Wellington, New Zealand
19.48Lay sedang menyiapkan barang bawaannya untuk berangkat ke Indonesia besok.
"Akhirnya balik ke Indo juga,"
Ia merapikan semua baju dan beberapa oleh-oleh yang ia bawa.
Saat semua sudah selesai, ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk
Filia memanggil...
"Tumben dia telfon, biasanya chat doang," ucap Lay sebelum memutuskan untuk menggeser tombol hijau di layarnya.
"Halo, Lia. Tumben te..."
"Hiks, Kak Lay."
"Kamu kenapa nangis??" tanya Lay yang mulai panik ketika mendengar Lia menangis dibalik panggilan telfonnya.
"A-ayah, kak..."
"Ayah kenapa??"
"A-ayah jatuh di kamar mandi. Aku bingung harus gimana."
Suara Lia bergetar. Ia benar-benar merasa panik dan takut. Karena hanya ia seorang yang ada di rumah itu.
"Aku ke sana sekarang. Kamu telfon ambulans dulu, ya?"
Di balik telfonnya Lia mengangguk cepat. Setelah itu sambungan mereka terputus dan Lay segera mengambil mantelnya. Lalu bergegas pergi ke rumah Lia yang jaraknya tak terlalu jauh dari asramanya.
**
14.50 WIB
Wendy duduk di sebuah coffee shop dengan segelas caramel macchiato dan novel yang terbuka di lembar terakhir yang ia baca.
Ia menghela napas ketika menatap layar ponselnya. Kemudian menekan tombol panggilan dan mendekatkan ponselnya ke telinga kanannya.
"sedang berada di panggilan lain."
Mendengar hal tersebut Wendy menghela napas dengan berat. Pikiran buruk menyapa isi kepalanya, membuat ia merasa sangat frustasi dan ingin sekali marah pada dirinya sendiri.
Nggak boleh negatif thingking, Wen. Percaya, Wen. Harus percaya.
Lonceng pintu coffee shop berbunyi menandakan ada pelanggan datang. Para barista menyambutnya dengan sapaan, "selamat datang," yang hangat.
Wendy tidak mempedulikannya. Karena yang di otaknya sekarang hanya, Lay sedang menelfon siapa di sana.
Tak lama berselang. Wendy yang masih sibuk dengan lamunannya tersadar karena seseorang tiba-tiba duduk di kursi seberangnya.
"Gavin?"
Si pemilik nama hanya tersenyum lebar ketika Wendy menyebut namanya. "Kebetulan kita ketemu lagi ya, Kak," ucap Gavin.
"Lo ngapain ke sini, Vin?" tanya Wendy sambil hendak kembali meminum caramel macchiatonya.
"Ini, kan kafe langgananku, Kak. Baristanya aja temenku," mendengar kalimat terakhir Gavin, Wendy menoleh dengan cepat melihat barista yang ada di balik meja bar kafe.
"Serius?" tanya Wendy.
"Kak Wendy kok nggak percaya, sih?"
"Ya, habis waktu SMA kan lo pinter banget ngibulin guru. Sapa tau lo lagi ngibulin gue."