'Keluarga'Satu kata paling menyebalkan untuk Evander. Baginya keluarga adalah bencana, musibah, dan kehancuran. Tidak ada yang bisa bahagia di muka bumi, jika dia masih bersama dengan keluarga. Adalah awal luka yang sebenarnya menurut Evander.
Pria itu kini terduduk sembari melamun memikirkan sebuah kenyataan. Tatapannya kosong ke arah jendela. Ia sedang merindukan sosok Mamanya. Merindukan wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
Detik berikutnya Evander tersadar. Tatapannya beralih ke arah buku di meja, netranya menangkap satu huruf di sampul buku, 'A'. Evander mengerjapkan mata, kemudian menggeleng cepat. Suatu kejadian tiba-tiba terlintas di otak pria itu. Ah, sial! Pikirannya sekarang tertuju pada kejadian semalam, di mana ada Alena di pelukan Dion di pinggir kota. Evander masih ingat, gadis itu seakan menikmati pelukan Dion. Kenapa ia tidak suka melihat gadis itu bebas dari ancaman?
Entah mengapa, Evander merasa sangat tidak nyaman melihat Alena tenang dan tersenyum dalam kedamaian. Pria itu selalu suka melihat Alena tersiksa, terluka, bahkan ingin melihat Alena segera mati secepatnya.
Evander tidak tahu, singkat saja, ia hanya ingin melihat Alena menderita.
"Sialan! Kenapa Dion selalu saja ada untuk Alena?"
Evander, menatap papan tulis dengan rahang mengeras. Pria itu tampak menahan emosi, pasalnya rencana yang sudah dia siapkan di malam hari tidak berjalan sesuai perkiraan. Bahkan ia telah membiarkan waktunya terbuang sia-sia malam itu.
"Hati-hati kerasukan, jangan ngelamun terus." Irfan mengambil duduk di samping Evander. Pria itu meletakkan kaki di ke atas meja dengan mulut yang tak henti mengunyah.
"Euy, whatsAp. Apa kabar, Guys?" Gino dan Jora datang dari ambang pintu. Kedua makhluk itu mengambil posisi duduk di kursi tepat di hadapan Evander.
Gino dan Jora menatap Evander instens, memperhatikan pria itu yang tidak seperti biasanya. Gino mulai bertanya pada Irfan dengan memainkan ekor mata, tetapi yang ia dapatkan hanya gelengan.
Gino mulai merapatkan lagi kursi yang ia duduki ke arah Evander, hingga jarak keduanya kini hanya beberapa senti. Pria itu mencoba mengeluarkan suara batuk yang disengaja, tetapi Evander masih saja terdiam tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali.
Ada apa?
"Kenapa, Bro?" Gino merangkul Evander, tetapi segera Evander menghempaskan lengan pria itu kasar, membuat Gino kehilangan keseimbangan dan terjatuh menyentuh lantai.
Irfan mengeluarkan tawa renyah, sementara Jora hanya berdiam sembari menggelengkan kepala.
Tanpa aba-aba, Evander bangkit dari duduknya. Gino, Irfan, dan Jora memperhatikan langkah Evander, hingga tubuh kekar itu hilang dari pandangan.
"Jangan-jangan Evander PMS," bisik Gino mengelus jidatnya.
***
"Evander, aku mohon, lepaskan ...," lirih seorang gadis memohon. Dia adalah Alena.
Tak ada jawaban, Alena terus saja di seret paksa tanpa rasa peduli. Langkah kaki terdengar menggema di setiap jejaknya. Bel pulang sudah berbunyi sejak setengah jam lalu, sekolah tampak kosong karena semua murid telah meninggalkan gedung sekolah.
Evander menatap fokus ke depan dengan tajam, ia melangkah dengan menggenggam pergelangan Alena kasar.
"Kapan Lo mati?" Evander bersuara tanpa mengalihkan pandangan dari depan.
Seketika dada Alena terasa sesak, kenapa ucapan itu terasa baru saja berhasil membunuhmya?
"M—maaf ...." Alena mencoba menahan bendungan di pelupuk mata.
"Diam, bodoh!" Evander semakin mengeratkan pegangannya dan menarik gadis itu semakin keras.
Kali ini Alena tidak berani bersuara lagi, ia hanya mengikuti, pasrah karena jika membantah kekerasan akan tetap menghampirinya.
Alena membulatkan mata kala Evander menghentikan langkah kaki di depan gudang. Gudang lama yang selama ini tempat Alena menumpahkan tangisan. Gadis itu menggeleng cepat. Seakan ruangan itu adalah kematian untuknya.
Keringat dingin terus menyerang, perasaan was-was benar-benar sagatlah menyiksa di dada.
"Masuk!"ucap Evander dingin.
Alena menggeleng ragu, menatap ruangan gelap itu. Ia terus saja menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca.
"Masuk!" bentak Evander dengan tatapan iblis.
Gadis itu masih mematung dengan kepala menunduk. "Evander, maafkan aku. Aku mohon, izinkan aku pulang." Alena berusaha memohon dengan bibir bergetar, gadis itu benar-benar merasakan ketakutan.
Brugh!
Tubuh Alena di tolak asal, membuat gadis itu telah berhasil memasuki ruangan gelap yang pengap.
Kini hanya bayangan yang terlihat. Alena menatap bayangan Evander di dinding ruangan. Namun, belum sempat ia melihat keseluruhan bayangan itu, tubuhnya telah di dorong keras hingga tersungkur di lantai dan membuat keningnya terhantam kursi.
"M—maaff ...," desah Alena menahan isakan.
Alena terus menunduk, meremas ujung roknya. Derai air mata terus saja membasahi pipi gadis itu. Tubuhnya terasa sangat lelah, perasaannya sakit, dirinya benar-benar seakan tidak diberikan kesempatan hidup di dunia.
Apakah ucapannya pada Dion semalam akan terjadi? Apa perkiraan Dion yang akan menjadi kenyataan? Ajal akan menjemput gadis itu?
Alena menatap tubuh hitam Evander tanpa suara, wajah sendu itu seperti biasa hanya akan berakhir dengan menundukkan kepala. Walau tidak ada cahaya sekali pun menampakkan wajah tajam Evander, gadis itu selalu saja diselimuti rasa takut.
Udara terasa pengap dalam gudang yang benar-benar gelap. Alena meremas tangannya, membayangkan hal apa yang akan ia terima.
Apa ia akan dibunuh?

KAMU SEDANG MEMBACA
ALENA (END)
JugendliteraturHidup dengan segala kepahitan dan rasa sakit. Itulah kisah dari seorang gadis berusia 17 tahun-Alena-seorang remaja putri dengan teka-teki kehidupan yang sulit. Mengharapkan kasih sayang yang mustahil untuk ia dapatkan. Dirinya senantiasa disakiti...