12. Dijual

66 13 2
                                    


"Enghh ...." Alena melenguh sambil menelan ludah.

Pertama kali membuka mata, gadis itu merasa sangat pusing. Semua seakan berat dengan tatapan yang samar-samar.  Alena mengusap kedua mata, mencoba memperjelas pandangannya. Gadis itu tampak bingung, mengapa tempat di hadapannya terlihat asing? Ada di mana dia sekarang?

Alena mencoba menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. Gadis itu masih saja memegangi kepala karena rasa sakit di sana. Ia mencoba mengingat sesuatu, apa yang terjadi sebenarnya.

Tatapan Alena kosong kala mengingat kejadian di sekolah. Di mana dia dibully oleh Marsya setelah mendapatkan perlakuan kasar dari Evander.

Alena masih ingat dengan wajah itu, ekspresi Marsya di saat mendorong dan menarik keras rambut Alena. Tamparan yang tidak segan-segan mendarat di pipinya, serta tatapan dan senyuman Marsya yang terlihat begitu senang dan angkuh.

Setitik benda bening kembali merembes turun, Marsya benar-benar bertindak tanpa rasa kemanusiaan. Di saat gadis itu memperlakukan Alena sesuka hati, hingga Alena merasa pusing dan merasa semua seakan gelap.

Jika Alena tidak sadarkan diri setelah itu, lalu saat ini dia ada di mana? Siapa yang membawanya ke tempat sekarang?

Krakk!

Pintu dibuka kasar, sontak Alena memegang dadanya karena terkejut.

Alena membulatkan mata, gadis itu mengusap wajahnya yang basah secara kasar. Tak henti ia menelan ludah sebisa mungkin, apa itu benar-benar Evander?

"Hai, merasa tenang berada di sini?" Evander mendekat dengan senyuman menyeringai. Pria berjaket hitam itu mendaratkan bokongnya di atas ranjang. Sementara Alena mencengkram selimut keras, ia masih tidak percaya ada Evander di hadapannya.

"A—Apa kamu yang membawaku ke sini, Evander?" Alena mencoba sebisa mungkin mengeluarkan suara.

"Bukan," jawab Evander cepat. "Nggak usah ngarep," sambungnya menatap Alena dengan senyum meremehkan.

Alena menunduk, tidak berani untuk bertanya lagi. Telapak tangannya kini terasa basah, detak jantung Alena juga ikut berdetak cepat. Apa yang akan terjadi setelah ini?

***

"Sekarang lu berada di bawah kendali gue. Segala tentang lu, hak, aktivitas, dan semua harus berdasarkan keputusan seorang Evander."

Alena menatap Evander bingung, gadis itu tidak tahu apa maksuda dari ucapan pria di hadapannya.

"Hidup lu berada di tangan gue,"  sambung Evander menunjuk ke arah Alena.

Alena membulatkan mata, gadis itu menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak percaya, mengapa harus bertemu Evander? Mengapa harus berhadapan dengan pria iblis itu lagi?

Tubuhnya bergetar hebat melihat tatapan sinis dari Evander. Alena mencoba menetralkan detak jantungnya. Sesak di dada sangat membuat gadis itu terpukul. Mengapa Evander berkata demikian? Apa ia melakukan kesalahan, sehingga membuat Evander marah?

"Biarkan aku pulang, Evander. Aku mohon ...." Alena langsung mendekati Evander, kemudian ia bersimpuh di hadapan pria itu.

Evander terkekeh kecil. "Hei, apa-apaan ini? Jauh-jauh dari gue!"

"Beri aku kesempatan pulang, Evander. Maaf jika aku membuatmu marah." Alena masih memohon berharap Evander memberikan ia kesempatan untuk bebas.

"Menjauh atau lu bakal gue bunuh?"

Sontak Alena menjauhkan diri di saat mendapat ancaman dari Evander, detik berikutnya ia mendengarkan tawa di sudut pintu. Ada Jefri dan Irfan di sana. Alena menatap tidak percaya, selucu itukah Alena menjalani hidup? Mengapa tidak ada yang mengerti posisinya?

"Harga diri lu, setara dengan mobil kesayangan, Evander. Berbanggalah, Alena." Irfan mengetuk daun pintu dengan wajah meremehkan.

Alena mengepal kedua tangannya, tetapi fisiknya bertolak belakang dengan hati. Gadis itu ingin mendaratkan sebuah pukulan atau pun tamparan. Akan tetapi, tubuhnya sulit untuk bertindak. Ia tidak tahu, mengapa ia begitu lemah? Sesakit itukah menjadi dirinya?

Tanpa menjawab ucapan dari sahabat Evander, Alena lebih memilih diam dengan menundukkan kepala. Tidak ada gunanya membuka suara, iblis hanya akan peduli dengan kata hatinya. Egois dan melakukan segala hal demi sebuah kesenangan diri sendiri.

***

Alena menatap ranting pohon dari jendela, gadis itu kini sedang meratapi nasibnya. Dia merasa hidup di dunia benar-benar tidak akan diberi kesempatan untuk bahagia. Gadis itu tak henti meneteskan air mata kala mengingat ucapan Evander beberapa menit lalu. Benarkah ayahnya telah menjual Alena kepada Evander? Pria itukah yang sering disebut ayahnya sebagai pembeli?

Hati Alena semakin sesak, tubuhnya benar-benar tidak sanggup dengan kenyataan hidup. Sudah lama ia menahan luka, mengapa sekarang semua semakin tertancap jarum tajam? Haruskah di dikunci dalam sakit yang menyiksa? Mengapa Evander selalu senang melihat ia tersiksa? Segala pertanyaan telah menumpuk dalam otaknya.

Gadis itu memejamkan mata, merasakan embusan angin yang menerpa wajah. Mengeluh dan menyesali tidak ada gunanya sekarang. Alena hanya butuh ketenangan, tanpa tindasan dan kekerasan.

"Aku lelah, Tuhan ...," lirih Alena. "Bisakah aku ikut bersama, Mama?" sambung nya menatap diri sendiri yang terlihat begitu memprihatinkan dengan bekas luka di sekujur tubuh.

"Mengapa KAU tidak memberiku keadilan?" pekik Alena meremas ujung rok kuat, kemudian ia memukul kepalanya sendiri. Ia benar-benar tidak tahu untuk apa ia menjalani hidup.

Tatapannya beralih ke arah pintu, pintu yang baru saja dikunci oleh Evander. Alena merasa terkurung dalam sebuah neraka yang membawanya ke dalam api yang semakin menyiksa.

Hanya dengan beberapa menit Alena menatap kosong ke arah pintu. Kini kembali sebuah pertanyaan terlintas di otaknya. Mengapa ia tidak bertemu Dion? Bukankah di setiap hal yang terjadi Dion selalu ada untuknya? Lantas, di mana Dion saat ini?

ALENA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang