Happy reading ....
Sinar matahari pagi yang mampu menyilaukan mata kini sudah memasuki ruangan sunyi dan gelap itu.
Ruangan tempat di mana seorang gadis masih berbaring dengan menelungkupkan wajah ke dalam selimut. Ruangan itu adalah saksi bisu dari segala kesakitan, kepiluan, penderitaan, dan kekuatan seorang gadis bernama Alena.
Tidak ada yang tahu berapa lama dan berapa kuat ia bertahan. Luka dan perih yang selalu menyelimuti diri, membuat ia benar-benar lemah di mata dunia.
Sepasang mata sayup yang masih sembab akibat menangis itu kini telah terbuka. Ada yang janggal? Oh, tentu. Alena tidak berhenti memperhatikan sekeliling kamar tidak percaya. Mengapa dirinya masih berada di ruangan itu? Mengapa pandangan yang dia temukan di saat pagi hari masih tetap sama? Bukankah Alena akan dijual ayahnya semalam?
Perlahan Aleana menjauhkan selimut dengan kaki, kedua mata ranum itu terlihat begitu memicit.
Alena kini bangun dari poisisi baringnya. Menatap lekat sekujur lengan yang terdapat beberapa bekas luka lama. Ia kembali mencoba menjauhkan selimut dengan kaki, tetapi tubuh itu terasa rapuh dan enggan melakukan hal yang demikian. Gadis itu menatap datar ke depan—ke arah cermin, ia memegang kedua pipi, lalu berakhir di bibir. Wajah itu benar-benar terlihat pucat sekali.
"Aku sungguh benci dengan kenyataan hidup!" Teriakan terdengar dari luar sana. Suara itu terdengar marah dan kecewa.
Alena mencoba sekuat tenaga untuk berdiri menuju pintu, melihat keadaan di sana. Gadis itu membuka sedikit pintu, lebih tepatnya mengintip. Betapa terkejutnya dia melihat Rijal tidur asal di sofa dengan kaki yang diletakkan di kepala sofa.
Ada beberapa botol minuman keras yang kosong di meja dan satu botol yang masih berisi ada pada genggaman pria itu. Kaosnya sedikit terangkat membuat perut buncit itu menampakkan bentuknya. Alena menggeleng takut.
Alena berjalan perlahan mendekati Rijal. Tubuhnya kaku dengan perasaan takut bercampur khawatir. Ia mencoba berjongkok di hadapan ayahnya, lalu memegang kening pria itu.
"Astaga, kau demam, Ayah ...," desis Alena dengan bibir bergetar.
Prangg!
Benda-benda di atas meja kini telah terlempar. Tatapan tajam dan amarah berapi-api terpancar, Alena kini hanya bisa menunduk dengan detak jantung yang beralun semakin cepat.
"Sudah berapa kali Ku katakan padamu? Jangan pernah ikut campur dengan urusanku!" gertak pria itu dengan napas yang naik turun.
"Aku tidak bermaksud membuatmu marah, Ayah. Aku han— "
"Diam!" Teriakan Rijal menghentikan ucapan Alena.
"Aku tidak butuh jawaban apa pun darimu. Berhenti mengeluarkan suara sialan itu!" pekik Rijal dengan keadaan yang masih mabuk berat. Ia mencoba bangkit dari sofa, lalu menatap Alena murka.
"Maaf, Ayah. Aku hanya tidak—"
Plak!!
"Sudah kubilang diam dan tutup mulutmu! Jangan mencoba membela diri!"
***
"Apa kau baik-baik saja?" Pria bertubuh atletis itu mendekati Alena.
Alena yang menikmati pemandangan kota di saat malam hari mengalihkan pandangannya.
"Im okay, Kak Dion." Alena memejamkan mata, menikmati embusan angin di malam hari. Dinginnya udara seakan memberikan kesejukan terhadap tubuh gadis yang terluka itu.
"Sampai kapan?"
Tidak ada jawaban dari Alena.
"Sampai kapan?" Kini suara itu terdengar sangat dekat. Alena membuka mata, betapa terkejutnya ia di saat melihat Dion berdiri di sampingnya dengan jarak dekat.
"M—maksud, K—kak, Dion?" Alena bertanya bingung. Gadis itu mencoba menetralkan detak jantungnya, kemudian perlahan mundur dua langkah.
"Ada apa?" Dion menaikkan alisnya. "Lu takut sama gue?"
Alena hanya diam, menatap Dion kaku.
"Sejak kapan lu takut sama gue?" Dion maju satu langkah, meminta penjelasan terhadap Alena.
"Bukan, bukan takut, Kak."
"Lalu?"
Alena tak menjawab, gadis itu mengalihkan pandangannya. Namun, kekhawatiran masih terlihat jelas pada gadis itu. Alena tidak henti meremas ujung jaket yang ia kenakan.
"Ikut sama gue, nggak usah pulang lagi." Dion mendekat lagi, kemudian meraih jemari Alena dan menggenggamnya.
Alena tampak gugup. "Bersama Kak Dion?"
"Yes, lu bakal aman tanpa orang-orang iblis itu." Dion menatap Alena intens.
Bukannya menjawab, Alena malah melepaskan genggaman Dion. Ia membalikkan tubuh membelakangi Dion. Entah apa maksud dari itu, Alena terlihat sangat aneh.
"Lu mau, 'kan?" Dion berjalan dan berhenti di hadapan Alena.
Masih tetap sama, gadis itu hanya bisa diam seribu bahasa. Tatapannya bertemu dengan Dion, tetapi segera ia mengalihkan pandangan. Alena seakan takut dengan semua hal.
"Aku akan pulang ke rumah." Alena berucap pelan. Namun, suara itu masih terdengar oleh Dion.
Dion menggeleng tidak terima, matanya membulat kala mendengarkan pilihan Alena. "Apa kau ingin ke neraka itu lagi? Apa kau lupa? Kau hampir dibunuh tadi."
"Aku yakin itu tidak akan terjadi, Kak."
Dion meraih jemari Alena kembali. "Jangan, cukup dan akhiri semua. Gue tahu lu udah lelah dengan perjalanan ini. Tapi lu juga harus usaha lindungin diri lu."
Alena menatap Dion dengan mata berkaca-kaca. Kalimat Dion selalu mampu menjadi motivasi untuk alasan dirinya semangat hidup.
"Takdir hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Jika ajalku sudah menjemput, sekuat apa pun Kak Dion melindungi, pasti akan pergi juga."
Dion terdiam dengan jawaban yang ia dapatkan.
"Jadi, kalau ajal belum menjemput. Sekuat apa pun mereka ingin menyudahi, pasti aku masih diberikan kesempatan hidup."
Lagi Dion terdiam, ia menatap Alena dengan perasaan sesak di dada. Tanpa sepatah kata, pria itu langsung merengkuh tubuh Alena ke dalam pelukannya.
Alena masih terdiam, perasaannya kembali gugup. Namun, beberapa detik setelahnya, Alena merasa Dion mengusap rambutnya lembut. Seketika gadis itu merasa tenang. Entah angin apa yang baru saja menghembus, membuat Alena membalas pelukan itu.
Alena tidak tahu kenapa, jelasnya Dion adalah orang pertama yang memberikan pelukan hangat untuknya.
"Tetap jadi Alena yang kuat. Kau adalah wanita yang berada di atas paling kuat." Dion berbisik di telinga Alena.
Tidak terasa bulir air mata merembes turun di pipi gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALENA (END)
Novela JuvenilHidup dengan segala kepahitan dan rasa sakit. Itulah kisah dari seorang gadis berusia 17 tahun-Alena-seorang remaja putri dengan teka-teki kehidupan yang sulit. Mengharapkan kasih sayang yang mustahil untuk ia dapatkan. Dirinya senantiasa disakiti...