lia.

iya, juga ya. Kenapa gue jadi lebih peduli dan khawatir sama Lia?

"Kak Lay kenapa se khawatir itu sama aku? Bahkan sejak ayah meninggal Kak Lay setiap hari ke sini, gak jarang tidur di sini juga." Lay masih tetap diam, ia sendiri juga tidak sadar dengan apa yang ia lakukan.

Gue kenapa, sih anjir? Masa gue juga suka sama Lia?

Tiba-tiba Lay merasakan pelipisnya seperti berdenyut dan membuat matanya terasa berat. "Kita omongin ini lain kali, ya? Kepalaku tiba-tiba pusing," ucap Lay sambil beranjak dari duduknya meninggalkan Lia.

**

Wendy berjalan lebih dulu setelah melewati pintu masuk. Ia berjalan santai sambil menenteng jaketnya di tangan kiri dan tasnya yang tergantung di pundak kanannya. Gavin menyusul dengan sedikit berlari, "sini aku bawain jaketnya," ucap Gavin.

"Aku bisa bawa sendiri kok."

"Udah sini aku bawain." Tanpa menunggu persetujuan Wendy lagi Gavin langsung mengambil alih jaket Wendy. "Kak Wendy mau naik apa dulu, nih?" tanya Gavin.

"Naik Histeria yuk," ajak Wendy.

"Berani?"

"Berani dong. Kenapa enggak?" Mereka berdua kemudian berjalan menuju wahana Histeria terlebih dahulu.

Mereka mengawali kegiatan jalan-jalan dengan semua wahana yang memacu adrenalin terlebih dahulu. Wendy terlihat sangat bersemangat hingga berlari ke sana kemari layaknya anak kecil yang sudah lama tidak di ajak pergi jalan-jalan. "Vin, sini!" teriak Wendy di depan toko yang menjual pernak-pernik aksesoris.

Sejak tadi Gavin tidak bisa berhenti tersenyum melihat Wendy yang sangat bersemangat dan senang ia ajak jalan-jalan ke taman hiburan. Ia berlari menghampiri Wendy dan masuk bersama di toko itu. "Lucu gak?" tanya Wendy sambil memainkan bunny hat yang ia coba.

Kak Wen, arghhh tolong lahhh jangan kek gini aku gak kuat!!!

"Bunny hat nya, kan? Lucu, kok."

bohong banget gue anjing!

"Aku nya laahhhh"

"Sadar umur, buk"

"Raga boleh dua puluh empat, jiwa harus tetap tujuh belas tahun"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

16.16 [My Killer Lecturer 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang