14. Mengabdi?

60 13 1
                                    

Bugh!

Satu bogeman berhasil mendarat di perut salah satu bodygard Eglar. Semua karena penolakan yang diterima, di saat pria itu menolak keras membuka gerbang Eglar.

"Mana Bos lo?" Irfan menarik kerah baju pria itu kasar.

"Bos tidak bisa diganggu, menjauhlah dari area ini."

Irfan mengeraskan rahangnya, jemarinya semakin kuat menarik kerah itu, membuat bodygard Eglar merasa seperti tercekik.

"Beritahu di mana Bos lu?!" Irfan berteriak dengan tatapan emosi.

"S—saya tidak akan pernah memberitahu."

"Buka pintunya!" ucap Evander dingin.

Pria itu menggeleng. "Tidak, saya tidak bisa."

"Buka pintunya!" teriak Irfan dengan rahang mengeras.

Gino berjalan mendekat. "Kasih tahu Bos lu di mana,  Bro? Sebelum lu gue ajak nikah lari sekarang?"

Jeffri dan Evander hanya bisa menatap satu sama lain, keduanya tidak habis pikir mengapa Geng Kairos memiliki anggota seperti Gino?

"Bagian lu, kontrol anggota kita. " Evander menatap Jeffri, lalu menggerakkan ekor matanya ke arah anggota Kairos. Seakan mengintruksi agar segera bersiap-siap.

"Pergilah dari sini, sebelum Bos besar menghancurkan kalian."

Suara itu dan pernyataan itu, mampu membuat Evander naik pitam. Menghancurkan? Endres menghancurkan Kairos? Sehebat itukah pria bernama Endres, shingga Evander harus menurut dan merasa takut?

Evander berjalan mendekati pria itu, mendaratkan sebuah toyoran keras. "Lu udh bosen hidup?"

Ia menggeleng.

"Buka gerbangnya!" titah Evander menampakkan gigi tajamnya.

"Saya tidak bisa."

"Buka atau mati?" Evander memegang leher pria itu dengan kedua tangan. Ia kini siap-siap untuk mencekik.

"Mana Bos sialan lu itu, Anj*ng!" pekik Evander mencekik pria itu dengan wajah yang memerah.

"S—saya t—tidak tahu d—dimana dia." Pria itu berusaha mengeluarkan suara karena merasa kesakitan. Bukannya melonggarkan, Evander malah mencekik semakin kuat. Tatapannya merah padam, ia tahu, pria di hadapannya saat ini pasti sedang berbohong.

Bugh!

Satu tendangan Evander layangkan pada area sensitif dengan wajah iblis, membuat pria itu memegang miliknya dengan ringisan dan mata berair. Evander benar-benar sangat marah untuk saat ini. Namun, belum ia menikmati kesakitan, Evander mulai mengangkat tangannya untuk menambah beberapa pukulan lagi.

"Berhenti!" Sebuah teriakan menghentikan aksi  Evander, membuat pria itu melonggarkan pegangannya, lalu menghempaskan tubuh tak berdaya sembarangan ke lantai.

Evander mengenal suara itu, senyuman dan tatapan membunuh mulai terukir di sisi wajahnya. Perlahan Evander memutar tubuhnya dengan tangan yang terkepal kuat.

"Lu bosan hidup, Endres?"

Endres tersenyum dengan pertanyaan Evander, suara dingin itu selalu terdengar sangat menantang bagi Bos Mafia yang terkenal berbahaya dan menyeramkan.

***

"Kenapa lo nyerang markas?" Evander bertanya dengan tatapan tajam. Pria itu kini sedang berhadapan dengan Bos Mafia Eglar. Ya, hanya ada mereka berdua di ruangan serba hitam itu. Semua itu karena persyaratan dari Endres, hanya memperbolehkan Evander untuk dapat berurusan.

Endres tersenyum, lalu duduk di kursi singgasananya. "Tenryata kau penurut juga, ya?"

"Jangan banyak bacot, sialan!" pekik Evander menahan emosi.

"Saya pikir kau tidak akan mendengar ucapan saya."  Endres mengangkat kedu bahunya. "Endres? Siapa yang bisa menolak ucapannya, bukan?" sambungnya dengan percaya diri, membuat Evander benar-benar terbakar amarah.

"Mafia kejam dengan segala kekuasaannya, membuat semua orang tidak bisa menolak hanya dengan ancaman silaunya sebuah pisau. Tidak ada yang boleh memberikan penolakan, hanya kau yang pernah, Evander! Pemuda yang kini ujungnya juga akan menjadi bagian keluarga Eglar." Endres tersenyum menyeringai.

"Itu tidak akan pernah terjadi."

"Akan tetapi, tetaplah tenang, Evander. Kau tidak akan mati di tangan saya. Kau pemuda yang beruntung menjadi pilihan Endres, jadi bersikaplah manis sejak saat ini."

Brugh!

Evander menendang kasar meja Endres dengan mengangkat sebuah pistol, membuat pria tua itu tersontak kaget. Endres menjauh dengan mengakat telapak tangan.

"Berhentilah bermain dengan teman hidupku, Evander!" ucap Endres dengan nada merah padam. Tampaknya pria itu sedang keetakutan.

"Kasih satu alasan kenapa lo nyerang markas cadangan Kairos?" Evander mendekatkan pistol ke arah wajah Endres, membuat pria itu memejamkan matanya dengan menahan napas.

"Kenapa lo nyerang markas gue, anj*ng?!? sentak Evander menggoyang tubuh Endres.

"Tembaklah, wahai bocah ingusan!" ucap Endres dengan senyuman. Pria itu tampak tidak takut sama sekali, tetapi siapa yang tahu kekhawatiran masih ada dalam hatinya.

"Berhenti mengurusi Geng Kairos! Gue nggak akan pernah Sudi masuk Eglar, Endres!"

"Nyawa dibayar dengan setiap keputusan yang kumau dan inginkan." Endres menekankan kaimatnya, seakan menyuruh Evander memahami ucapa itu.

"Tutup mulut lu, Tua Bangka!" Endres menarik napas sebisa mungkin, meraskan pistol Evander yang kini menyentuh kening.

"Anj*ng!"

Kkekk!

Pistol kehabisan peluru, Endres membuka matanya datar, sementara Evander membulatkan mata tidak percaya. Keadaan hening kini mulai terasa panas.

Dengan senyuman puas, perlahan Endres menjauhkan pistol dari keningnya, lalu mengambil alih dari genggaman Evander yang terdiam membisu. Tanpa sepatah kata, Endres langsung melempar pistol ke sembarang arah.

"Kehabisan peluru, bukan?" Endres tersenyum remeh. "Bisa saja sekarang aku membunuhmu dengan koleksi pistol ternamaku. Akan tetapi aku tidak mau."

"Apa gue peduli?" jawab Evander dengan tatapan menantang. Membuat Endres tertawa renyah dengan ekspresi itu.

"Bukankah sudah kukatakan padamu? Semua tidak ada yang gratis di muka bumi? Kau sudah menghabisi nyawa anak buahku, bukan?" tanya Endres menaik turunkan alis.

"Gue nggak butuh geng dan segala tentang Eglar!" ucap Evander dengan penekanan.

"Di saat salah satu dari keluarga Eglar terbunuh, maka di saat itu juga sang pembunuh harus rela mebayarnya dengan nyawa."

Evander menatap Endres penuh amarah. "Berhenti maksa gue masuk dalam Geng Eglar lu ini!"

Endres menggelng. "Tidak bisa, di saat keputusanku tidak berpatokan untuk pembalasan dengan nyawa. Maka kesalahanmu harus dibayar dengan masuknya ke Eglar. Bergabunglah menjadi penikmat darah dan nyawa."

"Lu pikir gue peduli?"

"Saya tidak memaksa, tapi satu yang harus kau ingat, Anak Muda. Nyawa dari anak buahku tetap menjadi hutang untukmu. Dan aku? Tidak mengharapkan nyawa seorang Evander, aku tidak butuh itu! Masuk dan bergabunglah menjadi iblis bumi, maka hutang itu akan terlunaskan." Endres mengambil sebuah rokok, lalu membakarnya.

Evander menatap tajam dengan gemertak gigi, pandangan emosi itu menghiasi sisi wajahnya.

"Atas nama Jora kau ikut campur?" tanya Endres menatap Evander remeh, lalu mengembuskan asap rokok pada wajah Evander. Pria itu terus saja memancarkan sebuah senyuman.

"Di mataku, kau tetap makhluk yang berhutang besar pada seorang Endres. Balasan nyawa yang kau hilangkan dengan mengabdi pada Eglar,"

Evander mengeraskan rahangnya, kepalan pria itu tak pernah berakhir sejak bertemu dengan Endres.

ALENA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang