"Evander!"Bruk!
"Evander buka pintunya!" Sebuah teriakan datang dengan menendang pintu keras.
Alena membulatkan mata kala mendengar suara yang familiar itu. Dia adalah Dion. Tatapan gadis itu beralih ke arah Evander yang menatapnya dengan sebuah dendam.
"Alena, apa lu baik-baik saja di sana?" Alena berusaha menggerakkan tubuh dan kepalanya, sementara Evander hanya diam memperhatikan apa yang Alena lakukan dengan keadaan yang terikat.
"Evander! Buka pintu ini!" teriak Dion, sepertinya pria itu tahu kalau Evander ada bersama Alena di gudang.
Evander tak merespon, pria itu hanya tersenyum menyeringai ke arah Alena yang kini berada di kursi dengan ikatan tali. Sementara gadis itu hanya bisa meneteskan air mata, berharap pemilik teriakan di luar mampu membuka pintu segera.
Alena terus mencoba menggerakkan tubuhnya. Gadis itu benar-benar terlihat kesakitan. Lakban yang ditempelkan asal di mulutnya, membuat Alena tidak bisa mengeluarkan suara. Ruangan gelap dan pengap, tubuh dalam keadaan diikat, dan suara Dion yang terus berteriak dari luar gudang. Apakah Alena akan diberikan kesempatan hidup atau tidak? Subguh, Evander sama sekali tidak pernah memberikan jawaban atas teriakan Dion.
Keadaan Alena benar-benar absurd. Seragamnya tampak kotor dengan rambut yang acak-acakan dan kancing bagian dada yang sedikit terbuka. Wajahnya basah dengan mata sembab. Keadaannya sangatlah memprihatinkan.
Gadis itu terus menangis, pipinya terasa perih akibat tamparan dari Evander beberapa menit lalu. Kening dan bibirnya juga terasa perih karena aksi Evander yang mendorongnya begitu saja tanpa rasa kemanusiaan. Apa Evander pantas disebut manusia?
"Evander berhentilah berbuat gila!"
"Buka Evander!"
Lagi suara itu berteriak dengan menendang pintu kuat. Kini Dion mengetuk-ketuk sebuah jendela kecil. Sepertinya ia melihat Alena dan Evander walau dengan pandangan yang tidak jelas.
Evander berdecak kesal, lalu menatap Alena tajam. Ia merogoh sebuah benda pipih dari saku celana, kemudian mengarahkan ponsel di hadapan Alena. Gadis itu awalnya kebingungan. Namun, detik berikutnya ponsel itu memancarkan cahaya dan bunyi mengambil gambar, membuat Alena terkejut dan membulatkan mata.
Evander tersenyum, sementara Alena mencoba memperhatikan kaki dan seragamnya yang hancur, spontan gadis itu menggeleng pelan dengan mata berkaca-kaca.
"Evander, buka pintunya!"
Bugh!
“Evander, berhenti! Lo nggak ada hak sama sekali atas kehidupan Alena.” Teriakan Dion terdengar menggema di gedung sekolah, pria itu seakan mengerti keadaan Alena di saat bersama Evander.
"Alena, gue pasti bakal keluarin lu."
"Berusahalah sekuat tenaga, cari bantuan di luar sana." Akhirnya Evander mengeluarkan suara, setelah sekian lama Dion berteriak tanpa ada respon.
"Lepasin Alena, Evander!"
Bugh!
Tanpa menjawab suara keras dari luar, tangan Evander tiba-tiba terulur membuka ikatan tali, lalu menarik lakban di mulut Alena kasar, membuat gadis itu menahan rasa yang amat menyakitkan.
"Pergi!" Evander langsung menendang tubuh Alena tanpa iba, membuat Alena terjatuh dari kursi dan ambruk di lantai.
Alena hanya terdiam menahan isakan. Belum sempat gadis itu memposisikan tubuh, tiba-tiba tangan kekar Evander menarik keras wajah Alena. Ia terus saja mancarkan seutas senyum, senyuman yang terlihat mematikan.
Plak!
Yang ketiga kalinya tamparan itu mendarat di pipi Alena.
"Evander!"
***
Bugh!
Satu pukulan mendarat di perut Evander setelah akhrirnya ia membuka pintu. Evander terdiam, tak membalas pukulan itu. Bahkan ia hanya memancarkan senyuman mengejek ke arah sang Kakak.
"Kapan Lo berubah?" Dion menatap sang Adik dengan raut emosi.
"Gak ada yang bisa menghentikan dan nggak ada yang berhak bertanya." Evander manik turunkan alis, tatapannya seakan sedang berhadapan dengan seorang bocah TK.
"Gue berhak!"
"Hah?" Evander menyerngitkan dahi, kemudian mendekatkan telinga ke arah Dion. "Lu? Berhak? Sorry, tidak sama sekali."
Dion bertepuk tangan sejenak, lalu mengangguk setuju. "Gue nggak berhak, tetapi gue berhak menghentikan sikap gila Lo ini yang merugikan banyak orang."
"Lalu?" Wajah Evander masih tetap santai, ia tampaknya tidak peduli dan meremehkan setiap ucapan Dion.
Dion mendengkus kasar, dia tidak tahu mau berkata apa lagi. Evander adalah sosok yang keras kepala. Egois dan dendam benar-benar menyelimuti pria itu. Semua orang disekelilingnya seakan dianggap hanya angin berlalu.
Dion menatap ke arah Alena yang terbaring di lantai tak berdaya. wajah gadis itu tampak pucat dan lelah. Tidak ada lagi tangisan, hanya ada kepasrahan di paras cantik itu. Mata Dion berkaca-kaca memandangi gadis malang di dalam sana, tangannya mengepal, kemudian beralih menatap Evander lagi. Dion menggelengkan kepala melihat wajah sang Adik yang tidak memiliki rasa kasihan sama sekali.
"Kemanusiaan nomor satu, Vander!" ucap Dion dingin dengan tatapan kecewa. Namun, wajah yang diajak bicara hanya tetap diam tak melirik sama sekali. Membuat Dion hanya bisa memejamkan mata, lalu mencoba menarik sebuah senyuman.
“Gue harap lo sadar secepatnya.”
Evander terkekeh kecil. “Semoga Lo berhenti sok suci setelah ini.” Dion hanya bisa menatap Evander dengan menahan amarah. Meladeni dan menasehati Evander tidak akan ada gunanya, pria itu hanya akan peduli dengan keinginan dan keegoisan yang terus menguasai. Dion mengangguk, lalu beranjak menuju tempat Alena yang terbaring lemas.
“Tetaplah menjadi iblis,” peringat Dion disela-sela langkahnya.
Tak ada yang perlu dijawab, Evander hanya terdiam dengan wajah kemenangan. Pria itu tak ada rasa iba sama sekali. Pukulan dari Dion hanya bagaikan gigitan semut untuknya. Evander melirik ke arah Dion yang mencoba membantu Alena bangkit.
"Bitch!" Evander membuang ludah sembarangan, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat begitu saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALENA (END)
Dla nastolatkówHidup dengan segala kepahitan dan rasa sakit. Itulah kisah dari seorang gadis berusia 17 tahun-Alena-seorang remaja putri dengan teka-teki kehidupan yang sulit. Mengharapkan kasih sayang yang mustahil untuk ia dapatkan. Dirinya senantiasa disakiti...