Kini Evander berada di kediaman Agrabintha. Keluarga yang selama ini ia anggap bagaikan mesin penghancur. Pria itu datang dengan rasa terpaksa, entah angin apa yang membuat ia mau menuruti permintaan Dion agar kembali ke rumah.
"Mama sakit, gue mohon pulang, Evander. Mama kangen lu, dia nggak henti manggil-manggil nama lu."
Evander menggeleng. "Pergi dari sekarang juga dari sini! Gue nggak butuh permohonan apa pun. Dan berapa kali gue bilang di telpon tadi? Dia bukan Mama gue!"
Dion menggeleng. "Dia sayang sama lu, Vander. Bisa nggak lu ngehargain Mama? Dia yang jagain kita setelah meninggalnya Mama, Evander."
"Tapi dia sahabat almarhumah Mama, 'kan? Apa dia terlihat baik setelah menikah dengan suami Mama?"
Dion menatap adiknya tidak percaya. Evander benar-benar memiliki sikap keras kepala dan keegoisan yang tinggi. Mengapa Evander tampak jauh berbeda? Dari mana sifat pria itu datang? Bukankah Abimayu tidak seegois dia? Almarhumah Mamanya juga terkenal ramah dan lemah lembut.
"Semua udah jadi masa lalu, jangan kek anak kecil, Vander. Jangan merasa seakan Mama penghancur hidup lu. Salahin diri sendiri kalau lu ngerasa hidup lu hancur. Introspeksi!" ucap Dion menjelaskan.
"Lo boleh pergi sekarang!" ketus Evander tanpa peduli sama sekali.
"Tanpa Mama Yuni, lu nggak akan ngerasain indahnya memiliki seorang Mama."
Evander menatap Dion sinis. "Ngerasain tanpa seorang Mama dalam hidup? Gue ngerasain itu setiap saat!"
Dion mengembus napas pelan, lalu memejamkan mata kehabisan sabar. "Karna lo mentingin sikap egois, keras kepala, dan nggak pernah mau mengerti. Lu nggak pernah ngertiin hati Mama, Evander!" teriaknya emosi.
"Lu selalu berkata kasar ke dia. Apa dia pernah mengeluh dengan hal itu? Tidak! Dia hanya diam. Hanya Papa tempat dia bersandar!" Kali ini mata Dion berkaca-kaca, membuat Evander terdiam membeku.
"Gue mohon jenguk Mama. "
Evander menggeleng dengan tatapan kosong. "Pulanglah, Dion. Gue nggak mau bahas ini!"
"Gue minta sama lu, gue benar-benar bermohon banget, pulang dan temui Mama. Setidaknya ucapkan bahwa kau datang ingin menjenguknya, bahwa lu peduli dengan keadaannya."
Lagi-lagi Evander menggeleng kuat-kuat. "Nggak, gue nggak bisa!"
"Hanya kali ini gue minta bantuan. Tolong dengerin gue, dan pikirin keadaannya."
Brugh!
Evander memukul daun pintu kasar, membuat suasana semakin tegang. Napas Evander naik-turun, rahangnya mengeras. "Gue bilang nggak bisa, kapan lu bisa ngerti, hah?"
"Kalau gue bisa memilih, gue ingin nama gue yang disebut. Bukan nama lu yang sama sekali nggak mikirin keadaan Mama, Evander." Dion menatap sang Adik dengan wajah kecewa.
Evander hanya bisa mendengkus di setiap langkahnya, mengingat pertemuan semalam dengan Dion. Di mana saat itu dia menolak permintaan Dion mentah-mentah, mengatakan tidak akan pernah datang menjenguk Yuni.
Keputusan Evander sudah bulat, ia tepat pada pendirian. Tidak akan pernah kembali dan peduli dengan rumah Agrabintha dan penghuninya. Akan tetapi, siapa sangka suatu bisikan datang mengusik hatinya. Menyuruh pria itu agar sedikit merendahkan hati, bersedia datang dan menyetujui permintaan Dion.
***
"Mas, udah!" tolak Yuni menolak bubur yang disodorkan suaminya. Wanita itu mengerutkan kening, merasa kesal karena dipaksa menelan makanan menggelikan itu.
"Evander mana, Mas? Evander pulang hari in, 'kan?" tanya Yuni dengan penuh harap, Abimayu membulatkan mata, kemudian perlahan mengangguk ragu.
Wanita tiga puluh lima tahun itu kini hanya bisa membiarkan tubuhnya bersandar di kepala ranjang. Ia tak henti bertanya mengenai Evander, senyuman penuh harap tampak terukir dengan wajah pucat dan tatapan sendu.
"Udah, ya, Mama istirahat dulu. Nannti Evander akan pulang. Mama harus sehat dulu," peringat Abimayu meyakinkan istrinya.
Pria berkacamata itu berusaha untuk tetap tenang, meski rasa khawatir tak henti menyerang. Ia mengusap rambut istrinya lembut, memberikan ketenangan di sana.
"Tapi Papa bilang Eavnder akan pulang. Mas udah janji sama aku. Di mana dia sekarang? Dia ingin bertemu denganku, kan Mas?" Lagi Yuni bertanya mengharapkan jawaban yang ia terima sesuai perkiraan.
Abimayu mengangguk. "Duduk dulu, minum obatnya."
Abimayu menuntun istrinya untuk meminum obat. Yuni menuruti perintah dan perlakuan Abimayu—suaminya. Pria itu tampak memasang wajah khawatir. Merasa tidak tahu harus apa lagi yang akan dilakukan. Keluarganya seakan selalu dalam kehancuran. Tanpa disadari, pria itu tampak frustrasi dengan keadaan yang ada.
"Sayang, apa aku bilang saja yang sebenarnya pada Evander?" Tiba-tiba Yuni bertanya setelah selesai meminum obatnya.
Abimayu membeku, menatap Yuni tidak percaya. "Jangan, jangan lakukan itu."
"Tapi aku ingin, Mas," lirih Yuni.
"Apa kamu yakin? Kamu kuat dengan konsekuensinya?" Lagi Abimayu menatap Yuni tidak percaya
Yuni mengangguk ragu. "Jika selalu ditutupi juga tidak ada gunanya. Bangkai akan tercium juga busuknya. Seandainya kenyataan itu bisa tertutup rapat dan tidak terusik saat ini, tetapi dalam hati aku merasa janggal. Aku ingin diakui Mas. Aku ingin diakui oleh anakkku sendiri."
Mata Yuni mulai berkaca-kaca. Wanita itu merasa sesak di sebelah dada. Mata itu nampak basah dengan tatapan sendu dan bibir pucat yang bergetar.
Abimayu langsung merengkuh tubuh wanitanya ke dalam pelukan. Mengusap pelan punggung itu. "Dia memang anakmu. Kau adalah mamanya."
Yuni menggeleng di sana. "Evander tidak pernah mengakuiku sebagai wanita yang melahirkannya, Mas. Kau tahu itu."
Abimayu mengusap kepala Yuni lagi lembut. "Tenang, Sayang. Tenanglah, ada aku sebagai sandranmu."
"Aku akan memberitahunya, Mas. "
"Jangan lakukan itu, Yuni. Jangan membuatku khawatir."
"Aku serius, Mas. Aku akan mengungkap semuanya."
Abimayu menarik napas dalam, melonggarkan pelukannya. Menatap Yuni dengan tatapan penuh arti. "Kau yakin?"
Yuni mengangguk. "Aku sangat benci jika mengenang kembali, jika kenyataan harus diketahui Evander. Aku benar tidak menginginkan jika anakku memanggil atau menyebutnya seorang Ayah. Pria bajingan itu adalah kehancuran bagi setiap manusia. Akan tetapi—" Ucapan Yuni terpotong dengan hadirnya isakan kecil.
Abimayu menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca. Lagi ia memeluk tubuh itu penuh kasih sayang, membelainya dengan penuh cinta. Ia mencium kening istrinya, seakan menyalurkan ketenangan.
"Akan tetapi, rasa benci itu kalah oleh rasa seorang Ibu pada anaknya, Mas. Aku lebih memilih diakui dari pada harus menutup semuanya." Kembali Yuni bersuara di pelukan itu.
"Yuni," desis Abimayu menahan benda bening di pelupuk mata. Ia tidak kuat melihat sang Istri menangis.
"Aku ingin diakui Evander sebaagi seorang Ibu yang pernah mengandungnya, bukan sebagai Mama tiri dan ibu pengganti."
Kini Abimayu ikut menangis, memeluk Yuni dengan menahan isak. Pria itu tak henti mengelus rambut itu dengan penuh kasih sayang. Ia seakan tidak ingin membiarkan istrinya merasakan sesak itu sendiri. Abimayu ingin ikut, berasama merasakan sakit itu.
"Lambat laun, Evander pasti akan tahu kalau dia bukan anakmu, Mas."
Prang!!
Sebuah guci jatuh ke lantai hingga pecah, spontan Abimayu dan Yuni terkejut, keduanya melonggarkan pelukan, menatap satu sama lain, lalu menatap ke arah pintu
"Evander?" Betapa terkejutnya sepasang suami istri itu melihat ke arah ambang pintu. Ada Evander di sana. Pemuda yang keras kepala dan egois itu tampak mengepal kedua tangan dengan tatapan emosi dan pipi yang basah. Evander menangis?

KAMU SEDANG MEMBACA
ALENA (END)
Fiksi RemajaHidup dengan segala kepahitan dan rasa sakit. Itulah kisah dari seorang gadis berusia 17 tahun-Alena-seorang remaja putri dengan teka-teki kehidupan yang sulit. Mengharapkan kasih sayang yang mustahil untuk ia dapatkan. Dirinya senantiasa disakiti...