21. Kepergian Rani

97 16 0
                                    

Sudah empat bulan, peristiwa itu masih tidak hilang, masih membekas hingga sekarang. Rani terus saja mengurung diri di kamar. Wanita itu tak henti menangis. Matanya sembab, keadaannya hancur. Hatinya terluka di saat harus melepas buah hati usai melahirkan.

Empat bulan lalu, ia melahirkan seorang putri yang cantik dan menggemaskan. Rasa lega dan tenang menyelimutinya, melihat suara dan tubuh bayinya terrlahir tanpa cacat.

Rasa senang di hati Rani berakhir dan diganti dengan sakit yang mendalam. Di mana ia harus melepas putri kecil yang baru saja ia perjuangkan. Alasannya, agar bayi itu terhindar dari Endres. Wanita bagaikan barang yang harus dijauhkan dari Bos Mafia itu. Ia tidak akan segan-segan menghancurkan demi satu kepuasan dan kesenangan.

Rani tidak menyetujui, tetapi Abimayu terus membujuk istrinya. Ia tidak ingin jika putri mereka diketahui Endres, bisa-bisa bukan nyawa bayi itu saja yang hilang, tetapi juga istri dan anak sulungnya—Dion—bocah yang baru berusia satu tahun.

Dadanya sesak kala mengingat perjuangan melahirkan putrinya ke atas dunia. Mengapa mereka harus dipisahkan? Dunia memang kejam. Jika diberi kesempatan satu keinginan,  Rani benar-benar tidak ingin kehilangan putrinya.

"Bersabarlah, Sayang. Ini demi putri kita, demi kamu, dan Dion." Abimayu memeluk istrinya dengan derai air mata. Ia sedih, ia tidak kuat melihat putrinya harus dipisahkan dan melihat sang Istri begitu memprihatinkan.

"Aku nggak mau pisah sama putri kita, Mas." Rani menangis histeris, wanita itu memeluk tubuh suaminya dengan bahu bergetar.

"Tuhan mengerti kita, Rani. Di pasti akan mempertemukan kita kembali dengan mutiara itu. Ia tahu yang terbaik untuk kita dan buah hati kita." Abimayu mencium kening Rani.

Rani terisak. "Aku nggak kuat, Mas. Aku nggak kuat harus dipisahkan."

"Tenanglah, Sayang. Aku sudah menempatkan dia pada orang yang tepat. Dia akan baik-baik saja. Jauh lebih jika tidak bersama kita. Endres tidak akan bisa menemukannya." Abimayu meyakinkan Rani, ia tak henti menciumi kening wanita itu.

Dia sakit, sakit harus berpisah dengan buah hati, sakit melihat sang istri, sakit harus pura-pura tegar dengan semua!

***

"Mama, aku boleh manjat pohon mangga, nggak? Evander pengen mannga," seorang bocah laki-laki datang meminta izin pada Mamanya.

Rani tersenyum, kemudian menggeleng pelan. "Nggak boleh, nanti Abang jatuh. Nanti kalau Dion kenapa-kenapa gimana? Nanti Evander, Mama sama Papa pasti nangis."

Dion menatap adiknya sekilas, ada anak bernama Evander sedang berdiri dengan bola di tangannya.

"Sini, Sayang!" panggil Rani, anak itu mendekat.

"Nanti kita ke pasar bareng-bareng, ya, Sayang. Kita beli di pasar manganya."

Evander memegang dagunya. "Kalau manganya dari pasar, berarti belinya harus sepasar. Mama bisa nggak?"

"Nanti kalau Papa bangkrut gimana? Kita nggak bisa minum susu lagi, Dek. Mama dapat uang dar mana?" Dion tampak protes dengan wajah yang menggemaskan.

"Papa kita banyak uangnya, kok. Nggak akan habis. Tuhan sayang sama kita, makanya duit Papa nggak habis-habis," jawab Evander dengan polosnya, bocah itu meletakkan bolanya di atas rumput.

"Iya juga, ya, Tuhan sayang sama kita semua. Apalagi sama Dion dan Evander." Dion tertawa sembari merangkul bahu adiknya.

"Nanti kalau kita kaya, kita harus bawa Mama ke angkasa, Kak. Kita bangun rumah besar di sana. Setuju?" Evander bertanya dengan semangat sembari mengangkat tangan mengajak ber tos ria, matanya sipitnya terlihat sangat lucu.

ALENA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang