Sepuluh

973 143 50
                                    

"Terus bagaimana Hyungie melanjutkan hidup kalau Ugi tidak di sini?"

"Hyungie akan baik-baik saja. Ada Eomma dan Appa. Juga Jennie Noona. Pasti semuanya akan baik-baik saja tanpa Ugi."

Yoongi melangkah masuk ke dalam kamarnya, memilih duduk di sofa single dekat jendela demi menghindari Taehyung. Ia tak ingin niatnya menemani Jimin goyah.

Taehyung mendekat, membuat mata Yoongi membola. Ia bangkit dan mencoba lari namun tangan Taehyung yang lebih panjang berhasil menahan pundaknya. Taehyung menarik dan menahan Yoongi hingga kepala Yoongi bersandar di dadanya.

"Hyungie...lepas...."

"Begini dulu. Sebentar saja," pinta Taehyung dengan suara lembut. Lengan kirinya masih bercokol di bawah leher Yoongi, menahannya tanpa menyakiti. "Kenapa rasanya lebih sakit daripada meninggalkan rumah untuk wajib militer?"

Yoongi diam. Otak ABG umur 12 tahun miliknya belum dapat memahami maksud Taehyung walaupun ia sering menonton drama romantis.

"Jaga diri baik-baik. Semoga Ugi punya banyak teman di sana." Taehyung berujar dengan bibir yang menempel di pucuk kepala Yoongi. "Selamat ulang tahun walaupun ini lebih cepat satu hari. Selalu ingat bahwa Hyungie sayang Ugi."

---

Taehyung menatap nanar ke kumpulan awan dari jendela pesawat yang akan membawanya ke Jeju. Ia tahu dan sadar bahwa ia payah.

Di umurnya yang kepala tiga itu, ia akhirnya mengakui bahwa hatinya berhasil digenggam seorang anak berusia 12 tahun yang beranjak dewasa. Barangkali sudah sejak lama. Padahal di sampingnya, ia memiliki seorang wanita yang rencananya akan ia jadikan istri.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

---

"Eomma, Ugi sudah sampai di rumah Jiminie."

"Syukurlah. Bagaimana penerbangannya?"

"Lama tapi tidak ada masalah. Appa, Ugi sudah merindukan Eomma dan Appa."

"Harus kuat ya. Ugi sendiri kan yang memilih untuk ke sana?"

Yoongi mengangguk.

"Sekarang istirahatlah. Di sana sudah malam, kan?"

"Hmm. Ugi akan menelepon lagi sebelum sekolah di sini mulai. Ugi sayang Eomma dan Appa."

"Kami juga, Nak."

Yoongi menghapus air mata yang untungnya menetes setelah percakapan dengan orang tuanya berakhir. Jika mereka mendengarnya menangis, orang tuanya pasti akan merasa cemas setiap saat.

Yoongi meninggalkan pesawat telepon dan berjalan pelan menuju kamarnya yang berada di ujung lorong, bersisian dengan kamar Jimin. Ia membuka kenop pintu kamar Jimin perlahan dan tersenyum melihat sahabatnya itu tertidur pulas.

"Aku juga sebaiknya tidur."

---

April 2005

"Hei, di kelasmu ada yang namanya Park Jimin kan?"

"Benar, Sunbae. Tapi bulan lalu Jimin sudah pindah."

"Ke mana?"

"London. Kakek dan neneknya meninggal dan orang tuanya membawa Jimin ke London."

"Temannya?"

"Min Yoongi maksudnya? Ikut pindah bersama Jimin."

Siswa yang menanyakan Jimin dan Yoongi itu menatap ke dalam kelas dan memang sosok yang ia cari sudah tak ada.

LawlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang