"Di saat tempat bersandar berpindah posisi sebagai pencakar. Di situlah hati terus bertanya, kapan perjalanan ini sampai finish? Berharap semesta berpihak dan hadir menyelimuti, lalu hati berkata, aku benar-benar lelah dan ingin berhenti." 🌺🌺
_________________________________________
Bismillah, happy reading ....
"Ayah, apa kau sudah makan?"
Seorang gadis datang menghampiri Rijal yang duduk di sudut pintu. Sedari tadi pria itu hanya melamun dengan beberapa potongan kertas yang dirobek hingga beberapa bagian.
Tampak ia bersandar pada pintu dengan kaki di luruskan dan baju yang ia kenakan tampak acak-acakan. Seperti biasa, pakaian itu khas dari Club' atau usai bertemu dengan teman tongkrongannya.
"Ayah, apa kau marah padaku?" Alena duduk di hadapan sang Ayah dengan menundukakan kepala.
Berbeda dengan biasanya, kali ini Rijal tidak bersuara. Dirinya masih saja terdiam memandangi tirai yang bergerak ke sana kemari karena jendela yang terbuka. Ia bahkan tidak berniat merespon pertanyaan Alena.
Alena mengikuti pandagan sang ayah, ia berdiri berjalan menuju jendela, lalu menguncinya hingga udara dingin yang mengembus di rumah itu tidak ada lagi.
Alena menatap Rijal yang kini mengalihkan pandangan ke arah guci di atas meja tepat di samping tubuh pria itu. Alena kembali berjalan mendekati sang ayah, kemudian duduk kembali di hadapannya.
Beberapa menit kemudian bulir air merembes di pipi pria itu. Tatapannya sangat kosong. Alena paham dengan tatapan Rijal, ia selalu menyaksikan air mata kecewa dari Ayah yang ia cintai. Hanya menyaksikan tanpa tahu apa dibalik semuanya. Alena hanya bisa merasakan hal itu tidak jauh dari kisah di masa lalu bersama sang mama.
'Semesta, bisakah aku diberi jawaban dan jalan dari segalanya? Aku lelah dengan teka-teki dan permainan dalam hidup. Sampai kapan tatapan itu kusaksikan tanpa mengetahui apa kisah keseluruhan di balik bendungan pelupuk mata yang kusebut ayah?' batin Alena, kemudian kini ikut meneteskan air mata.
"Mungkin aku melakukan kesalahan lagi di hari ini, Ayah. Aku minta maaf ...," lirih Alena dengan menahan isakan. Menurutnya air mata sang ayah bersumber dari dirinya yang melakukan kesalahan.
Sungguh, air mata Rijal adalah belati yang mampu menusuk hati.
"Pergilah dari hadapanku, sialan!" Kini Rijal bersuara setelah mengusap pipi yang basah dengan lengan jeket yang ia kenakan.
Sikap itu selalu mampu membuat hati gadis bernama Alena sakit. Bukan karena kalimat tajam dan pedas yang dia dapatkan, itu adalah hal yang sudah biasa untuknya. Akan tetapi, disaat Alena melihat sang Ayah menangis dan frustrasi, tetapi selalu bersikap kuat dan tidak memerlukan siapa-siapa. Bahkan mengusap air matanya yang sudah menetes saja terlihat menganggap itu bukanlah apa-apa.
"Aku bilang pergilah!"
Alena menggeleng. "Bisakah kita duduk bersama seperti ini untuk beberapa menit lagi, Ayah?
Langsung saja Rijal menggeleng tanpa menatap wajah putrinya.
"Enyahlah dari hadapanku, Alena." Ia bersuara tanpa mengalihkan pandangan dari kaki meja.
Tanpa aba-aba Alena langsung bersimpuh di hadapan Rijal. "Aku tahu ini bukan waktu yang tepat dan aku tahu kau pasti sangat muak denganku. Akan tetapi, sebanyak apa pun bulir air mata yang menetes dari mata kita berdua, aku menganggap duduk di hadapanmu saat ini adalah situasi pelepasan rindu, Ayah." Kini air yang membendung sedari tadi menetes kembali.
Rijal menatap Alena dingin. "Berhenti omong kosong, pergilah dari hadapanku!"
Alena mengusap pipi yang basah. "Aku sudah menyiapkan makan malam di meja, Ayah. Mari kita santap bersama."
"Pergilah, aku sudah kenyang."
"Kau belum makan, Ayah. Aku tahu itu. Marilah makan bersama, aku tidak mau kau sakit, Ayah."
Rijal menatap gadis di hadapannya tajam. "Makanlah sendiri, tidak usah cari perhatian di hadapanku!"
"Tapi aku memasaknya dengan cinta untukmu, Ayah. Pasti kau akan puas dengan rasa masakanku."
Rijal menatap Alena dengan rahang mengeras. "Apa kau tidak paham dengan ucapanku?"
Bukannya menjawab gadis itu malah melemparkan sebuah pertanyaan. "Apa aku boleh memelukmu, Ayah?"
Tanpa menjawab pertanyaan itu Rijal langsung bangkit dari duduknya. Melangkah satu kali dan berdiri tepat di hadapan putrinya. Sementara Alena terdiam dengan menundukkan kepala.
Rijal sedikit membungkukkan tubuh, lalu berakhir dengan setengah jongkok. Tangannya menangkup dagu mungil Alena.
Alena tersentak, tampak Rijal tersenyum menyeringai. "Siapkan dirimu untuk malam ini."
Alena membulatkan matanya. Ia mencoba menelan Saliva dalam-dalam. Otaknya berputar semakin keras memikirkan sesuatu. Beberapa detik kemudian gadis itu menggeleng cepat, ia seakan mengerti apa dibalik ucapan itu.
Rijal menatap Alena sinis. "Ada apa? Kau ingin membantahku?"
"Ayah, jangan lakukan itu. Aku, mohon," ucap Alena dengan bibir bergetar. Matanya kini mulai berkaca-kaca.
Rijal mengangguk perlahan, membuat Alena sedikit menarik senyum. Namun, siapa sangka anggukan itu bersatu dengan senyuman mengejek. Rijal memanyunkan bibirnya ke arah Alena sembari menjulurkan lidah. "Kamu memang cepat paham, ya? Kau benar-benar sama seperti ibumu. Sama-sama jalang."
Rijal berdiri setelah mengacak-acak rambut gadis itu kasar. Sementara Alena terus saja meneteskan air mata dengan meremas ujung roknya ketakutan.
Tak henti gadis itu menelan ludah setengah mati. Tatapannya kosong ke arah lantai dengan wajah dan bibir yang tampak pucat. Hatinya seakan diremas paksa. Bagaiman rasanya disebut jalang oleh orang yang satu-satunya dianggap sebagai sandaran? Sakit, kini hati Alena seakan ditancapkan banyak jarum tajam.
"Aku tidak ingin dijual, Ayah ...," lirih Alena, Rijal yang tadi tersenyum ke arah ponselnya langsung saja kembali mengambil posisi setengah jongkok di hadapan Alena, kemudian kembali memegang dagu Alena kasar dengan tatapan tidak ingin dibantah.
"Coba kau katakan sekali lagi!"
Alena memejamkan mata, membiarkan air mata terjun membasahi pipi. Bibirnya gemetar dengan perasaan takut yang mendalam.
"Jawab!" teriak Rijal, tetapi Alena masih saja tidak bersuara.
"Jawab, jalang!" sentak Rijal.
"Auu," desah Alena kesakitan setelah sang ayah menjambak rambutnya tanpa rasa kasihan.
"Jawab, Alena!"
Alena mencoba menetralkan napasnya, kemudian menatap Rijal sendu. "Aku tidak ingin dijual, Ayah ...."
Seketika ucapan itu mampu membuat Rijal kembali semakin emosi.
"Bodoh! Keputusan ada ditanganku!" Rijal menghempaskan wajah Alena, lalu ia bangkit dari posisinya.
"Jangan pernah membantahku, jalang!" peringat Rijal dengan penuh penekanan.
"Siapkan dirimu untuk malam ini," sambung Rijal lagi. Ia membuka jaket ditubuhnya, lalu berlalu meninggalkan Aelna.
'Siapkan dirimu untuk malam ini.'
Hanya dengan satu kalimat lima kata, membuat Alena bagai tersengat listrik secara perlahan. Tubuh gadis itu masih membeku dengan bendungan di pelupuk mata. Tak perlu banyak tanya, Alena mengerti maksud dari kalimat itu. Dia pasti akan benar-benar menjadi jalang malam ini.
"Ingat, jangan membuat pria ini kecewa!" Sebuah teriakan mengancam kembali terdengar.
Air bening itu menetes melewati pipi. Hati seakan di tusuk berkali-kali dengan tulang yang di rontokkan satu per satu. Gadis itu menahan isakan dengan kepala yang menunduk. Mengapa hidup begitu kejam kepadanya?

KAMU SEDANG MEMBACA
ALENA (END)
Roman pour AdolescentsHidup dengan segala kepahitan dan rasa sakit. Itulah kisah dari seorang gadis berusia 17 tahun-Alena-seorang remaja putri dengan teka-teki kehidupan yang sulit. Mengharapkan kasih sayang yang mustahil untuk ia dapatkan. Dirinya senantiasa disakiti...