11. Harga diri

63 13 3
                                    

Alena memasuki gedung sekolah dengan waktu yang cepat dari sebelumnya. Kali ini dia tidak terlambat. Rijal tidak ada di rumah, membuat gadis itu bisa ke sekolah tanpa hambatan. Akan tetapi, hal itu tidak menutup kemungkinan Alena merasa khawatir. Ia ingin menghubungi, tetapi ia tidak memiliki nomor ponsel sang Ayah. Aneh bukan?

Perlahan langkah Alena melambat di saat menuju kelas, gadis berbalut Hoodie itu masih teringat dengan kejadian di gudang. Akankah dia bertemu Evander lagi? Apa dia akan menerima siksaan seperti yang biasa? Saat ini Alena berjalan menunduk dengan jemari yang meremas ujung baju.

Tink!

[Tetap semangat, jangan mau dihancurkan oleh orang yang tidak berguna.] Sebuah pesan masuk, Alena menarik senyum di saat melihat pesan itu datang dari username Dion.

Alena mulai mengetik di keyboard,  jemarinya saat ini bermain di atas layar.

[Siap, Bos. Makasih, Kak.] Seperti biasa, hanya itu balasan yang Alena berikan.

Hati Alena tiba-tiba terasa tenang. Ketakutan yang sempat menghantui gadis itu seakan mulai hilang. Entah mengapa, semangat dan motivasi dari Dion selalu mampu memberikannya kenyamanan. Hanya Dion yang mengerti, hanya Dion yang rela meluangkan waktu untuk gadis malang itu.

Tink!

[Sama-sama, gadis baja.] Sebuah pesan dari Dion kembali menghampiri. Kali ini pesannya diakhir dengan emotikon dua love berwarna pink dan hijau.

Lagi Alena tersenyum, itu hal yang sudah biasa dilakukan Dion. Gadis itu mematikan ponsel, lalu memasukkannya ke dalam saku rok.

"Thanks, Dion." desis Alena memejamkan mata sebelum ia melangkah masuk ke dalam kelas.

***

Alena membasuh wajah di westafel, gadis itu menghadap cermin sejenak. Tangannya mulai meraba-raba setiap sisi wajah. Ia memicingkan mata ke arah cermin, tampak ada bekas luka dengan kantong mata dan bibir yang pucat di sana. Mengapa wajah itu terlihat seperti mayat saja?

Gadis malang itu hanya bisa mendengkus, seakan cara untuk menenangkan perasaannya yang tidak tenang. Jemarinya meraih sebuah tisu dan menyapu wajah yang basah itu. Tidak ada yang perlu diperhatikan lagi di cermin, Alena langsung memasang topi hoodienya kembali untuk sedikit menutupi bagian wajah.

Krakk!

Pintu toilet di tendang kasar hingga terbuka. Alena kembali menatap ke arah cermin dengan perasaan tegang. Matanya membulat di saat melihat ada Marsya di sana. Perlahan tubuh Alena berbalik ke arah pintu itu, sebisa mungkin ia memberanikan diri dengan menelan Saliva setengah mati.

"M—marsya?" Alena menatap makhluk di hadapannya gugup. Napasnya naik turun, tiupan udara seakan memberitahukan kabar untuk Alena, bahwa luka itu akan bersinggah lagi.

Plak!

Tanpa aba-aba satu tamparan mendarat di wajah Alena.

Alena menatap Marsya sendu. Pandangannya seakan bertanya kesalahan apa yang ia perbuat? Namun, bukannya alasan yang dia dapatkan, Marsya malah terus menatapnya tajam tanpa alasan.

"Dibayar berapa?"

Alena memandang Marsya tidak mengerti. Akan tetapi, ia tahu arah pertanyaan itu.

"Lo jalang, 'kan? Hari ini pengen dibayar berapa?" Pertanyaan itu, pertanyaan yang selalu dibenci Alena.

"Berhenti omong kosong, Marsya!" pekik Alena, kali ini ia memasang wajah kesal terhadap Marsya.

Marsya menyerngitkan dahi. "Kenapa? Nggak terima?"

"Berani ngelawan sekarang?" sambung Marsya mencengkram bahu Alena keras.

"Lepas, Mars!" mohon Alena mencoba menjauhkan tangan Alena. Sementara Marsya hanya terdiam dan terus memasang sebuah senyuman. Bolehkah Alena membenci senyuman itu seumur hidup?

Berjalan beberapa detik, Marsya mulai merubah cengkeramannya menjadi sebuah usapan di sana. Namun, setelah melakukan hal itu, segera ia menarik tangannya kembali, kemudian merogoh sesuatu di saku rok.

"Harga diri yang tak memiliki harga sama sekali," ucap Marsya sembari membersihkan tangannya dengan tisu.

Sakit! Ucapan tajam Marsya selalu keluar dari mulut tanpa kendala. Gadis itu selalu mampu menjelma menjadi pisau penyayat hati. Tak mengenal luka dan perih, hanya berpatokan pada satu arah—menghancurkan.

"Lo butuh Om-Omm, 'kan malam ini?" Marsya bertanya, sementara Alena hanya bisa menggeleng tidak menyetujui.

"Jangan munafik! Lo itu gatel!"

Plak!

Lagi tamparan menghiasi wajah Alena, kali ini pada bagian kiri. Mata Alena berkaca-kaca, gadis itu mencoba menahan rasa sakit pada pipinya.

"Lu emang gatel, ya. Mentang-mentang disebut jalang, sekalian aje lu nge goda-goda. Nggak punya malu lo?" teriak Marsya di hadapan Alena.

Alena memegang pipinya yang terasa perih. "M-maksud, kamu?" Gadis itu masih setia dengan topi Hoodie yang menutupi kepala.

"Maksud kamu? Sok polos, hah?" Marsya mendorong tubuh Alena, hingga gadis itu terhantam oleh sisi westafel.

Alena menundukkan kepala, mengapa setiap luka selalu datang menghampirinya?

Tangan Marsya terulur membuka topi Alena asal. Senyum gadis iblis itu terukir kala melihat ada beberapa luka di bagian kening dan pelipis. Jemarinya mulai merapikan anak rambut dengan lembut, sementara Alena hanya bisa memejamkan mata merasakan perlakuan itu dengan perasaan khawatir.

"Gue yakin semuanya dijamah sampai-sampai berbekas gini, ya?" Marsya menekan setiap luka di sisi wajah Alena, membuat gadis itu meringis kesakitan.

Tak cukup sampai di situ, Marsya juga kembali mendorong kasar Alena hingga tersungkur di lantai.

Seperti biasa, gadis malang itu hanya bisa terdiam menahan setiap luka dan perlakuan yang menyakiti hati dan fisiknya.

Marsya mulai menarik rambut Alena kuat, membuat benda bening yang membendung dipelupuk mata kini merembes turun. Tatapan Alena mulai kabur, kepala gadis itu terasa sangat pusing. Ia lelah, ia benar-benar tidak kuat. Segala hal sangatlah menyakiti gadis itu. Tak ada yang bisa mengerti, semua hanya bisa menoreh luka tanpa mengobati.

"Lu pasti senang berduaan di gudang, 'kan? Punya pelet apa lo? Sampai-sampai paksaan lo diterima sama Evander? Maksudnya biar apa? Pengen digrepe-grepe Evander? Ngarep?" Marsya berteriak tepat di telinga Alena yang kini tampak tidak berdaya, tangannya semakin kuat menarik rambut Alena. Sementara gadis malang itu hanya bisa meneteskan air mata, menahan rasa sakit, dan memilih untuk pasrah.

"M-maaf ...." ucap Alena sebelum matanya terpejam dan tidak sadarkan diri.

ALENA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang